Transmart
PT Trans Retail Indonesia (beroperasi sebagai Transmart)[a] adalah sebuah jaringan hipermarket dan pusat perbelanjaan (mal) di Indonesia. Transmart beroperasi dengan 86 gerai[1] (termasuk 13 gerai yang dimiliki PT Alfa Retailindo) yang tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia, Transmart memiliki visi untuk membantu semua orang agar dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik setiap harinya.[2] Dalam bisnisnya, Transmart menawarkan konsep One-Stop Shopping yang menawarkan lebih dari 40.000 produk kepada pelanggannya.[3] Selain mengoperasikan gerai Transmart, PT Trans Retail Indonesia juga memiliki beberapa usaha bersama, seperti aplikasi Allo Fresh yang merupakan kerjasama bersama Bukalapak dan Growtheum Capital Partners.[4] Tagline
Sejarah dan perkembanganAwal mula: Carrefour dan ContinentCarrefourTransmart bermula dari operasional hipermarket raksasa asal Prancis, Carrefour. Carrefour memulai langkahnya di Indonesia pada 1996, ketika perusahaan ini menjalin kerjasama dengan PT Tigaraksa Satria Tbk, sebuah perusahaan distribusi terkemuka untuk membangun cabang Carrefour di Indonesia. Kerjasama itu diwujudkan dengan pendirian PT Cartisa Properti Indonesia (CPI) dengan kepemilikan 70-30%, masing-masing untuk Carrefour dan Tigaraksa Satria pada Februari 1996. Tidak lama kemudian, berdiri juga PT Carti Satria Megaswalayan (CSM), dengan struktur kepemilikan serupa pada Juli 1996.[5][6] Sebelum beroperasi, Carrefour melakukan pencarian pengembang, lokasi dan rekan bisnis potensial di memetakan kinerja bisnisnya,[5] dengan perencanaan gerai pertama akan dibuka pada 1997.[7] Akan tetapi, baru pada 14 Oktober 1998,[8] PT Carti Satria Megaswalayan dapat membuka gerai Carrefour pertama di Indonesia, awalnya di Cempaka Putih, Jakarta dengan modal US$ 60 juta.[9] Tidak lama kemudian, sister company CSM, PT CPI juga membuka gerai kedua Carrefour di Indonesia di tahun yang sama, di Duta Merlin Jakarta. Dengan menawarkan harga murah dan agresif, nama Carrefour segera terangkat di mata publik.[10] ContinentPada saat yang sama dengan kehadiran Carrefour, tersebutlah sebuah raksasa ritel Prancis lainnya, yaitu Continent. Layaknya Carrefour, Continent awalnya juga merupakan perusahaan patungan, kali ini antara Promodès Prancis dan Sinar Mas Group (lewat PT Sinar Kilat Buana) dengan kepemilikan 51-49%, di bawah PT Contimas Utama Indonesia yang berdiri pada 24 April 1995.[5][11][12] Sempat direncanakan untuk dibuka di ITC Cempaka Mas sebagai gerai pertamanya pada 1996,[13] dan kemudian diundur pada 1997,[7] baru pada Oktober 1998, di bulan yang sama dengan pembukaan Carrefour, Continent juga memulai operasionalnya dengan membuka gerai pertamanya di Pasar Festival, Jakarta Selatan, menggunakan operasional yang sekilas hampir sama dengan Carrefour dan karena itulah juga cukup digemari konsumen.[14] Gerai ini awalnya hendak dibuka pada Mei 1998, namun karena kekacauan kondisi sosial-politik di Indonesia saat itu, rencananya diundur sampai Oktober.[15] Pihak Continent cukup optimis dengan bisnisnya meskipun di tengah krisis ekonomi yang saat itu menerjang Indonesia, karena sudah mengkalkulasi resiko, menurunkan margin keuntungan dan peluang masyarakat menerima sistem harga murah yang ditawarkan Continent pada 15.000 barang yang dijualnya.[11] Dalam perkembangannya, Continent juga membuka dua gerai lain, yaitu di Mega Mal Pluit (eks-Wal-Mart) pada 15 Maret 1999[11][16] dan di ITC Cempaka Mas (sesuai rencana awal) pada 14 Juli 1999,[17] sehingga menjelang akhir 1999 sudah memiliki 3 gerai, dan sempat berencana membuka satu gerai lagi di Ratu Plaza. Kepemilikan Sinarmas kemudian menurun menjadi 17%, dan pada November 1999 resmi menjual seluruh sahamnya ke Promodès yang kemudian memegang 100%.[10] Merger operasionalSaat ketika kedua ritel mulai hadir di Indonesia, induk dari kedua perusahaan, Promodès (sebagai pemegang saham utama dari Continent) dan Carrefour di Prancis melakukan merger, menggabungkan semua kegiatan usaha ritel di seluruh dunia dengan nama Carrefour. Hal tersebut menjadikan Carrefour sebagai konglomerasi ritel terbesar kedua di dunia. Dengan penggabungan itulah, kemudian 3 gerai Continent di Indonesia diubah menjadi gerai Carrefour. Dengan merger tersebut, ditambah manajemen yang sudah menggunakan teknologi, cukup membantu Carrefour yang dengan cepat berkembang sebagai pemain ritel besar di Indonesia. Carrefour pun dikenal publik sebagai paserba (pasar serba ada) one-stop shopping yang menyediakan aneka jenis kebutuhan, seperti untuk rumah tangga, pertanian dan industri.[18][19] Selain itu, keberadaan fasilitas seperti food court, snack corner, garansi harga dan parkir gratis, ikut membantu mengerek nama ritel Prancis ini. Karyawannya pun berkembang, dari 550 pada 2000[20] menjadi 7.000 pekerja pada tahun 2004.[21] Meskipun demikian, keberadaan Carrefour seringkali juga dianggap ikut mengancam pemain lain, terutama ritel lokal.[22] Belum lagi adanya beberapa masalah, seperti isu penyalahgunaan lahan di Pasar Festival, yang memaksa gerai tersebut kemudian ditutup.[23] Kemudian, pada Agustus 2003, Tigaraksa yang merupakan partner Carrefour di PT CPI dan PT CSM, menjual seluruh sahamnya ke Carrefour SA Prancis karena dianggap tidak menguntungkan sebanyak Rp 75 miliar.[24] Akibatnya, tiga perusahaan pengelola Carrefour, yaitu PT Contimas, PT Cartisa dan PT Carti kini dimiliki Carrefour 100%. Ketiga perusahaan ini kemudian dimerger pada 23 Desember 2003, dengan PT CPI dan PT CSM meleburkan diri ke PT Contimas yang menjadi surviving company. Nama PT Contimas pasca-merger kemudian diganti menjadi PT Carrefour Indonesia.[5][12] Carrefour tercatat memiliki 8 gerai pada tahun tersebut.[22] Awalnya, kantor pusat perusahaan ini (saat bernama PT Contimas) berada di Wisma Staco Lt. 11, Jl. Casablanca Kav. 17, Jakarta Selatan, namun kemudian (hingga 1 November 2023) berlokasi di Jl. Lebak Bulus Raya No. 8, Jakarta Selatan, namun kemudian dipindahkan ke Jl. Jenderal Ahmad Yani No. 83, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.[25] Perkembangan pasca-mergerHingga 2005, Carrefour baru memiliki 17 gerai yang tersebar di Jakarta.[26] Untuk mengembangkan usahanya, berbagai strategi pun dilakukan. Misalnya, Carrefour mulai mengembangkan private label miliknya dengan nama "Paling Murah" (dahulu Brand No. 1, untuk produk konsumer), "First Line" (produk fesyen) dan "Bluesky" (produk elektronik) yang diklaim harganya lebih "miring".[27] Ekspansi besar-besaran pun dilakukan pada 2004-2007 dengan membangun banyak gerai di luar Jakarta, seperti Bandung, Surabaya, Denpasar, Yogyakarta, Semarang, Medan, Palembang dan Makassar sehingga pada 2007 telah mencapai 31 gerai di seluruh Indonesia, mayoritas di Jabodetabek.[28][29][30] Di tahun tersebut, pendapatan Carrefour di Indonesia mencapai Rp 7,2 triliun, menempatkannya di posisi ketiga penyumbang keuntungan terbesar dari Asia bagi Carrefour SA Prancis (kalah dari Tiongkok dan Taiwan). Posisinya kemudian menjadi ritel modern terbesar pada saat itu di Indonesia, dengan pendapatan perhari di setiap gerainya mencapai Rp 500 juta-1 miliar.[5] Meskipun Carrefour bukanlah pengenal konsep hipermarket di Indonesia (yang pertama adalah Mega-M yang dimiliki oleh Matahari dan Wal-Mart oleh Multipolar pada tahun 1996), namun Carrefour sering dianggap sebagai pemain sukses dan pendorong utama pertumbuhan bisnis hipermarket di Indonesia.[31][32] Untuk lebih memperluas pasarnya, pada 2007 Carrefour telah memperkenalkan gerai berkonsep compact store di gerai Cakung dan Cibinong yang lebih kecil.[31] Tidak lama setelah itu, pada Desember 2007, PT Carrefour Indonesia mengumumkan rencana akuisisi PT Alfa Retailindo Tbk, sebuah perusahaan yang mengelola supermarket Alfa dan dimiliki oleh Djoko Susanto. Saham yang dibeli adalah 75% dari kepemilikannya dengan harga Rp 680 miliar.[33] Saham Alfa diakuisisi dari PT Sigmantara Alfindo dan Prime Horizon Pte. Ltd., dengan saat pengumuman akuisisi, Alfa memiliki 29 gerai di berbagai daerah seluruh Indonesia.[34][35] Proses akuisisi ini tuntas dilakukan pada 21 Januari 2008, dimana lewat sebuah Share Purchase Agreement (SPA), 75% saham Alfa Retalindo berpindah ke PT Carrefour Indonesia dengan harga yang lebih rendah, yaitu Rp 674 miliar.[36] Kemudian, sejak 13 Mei 2008, gerai-gerai Alfa perlahan-lahan diganti namanya menjadi Carrefour Express (12 gerai), dan 3 sisanya menjadi Carrefour Market.[37][38] Perkenalan konsep compact store dan akuisisi Alfa menandai Carrefour Indonesia yang mulai mengembangkan format selain hipermarket. Munculnya berbagai masalahisu monopoliBagaimanapun, akhirnya akuisisi tersebut justru membawa Carrefour terlibat pada masalah dan bisa dikatakan "membuka" pintu keluarnya perusahaan Prancis ini dari Indonesia. Proses akuisisi tersebut rupanya sejak awal tidak disenangi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), karena dianggap membuatnya menguasai pasar dalam presentase yang terlalu dominan.[33] Menurut data KPPU, sebelum akuisisi, Carrefour memiliki 37,98% pangsa pasar pembeli ritel, dan naik menjadi 48,38% pasca akuisisi; selain itu, pangsa pasar pemasok retail modern juga naik, dimana dari 44,74% menjadi 66,73% pemasok "harus" mendistribusikan produknya ke Carrefour. Bagi para pemasok, praktik Carrefour selama ini dianggap merugikan mereka, dengan adanya praktik seperti trading term dan listing fee.[39][40] Sejak lama, memang Carrefour (dan dahulu Continent) beberapa kali diterjang isu manipulasi harga demi upayanya menekan harga ke konsumen, terutama praktik dumping yang dianggap merugikan penyalur dan sudah beberapa kali masuk ke KPPU.[14][41] Di tengah polemik akuisisi tersebut, pihak Carrefour membantah, dengan menyebut mereka hanya menguasai 7% pangsa pasar ritel makanan pasca akuisisi (dari 5%) menurut data Nielsen, dan akuisisi itu merupakan strategi Carrefour untuk memperkuat keberadaannya di pasar-pasar penting lokal dalam pendekatan multi-format.[42] Menurut pihak Carrefour Indonesia juga, mereka tidak selalu untung, dimana dari 75 gerai yang ada pasca akuisisi (dimana 30-nya dari eks-Alfa), sudah ada 11 gerai yang merugi dan 4 gerai lainnya harus ditutup karena berbagai alasan.[43] Pihak Bapepam-LK juga menyatakan bahwa tidak ada prosedur yang dilanggar dalam akuisisi itu.[44] Namun, kemudian pada 10 September 2008, tuduhan monopoli itu resmi diadukan ke KPPU oleh organisasi Partisipasi Indonesia,[45] dan mulai tanggal 31 Maret 2009, KPPU dalam kasus No.09/KPPU-L/2009 resmi mengusut dugaan monopoli tersebut.[46] Beberapa bulan kemudian, pada 3 November 2009, KPPU resmi memutuskan bahwa akuisisi tersebut benar membuat Carrefour memiliki sifat monopolistik di pasar, dan berarti telah melanggar Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) UU No. 5/1999.[47] Sebagai hukumannya, Carrefour harus melepas kepemilikannya di PT Alfa Retailindo Tbk paling lambat setahun setelah putusan dan diberi denda Rp 25 miliar.[48] Membalas hukuman tersebut, Carrefour pun banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Desember 2009.[49] Tidak lama kemudian, pada 17 Februari 2010, PN Jaksel membatalkan hasil putusan tersebut.[50] KPPU lalu mengajukan kasasi putusan tersebut ke Mahkamah Agung pada 1 Maret 2010,[51] namun pada 21 Oktober 2010, MA kembali memenangkan pihak Carrefour,[52] dan kemudian pada 17 Februari 2011 KPPU terpaksa membatalkan putusan tersebut.[53] Pasca keputusan tersebut, pada 29 April 2011, PT Alfa Retalindo (yang kepemilikan Carrefour sudah menjadi 99%) memutuskan untuk keluar (delisting) dari Bursa Efek Indonesia secara sukarela akibat saham yang tidak likuid dan kepemilikan publik yang sangat rendah.[38] Setelah disetujui dan melakukan tender offer, saham PT Alfa Retailindo sejak 17 Oktober 2011 resmi dihapuskan dari pencatatan di BEI dan statusnya menjadi perusahaan tertutup.[54] Persengketaan operasionalTidak hanya masalah itu, Carrefour Indonesia pun "tersandung" masalah sengketa dengan PT Duta Wisata Loka, pengelola Mega Mal Pluit. Pihak Mega Mal Pluit mempermasalahkan luas Carrefour, karena dianggap melanggar Perda DKI No. 2/2002, dimana Carrefour menggunakan luas lahan 13.000 m2, sedangkan batas yang ditentukan hanya 8.000 m2. Walaupun perjanjian penyewaan sudah dilakukan sejak 1999 (saat masih bernama Continent) dan berusia 20 tahun, namun batal demi hukum akibat pelanggaran aturan dan PT Duta sudah mendapat teguran Pemprov DKI. Pihak Mega Mal Pluit awalnya berusaha melakukan cara damai demi meminta Carrefour keluar dari tempatnya, dengan mengirim fax dan berjanji akan membantu prosesnya. Akan tetapi, Carrefour tetap menolak, bahkan menyewa tentara demi melindungi bisnisnya. Akhirnya, PT Duta terpaksa memutus aliran listrik Carrefour pada 27 Mei 2009 sebagai upaya menekan. Akhirnya, ketika Carrefour tidak mau menurut, pada 2 Agustus 2008 PT Duta dengan paksa mengeluarkan Carrefour, dimana menurut pihak Carrefour menggunakan 300 preman demi mengeluarkan dan merusak barang-barang dari dalam hipermarket tersebut. Menurut pihak Carrefour, perjanjian mereka tetap sah karena aturan Perda DKI No. 2/2002 tidak berlaku surut dan menurut pihaknya luas Carrefour di mal itu hanya 6.900 m2. Akibatnya, pihak Carrefour pun dua kali mengadukan manajemen dan pimpinan PT Duta ke Polda Metro Jaya, pada 27 Mei dan 10 Agustus 2009. Tidak hanya itu juga, Carrefour juga menggugat PT Duta ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada awal Agustus (dicabut pada 6 Agustus),[55] dan kemudian mengajukan gugatan ganti rugi di PN Jakut melebihi Rp 1 triliun ke PT Duta pada pertengahan Agustus 2009. Dalam berbagai pernyataannya, Carrefour ikut membawa-bawa nama Lippo Group, pemilik PT Duta yang dituduh berambisi menyingkirkan Carrefour demi membangun gerai baru Hypermart, yang merupakan pesaing Carrefour di bidang hipermarket dan dimiliki konglomerasi tersebut (dibantah pihak PT Duta),[56][57] sehingga sempat juga melaporkan kasus tersebut ke KPPU.[58] Saling gugat-menggugat pun terjadi, dengan pada Januari 2010 Carrefour berhasil memaksa sita jaminan atas mal yang telah berganti nama menjadi Pluit Village tersebut, yang kemudian pada 28 April 2010 dibatalkan oleh PN Jakarta Selatan.[59] Yang pasti, akhirnya Carrefour pun harus angkat kaki, dikarenakan gerainya itu sudah disegel oleh polisi pada 11 September 2009,[60] dan hal tersebut juga kemudian menjadi perhatian Pemprov DKI yang pro pada PT Duta,[61] apalagi ditambah protes pedagang pasar pada 7 Juli 2008 yang disebabkan anggapan Carrefour Mega Mal Pluit terlalu dekat dengan pasar tradisional dan mengancam pendapatan pedagang di sana.[62][63][64] Baru pada 15 Juni 2013, Carrefour baru bisa membuka gerainya kembali.[65] Tidak hanya di Pluit Village (Mega Mal Pluit), Carrefour harus bersitegang dengan mal milik Lippo lain, Palembang Square yang berada di bawah pengelolaan PT Bayu Jaya Lestari Sukses (BJLS) sejak pertengahan 2009. Diduga, pada saat itu, PT BJLS yang baru saja diakuisisi oleh Lippo, hendak membatalkan perjanjian sewa tempat kedua pihak yang sudah disepakati sejak 2003, dengan mengosongkan lantai 2 dan 3 Palembang Square sejak 21 Juli 2009, dengan batas akhir pada 14 Agustus 2009 pukul 24:00 WIB. Jika tidak dipatuhi, listrik dan air gerai Carrefour di sana akan dicabut.[66] Alasannya, Carrefour mempunyai track record buruk dengan terbukti melanggar aturan persaingan usaha beberapa kali. Namun, pihak Carrefour menganggap hal itu mengada-ada karena Carrefour sudah menyelesaikan hal tersebut, dan kembali mengaitkan upaya tersebut dengan keinginan Hypermart (hipermarket sejenis Lippo) untuk menggantikannya.[67][68][69] Pihak Carrefour juga menganggap hal tersebut akan menyebabkan PHK 600 karyawan dan 1.200 penyalur merugi.[70] Berbagai upaya berusaha dilakukan untuk memecah kebuntuan antara mereka, misalnya dengan pertemuan yang difasilitasi oleh Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra dan DPRD Kota Palembang pada 24 Agustus 2009, pun mengalami jalan buntu dengan pihak BJLS memaksa Carrefour agar keluar dari mal miliknya selambat-lambatnya setelah Idul Fitri 2009.[71] Sempat juga dinegosiasi oleh Gubernur Sumatra Selatan Alex Noerdin pada 16 Oktober 2009 yang menyimpulkan Carrefour akan keluar secara baik-baik dari mall tersebut selambat-lambatnya 9 bulan,[72] pada akhirnya, kedua pihak pun saling menggugat. PT BJLS menggugat Carrefour pada 13 Oktober 2009 ke PN Palembang, karena menuduh karyawan Carrefour telah merusak fasilitas mal Palembang Square dan melukai karyawannya dalam sebuah demo, sehingga mereka meminta ganti rugi kerugian imaterial sebesar Rp 100 miliar dan kerugian material sebesar Rp 15 juta, dan sebelumnya telah melaporkan Carrefour ke Kepolisian Daerah Sumatera Selatan.[73] Keputusan tersebut berhasil memenangkan PT BJLS pada 3 Juni 2010.[74] Sebagai balasannya, Carrefour menyatakan mereka tidak akan keluar dari mal Palembang Square sampai batas waktu sebelumnya pada 15 Juli 2010 dan meminta ganti rugi Rp 500 miliar.[75] Selain itu, juga muncul rumor bahwa Carrefour akan dikeluarkan juga dari Tamini Square yang juga milik Lippo, meskipun Lippo membantahnya dan berjanji tidak akan ada masalah jika pihak Carrefour menaati peraturan.[76] Masalah lainnyaMasalah lain juga sempat bermunculan, seperti gerai Carrefour Ratu Plaza yang terkena beberapa kali kasus keracunan gas, seperti pada Desember 2007[77] dan akhirnya angkat kaki permanen dari mal itu sejak Mei 2008.[78] Akibat polemik-polemik tersebut dan penurunan akibat krisis ekonomi 2008, perusahaan yang memiliki 76 gerai di tahun 2009 ini mencatat penurunan penjualan dari EUR 893 juta (Rp 11,46 triliun) pada 2008 menjadi EUR 887 juta (Rp 11,37 triliun) pada 2009, dan sempat menurun kembali pada 2010. Meskipun demikian, Presiden Direktur Carrefour Indonesia saat itu, Shafie Shamsuddin optimistis Carrefour masih dapat berkembang di Indonesia.[79] Carrefour pun terus melakukan berbagai kegiatan di Indonesia. Misalnya, Carrefour terus melanjutkan bantuan keuangan mikro kepada ribuan pengusaha dan pedagang di Jabodetabek, yang mencapai miliaran rupiah pada 2007-2009.[80] Pada akhir 2008 juga, hanya dalam waktu 2 bulan, Carrefour telah membuka 2 gerai baru di Makassar dan Madiun, dan dilanjutkan bulan berikutnya di Ciputat, Tangerang. Untuk melatih karyawannya yang berjumlah 11.000, Carrefour telah memiliki Institut Carrefour Indonesia sejak 22 September 2008, untuk melatih pimpinan sampai pekerja bawahan raksasa ritel ini, dan dalam rangka promosi namanya telah mengeluarkan aneka iklan, menyelenggarakan dan mensponsori berbagai acara.[81] 72 juta pelanggan telah mengunjungi Carrefour pada tahun 2010, naik dari 62 juta pelanggan pada tahun sebelumnya. Dalam menunjang jumlah pelanggan maka Carrefour menawarkan lebih dari 40.000 produk. Tercatat, kepemilikan Carrefour pada 2010 terdiri dari Carrefour S.A. 66,72%; Carrefour Nederland BV 21,81% dan Onesia BV 11,47%.[5] Akuisisi oleh Chairul TanjungAwal mulaMungkin, menghadapi tekanan-tekanan di atas, Carrefour akhirnya memutuskan menjalin aliansi strategis dengan konglomerat Chairul Tanjung (CT), pemilik Para Group yang memiliki stasiun televisi Trans TV dan Bank Mega. Menurut penuturan CT, Carrefour saat itu menggunakan jasa konsultan dalam mencari partner strategis, yang setelah berbagai seleksi dan pertimbangan memilih CT sebagai calon mitra strategisnya. Carrefour lalu bernegosiasi dengan CT, yang awalnya berniat membeli 100% saham, namun kemudian akhirnya hanya 40%. Negosiasi ini awalnya dipimpin oleh Presiden Direktur Carrefour Indonesia (saat itu), Shafie Shamsuddin sejak Oktober 2009, yang kemudian dibantu oleh Kostaman Thayib (Direktur Utama Bank Mega) dan Ellyana Fuad (Country Manager Visa Indonesia), dan kemudian dilanjutkan langsung oleh Direktur Eksekutif Carrefour SA Thierry Garnier.[82] Akhirnya, di Prancis, nota kesepahaman pembelian Carrefour oleh CT ditandatangani pada 12 Maret 2010, dan pada 16 April 2010, akuisisi itu diumumkan dalam acara Landmark Strategic Acquisition di Menara Bank Mega Jakarta. Pembelian 40% saham ini menghabiskan biaya US$ 300-400 juta (Rp 3 triliun), dengan pinjaman bank asing seperti Credit Suisse, ING Bank dan Citibank. CT berpendapat bahwa akuisisi itu adalah titik balik untuk perkembangan ekonomi nasional, karena dengan akuisisi itu maka perusahaan nasional melakukan akuisisi terhadap perusahaan multinasional, sedangkan pihak Carrefour melihat Grup Para cukup potensial sebagai perusahaan besar dan mempunyai value tinggi,[83][84] ditambah mendukung ekonomi lokal dengan bergabung bersama perusahaan lokal. Grup Para juga dianggap memiliki aneka bisnis yang bisa disinergikan dengan Carrefour. Selain itu, akuisisi ini juga disebabkan idealisme yang sama antara CT dan Carrefour.[5] Secara resmi, kerjasama ini dilakukan demi "mendorong pertumbuhan dan penyediaan akses bagi seluruh konsumen di Indonesia akan produk-produk berkualitas dengan harga yang terjangkau",[85] terutama pada penyediaan sembako.[86] Perkembangan pasca-akuisisiPasca akuisisi, CT menempatkan tiga orang dalam jajaran komisaris Carrefour Indonesia, meliputi dirinya sendiri, AM Hendropriyono, dan Suroyo Bimantoro.[87] Akuisisi ini membuat struktur kepemilikan juga berubah, menjadi CT yang memegang 40% dan tiga pemegang saham sebelumnya (Carrefour SA 39%, Carrefour Netherland BV 9,5%, dan Onesia BV 11,5%).[88] Bagaimanapun, awalnya pembelian saham Carrefour ini masih dianggap sinis oleh beberapa kalangan sebagai upayanya "menyelamatkan diri" dari masalah-masalah yang dihadapinya.[82][84][89] Untuk mengubah citra bermasalah tersebut, Carrefour mulai menciptakan program seperti "Bazaar Rakyat" dan "Pojok Rakyat" yang diresmikan di Carrefour Lebak Bulus pada 31 Mei 2010, dimana Carrefour ditafsirkan sebagai ritel yang ramah pada UMKM dan pengusaha kecil.[90][91] Kemudian, Carrefour juga mulai mensinergikan layanannya dengan usaha CT, seperti transisi dari Kartu Carrefour BCA ke Carrefour Mega Card (kini Transmart Mega Card) sejak Juni 2011.[92] Pada tahun 2011 juga, CT mengungkapkan bahwa Carrefour telah menyumbang 60% pendapatan CT Corp (Rp 15 triliun dari total Rp 27 triliun). Ekspansi kemudian tetap dilakukan, terutama ke daerah luar Jawa.[5] Selain itu, pada bulan Mei 2011, Carrefour Indonesia meluncurkan situs fanpage Facebook di www.facebook.com/carrefour.indonesia dan akun Twitter di @Carrefour_ID, dan pada 6 Juli 2011 telah me-rebrand produk private label-nya menjadi Carrefour Discount.[93] Kemudian, juga dilakukan beberapa remodeling pada 15 gerai Carrefour pada Juli 2012 demi menyesuaikan konsumen, terutama kelas atas.[94] Sejak 15 Oktober 2012, Carrefour Indonesia melakukan upaya mengurangi konsumsi kantong plastik bagi konsumen, sebagai bagian dari gerakan peduli lingkungan. Dimulai di tujuh gerai (Lebak Bulus Jakarta, Ambarukmo Yogyakarta, Maguwo Yogyakarta, Srondol Semarang, DP Mall Semarang, Citra Garden Medan dan Medan Fair), Carrefour Indonesia tidak lagi melayani pemberian kantong plastik tempat belanja secara gratis.[95] Sebagai gantinya, Carrefour Indonesia menawarkan kepada konsumen untuk membawa kantong belanjaan sendiri atau membeli kantong plastik yang bisa didaur ulang atau Green Bag. Green bag dijual Rp200 per lembar kantong plastik ukuran kecil, dan Rp400 per lembar ukuran besar. Kebijakan Carrefour Indonesia ini untuk mendukung Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, dan ada 25 gerai Carrefour yang tidak lagi melayani kantong plastik secara gratis.[96] Pelepasaan saham dari Groupe Carrefour PrancisGroupe Carrefour Prancis akhirnya melepas seluruh sahamnya di Carrefour Indonesia pada 19 November 2012. Melalui skema Perjanjian Pembelian Saham (Share Purchase Agreement) dan dibantu lagi oleh sindikasi bank asing, CT membeli 60% saham Carrefour Indonesia senilai Rp 7,2 triliun atau US$ 750 juta. Transaksi ini merupakan yang terbesar di Indonesia untuk sebuah akuisisi di sektor konsumer. Transaksi itu berarti juga mengalihkan usaha Carrefour yang menghasilkan keuntungan US$ 1,3 miliar, 85 gerai dan 28.000 karyawannya ke tangan CT.[84][97] Sebagai turunan dari kesepakatan itu, CT Corp diperbolehkan menggunakan merek Carrefour selama 5 tahun (bisa diperpanjang 5 tahun lagi),[84] untuk selanjutnya digantikan nama transisi yang direncanakan bernama Trans Carrefour.[98] CT sebenarnya sempat berencana juga mengakuisisi bisnis Carrefour di Singapura dan Malaysia, namun gagal, dan berkeinginan terus memodernisasi bisnis Carrefour. Penjualan itu berarti juga mengakhiri bisnis Carrefour Prancis di Indonesia selama lebih dari 15 tahun sejak 1996, meskipun mereka tetap berusaha berkomitmen dengan mitra lokal melalui CT Corp milik Chairul Tanjung.[99] Pasca akuisisi yang tuntas pada 16 Januari 2013, nama PT Carrefour Indonesia diganti oleh PT Trans Retail Indonesia sampai sekarang.[100]
Transmart dan perkembangan mutakhirDiversifikasiDi bawah kendali CT, gerai-gerai lama Carrefour tetap beroperasi, meskipun kemudian PT Trans Retail mulai mengembangkan format ritel lain terutama dalam pembukaan gerai baru, sebagai upayanya mengembangkan jenis ritel multi format.[101] Salah satunya adalah Transmart Carrefour, yang gerai pertamanya diberi nama Transmart Carrefour Super Center dan diresmikan di Cikokol, Tangerang pada 20 Juni 2014 dengan modal Rp 100 miliar. Transmart Carrefour berbeda dengan Carrefour biasa karena berusaha memadukan pusat belanja keluarga dengan gaya hidup masyarakat modern, dengan adanya pusat elektronik, toko pakaian merek internasional, taman bermain anak, dan kawasan restoran di luar dan di dalam ruangan bersama supermarket. Target pasarnya ditujukan untuk kelas menengah keatas.[102][103] Transmart Carrefour berniat menjadi tempat berbelanja yang nyaman dengan terus mendekatkan diri kepada pelanggan.[104] Logonya pun juga berubah, menggabungkan logo Trans Corp dan Carrefour yang didominasi warna merah putih sebagai perwujudan Indonesia, sedangkan penggayaan pada huruf "A" bermakna niat terus berinovasi.[105] Logo ini kemudian mulai diterapkan pada gerai-gerai baru yang dibuka PT Trans Retail, yang pada 2014 mencapai 4 gerai (Cikokol, Palu, Cimahi dan Bekasi) sedangkan dalam 3-5 tahun kedepan setelah perombakan internal, nama Carrefour akan diganti menjadi Transmart secara bertahap.[106] Belakangan, Trans Retail cukup gencar dalam membangun berbagai gerai Transmart Carrefour di berbagai daerah, baik itu gerai baru maupun perombakan total gerai lama, seperti pada gerai Carrefour pertama di Cempaka Putih. Transmart Carrefour mem-branding bisnisnya sebagai 4 in 1 (Berbelanja, Bersantap, Bermain dan Menonton) dalam satu kawasan.[107][108] Berbeda degan Carrefour lama yang menggabungkan semuanya dalam satu atap, Transmart terkesan memisah-misahkan bagian swalayan, elektronik, fesyen, restoran, dll sehingga lebih cocok disebut sebagai mal, bukannya hipermarket. Salah satu gerai yang dipisahkan adalah furnitur, dalam wadah baru bernama Trans Living (awalnya bernama Index Living Mall dari Thailand) yang sudah ada sejak 2017.[109] Menjelang Mei 2017, tercatat Trans Retail telah memiliki 98 gerai Carrefour dan Transmart di berbagai daerah.[110] Untuk mempromosikan namanya, bahkan Transmart mempunyai sitkom-nya sendiri, bernama The Transmart yang pernah tayang di Trans TV. Selain hal tersebut, Trans Retail melalui PT Alfa Retailindo juga mengembangkan toko grosir/perkulakan dengan nama Groserindo (awalnya bernama Groserindo Carrefour) sejak 25 Juni 2014, sebagai bagian dari upaya perseroan untuk menjawab kebutuhan pasar yang terus berkembang, terutama pada bisnis bisnis hotel, restoran dan katering. Menjual 10.000 barang dengan harga yang diklaim kompetitif,[111] gerai pertamanya dibuka di Bekasi, dengan target menambah 5-7 gerai pada 2015.[101][112] Akan tetapi, dalam perkembangannya Groserindo tidak berkembang dengan hanya memiliki 2 gerai pada 2017,[84] yaitu di Bekasi (sekarang Trans Park Mall Juanda Bekasi) dan Imam Bonjol, Denpasar (sekarang Trans Studio Mall Bali), dan keduanya ditutup untuk pembangunan mal dengan Transmart sebagai penyewa utamanya. Namun, pada November 2024, Transmart kembali meluncurkan Groserindo di lokasi eks Transmart di Kalimalang, Jakarta Timur. Pergantian nama, tantangan dan penurunanAwalnya, nama Carrefour seperti dijelaskan akan dihentikan penggunaannya 3-5 tahun setelah akuisisi (2015-2017), namun rupanya ada lebih dari 60 gerai yang tidak kunjung berganti nama. Dalam perkembangannya, nama Carrefour mulai ditinggalkan dengan hadirnya dua gerai Transmart di Telogorejo, Sukoharjo, dan Sidoarjo. Nama "Carrefour" masih dipertahankan karena menurut pihak Carrefour publik sudah kadung mengenal nama gerai-gerai lama Carrefour dengan nama tersebut, ditambah juga usaha CT Corp dalam membangun bisnis ritelnya secara mandiri karena merupakan pemain baru.[84] Akan tetapi, pada November 2020, Transmart resmi mengumumkan bahwa akhir 2021 adalah batas akhir penggunaan nama Carrefour, terutama pada 52 toko dari 132 gerai yang dimiliki PT Trans Retail Indonesia.[113] Kini, sejak tahun tersebut, nama Carrefour sudah menghilang, digantikan Transmart saja, baik untuk hipermarket, supermarket dan mal. Layaknya banyak perusahaan ritel lain, Transmart pun tidak lepas dari tantangan besar berupa penurunan bisnis ritel di Indonesia sejak pertengahan 2010-an dan efek hebat pandemi COVID-19. Meskipun mengklaim bahwa perusahaan masih dapat bertahan, mempertimbangkan penutupan gerai sebagai solusi akhir dan bahkan bisa membangun gerai baru dari 134 gerai pada 2020,[114][115] tidak bisa dipungkiri banyak kasus di mana Transmart harus bermasalah. Pada awal Januari 2020, misalnya Transmart telah menutup gerai Carrefour di Supermal Karawaci,[116] dan menjelang akhir 2020 gerai Mall of Indonesia sudah ditutup,[117] belum termasuk gerai-gerai lainnya yang harus mengalami efisiensi dan penutupan. Salah satu upaya efisiensi juga dilakukan dengan melakukan PHK karyawan.[118][119] Bahkan, pada 30 September 2020, PT Trans Retail sempat digugat oleh PT Tritunggal Adyabuana untuk melakukan restrukturisasi utang melalui skema Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), karena Trans Retail tidak kunjung melunasinya.[120] Penutupan gerai terus berlangsung pada 2021, seperti di Puri Indah dan CBD Ciledug.[121][122] Memasuki tahun 2023 situasi Transmart justru semakin memburuk. Gerai-gerainya di banyak tempat ditinggalkan konsumennya, dengan pelayanan yang sudah menurun dari sebelumnya seperti tidak lagi menggunakan pendingin udara, rak-rak yang kosong dan kasir yang sedikit. Kondisi ini terjadi merata, baik di Jabodetabek maupun daerah.[123][124] Situasi yang nampak jauh dibanding saat kejayaan Carrefour ini diduga disebabkan tidak pandainya Transmart menargetkan pasar, khususnya dalam persaingan harga dengan perusahaan ritel lain.[125] Hal ini masih belum ditambah dengan kewajiban menggunakan Allo Bank dan Bank Mega demi mendapat diskon yang justru merepotkan konsumen, serta perubahan pola belanja masyarakat yang lebih menyukai ke tempat yang dekat dengan rumahnya.[126] Belum lagi adanya dugaan bahwa Transmart sedang mengalami kesulitan keuangan dan membayar penyalur barang-barangnya.[127] Menurut Vice President Corporate Communication Transmart Satria Hamid, mereka sebelumnya sudah menutup 7-12 gerai yang ada di Jakarta dan Batam dalam langkah efisiensi demi mewujudkan pertumbuhan yang lebih baik.[128][129] Diperkirakan totalnya sepanjang 2021-2023, sudah ada 39 gerai yang ditutup, dari 134 gerai yang tercatat di April 2021.[130] Selain penutupan toko, juga dilakukan pengecilan ukuran (resizing) gerai-gerai yang ada di beberapa lokasi demi memperkuat operasionalnya.[131] Pada 2023, angka gerai Transmart kembali merosot menjadi 86, setelah sebelumnya mencapai 95 pada 2022.[1] Meskipun demikian, Satria mengklaim bahwa Transmart akan tetap bertahan dan percaya diri bahwa ke depan unit usahanya akan kembali tumbuh positif.[132] Gerai yang ditutup tersebut diklaim merupakan yang sudah berwajah tua dan tidak lagi menarik pasar.[133] Sebagai gantinya, Transmart ditargetkan akan mengembangkan konsep baru yang kekinian, seperti dunia Korean Food atau e-commerce.[134][135] Memang tercatat di tahun sebelumnya Transmart sempat merenovasi gerainya selama 10 bulan di TangCity Mall untuk dirombak konsepnya[136] dan membuka "Transmart Oleh-Oleh Bali" di Bali yang menyediakan oleh-oleh Pulau Dewata disamping kebutuhan sehari-hari.[137] Satria juga membantah argumen yang menyatakan harga produk yang dijualnya lebih mahal dibanding toko ritel lain.[138] Dikabarkan, demi menangani masalah ini, pemiliknya Chairul Tanjung langsung "turun gunung" demi melihat kondisi di lapangan,[139] dan memimpin transformasi untuk memperbaiki kinerjanya sejak September 2022, yang diklaim berbuah positif dengan peningkatan penjualan dari Rp 4 miliar menjadi Rp 14 miliar di salah satu gerainya.[140] Dalam situasi ini, Transmart mencoba berbenah melalui sejumlah kerja sama strategis. Salah satunya melalui kerja sama dengan Grab, melalui kehadiran Transmart di Grabmart dan investasi yang dilakukan oleh Grab di dalam Trans Retail Indonesia. Ekspansi dalam bentuk lainSejak 2024, di bawah pimpinan manajemen lama eks Carrefour Shafie Shamsuddin, Transmart mulai mengembangkan diri untuk keluar dari zona ritel belanja hipermarket dan supermarket. Mereka mulai mengembangkan gerai makanan khas Jepang dan Asia Timur lainnya bernama Oishiwa : Japanese Delicatessen, yang per November 2024 sudah membuka 3 cabang yang mengambil space/ruang di dalam Transmart (store in store), yaitu di Central Park, Cibinong City Mall dan Kota Kasablanka. Selain itu, mereka juga membuka kerja sama dengan pihak ketiga, seperti Miniso melalui store in store di Kota Kasablanka dan cabang tersendiri di Transmart Padang Khatib. Mereka juga bekerja sama dengan Gramedia melalui store in store di Central Park dan Kota Kasablanka. Yang lain, Transmart juga membuka format departemen store khusus produk produk lokal yang harganya murah, dan merupakan turunan dari Metro Department Store yang sudah dikonsolidasikan secara institusi di bawah Trans Retail Indonesia, yaitu Metro Style, yang sudah dibuka di cabang Cilandak KKO, Trans Studio Mal Makassar dan di Transpark Mal Bintaro. Lihat pulaCatatan
Referensi
Pranala luar
|