Share to:

 

Tongkol Komo

Tongkol komo
Tongkol Komo, Euthynnus affinis
dari Jakarta
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Tribus:
Genus:
Spesies:
E. affinis
Nama binomial
Euthynnus affinis
(Cantor, 1849)
Sinonim

Thynnus affinis Cantor, 1849[2]
Euthunnus yaito Kishinouye, 1915;
Wanderer wallisi Whitley, 1937;
Euthunnus affinis affinis Fraser-Brunner, 1949;
Euthunnus affinis yaito Fraser-Brunner, 1949;
Euthunnus alletteratus affinis Beaufort, 1951;
Euthunnus wallisi Whitley, 1964.

Tongkol Komo (Euthynnus affinis) adalah golongan ikan tuna kecil dengan ciri badan memanjang, tidak memiliki sisik dengan tektur sirip punggung keras. Ikan ini termasuk dalam famili Scombridae bergenus Euthynnus ini mempunyai ukuran tubuh cukup besar, kulit berwarna abu-abu, dan berdaging tebal berwarna merah tua. Tongkol komo termasuk jenis ikan pelagis atau ikan yang hidup dekat permukaan perairan. Ikan ini juga sering di juluki sebagai ikan perenang cepat dengan daerah sebaran meliputi seluruh daerah lapisan pantai Indonesia dan Indonesia Pasifik. Tongkol komo merupakan salah satu jenis ikan tangkapan yang penting bagi nelayan. Dalam perdagangan internasional dikenal sebagai kawakawa, little tuna, mackerel tuna, atau false albacore[3]. Ikan ini juga merupakan salah satu ikan konsumsi yang memiliki harga ekonomis tinggi[4].

Pengenalan

Ikan yang berukuran sedang; panjang maksimum sekitar 100 cm FL (fork length), namun umumnya hanya sekitar 60 cm. Punggung berwarna biru gelap metalik, dengan pola coret-coret miring yang rumit mulai dari pertengahan sirip punggung pertama ke belakang; sisi badan dan perut putih keperakan, dengan bercak-bercak khas berwarna gelap di antara sirip dada dan sirip perut, yang tidak selalu ada. Tanpa sisik, kecuali di wilayah corselet dan gurat sisi.[5]

Gigi-gigi kecil dan mengerucut, dalam satu baris. Sisir saring berjumlah 29-34 pada lengkung insang yang pertama. Sirip punggung pertama dengan XI hingga XIV jari-jari keras (duri), terpisahkan dari sirip punggung kedua hanya oleh suatu celah sempit, yang lebih sempit daripada lebar mata. Duri-duri di awal sirip punggung pertama jauh lebih panjang daripada duri-duri di belakangnya, membuat tepi atas sirip depan ini melengkung dalam. Sirip dada pendek, ujungnya tidak mencapai celah di antara kedua sirip punggung. Terdapat dua tonjolan (flaps) di antara kedua sirip perut. Sirip-sirip kecil (finlet) 8-10 buah di belakang sirip punggung kedua, dan 6-8 buah di belakang sirip dubur.[5]

Agihan dan kebiasaan

Tongkol komo menyebar luas di perairan hangat di kawasan Indo-Pasifik Barat, yakni wilayah Samudra Hindia mulai dari pesisir timur Afrika Selatan, Somalia, Laut Merah, Laut Arab, terus ke arah timur ke pesisir anak-benua India, pesisir dan laut-laut pedalaman di Asia Tenggara dan Nusantara, pantai barat Australia; hingga menyeberang ke sisi barat Samudera Pasifik, ke utara sampai ke perairan Jepang bagian selatan, ke selatan sampai ke pesisir timur Austraila, serta ke timur di kepulauan-kepulauan Pasifik hingga Hawaii dan Kepulauan Marquesas.[6]

Ikan ini bersifat epipelagis dan neritik, menjelajahi perairan-perairan terbuka bersuhu 18°-29 °C. Sebagaimana tuna yang lain, jenis ini acap menggerombol dalam campuran berbagai jenis ikan dengan ukuran tubuh yang sama. Misalnya dengan Thunnus albacares yang kecil, Katsuwonus pelamis, Auxis sp., dan juga Megalaspis cordyla, dalam kumpulan yang terdiri dari 100 hingga lebih dari 5.000 ekor ikan.[6]

Tongkol komo tidak memilih-milih mangsa; makanannya terdiri dari udang, kerabat cumi-cumi dan sotong, serta aneka jenis ikan. Pada gilirannya, tongkol komo dimangsa oleh setuhuk dan cucut.[6]

Musim berpijah tongkol komo bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Di pesisir Afrika timur berlangsung antara bulan Januari hingga Juli; di Filipina tercatat antara Maret-Mei; di Indonesia antara Agustus-Oktober, dan di Kepulauan Seychelles antara Oktober-Mei.[6]

Pemanfaatan

Tongkol komo merupakan ikan tangkapan nelayan yang penting di berbagai negara di wilayah sebarannya. Tongkol komo terbanyak ditangkap di Filipina, Malaysia, dan Pakistan; sementara di India ikan ini menduduki posisi yang cukup penting.[6] Produksi dunia ikan ini (dari catatan 8 negara) pada tahun 1975 hingga 1981 berkisar antara 44-65 ribu ton pertahun, dengan lonjakan hingga 84 ribu ton pada tahun 1977.[6] Sedangkan antara tahun 1990-1995, Statistik Perikanan FAO merekam angka produksi tahunan antara 90.987 hingga 111.996 ton.[5] Beberapa pelabuhan pendaratan tongkol komo yang penting di Indonesia, di antaranya, adalah Manado, Padang, Cilacap, Tegal, dan Sumenep.[7]

Ikan ini umumnya ditangkap bercampur dengan jenis lain. Alat tangkap yang digunakan terutama adalah jaring insang, dan juga pancing tonda. Kadang-kadang ikan ini didapat pula lewat pengoperasian pukat pantai atau pancing rawai.[6]

Tongkol komo diperniagakan dalam bentuk ikan segar, ikan beku, dan dikalengkan. Juga dalam rupa-rupa ikan olahan: dikeringkan, diasinkan, diasap, atau dipindang.[5] Dagingnya berkualitas baik bila segar, namun dengan cepat akan memburuk bila tidak ditangani dengan baik.[6]

Catatan kaki

  1. ^ Collette, B., S.-K. Chang, W. Fox, M. Juan Jorda, N. Miyabe, R. Nelson, & Y. Uozumi. 2011. Euthynnus affinis. In: IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 17 October 2012.
  2. ^ Cantor, T.E. 1849. J. Asiatic Soc. Bengal, 18(2): 1088-1090
  3. ^ https://rimbakita.com/ikan-tongkol/
  4. ^ https://repository.unair.ac.id/26337/1/KURNIAWATI%2C%20SUCI.pdf
  5. ^ a b c d Carpenter, Kent E. & Volker H. Niem. 2001. FAO Species Identification Guide: The Living Marine Resources of The Western Pacific. Vol. 6[pranala nonaktif permanen]: 3732. Food and Agriculture Organization, Rome. ISBN 92-5-104587-9
  6. ^ a b c d e f g h Collette, B.B. and C.E. Nauen. 1983. FAO Species Catalogue. Vol. 2. Scombrids of the world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. FAO Fish. Synop. , (125) Vol.. 2: 33-34. ISBN 92-5-101381-0
  7. ^ Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. Hal. 297. ISBN 979-428-045-3

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya