Wanita muslim yang menjadi pemimpin di dunia
Wanita muslim sejak lama telah ikut serta meramaikan perpolitikan dunia dan diantaranya banyak yang berhasil menjadi pemimpin di berbagai negara di dunia. Semakin terbukanya kesempatan bagi wanita muslim dalam mengenyam pendidikan lebih tinggi telah mendorong kaum muslimah di seluruh dunia untuk semakin terlibat di bidang politik. Hal ini dapat terlihat dari angka partisipasi perempuan muslim di bidang politik yang semakin meningkat.[1] Mayoritas wanita muslim yang menjadi pemimpin di dunia berasal dari negara yang juga mayoritas penduduknya beragama Islam. Beberapa pemimpin wanita muslim yang terkenal diantaranya adalah mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto yang menjabat antara tahun 1988-1990 dan 1993-1996, mantan Perdana Menteri Turki Tansu Ciller yang memerintah pada tahun 1993 hingga 1995, mantan Perdana Menteri Senegal Mame Madior Boye yang memimpin Republik Senegal dari tahun 2001 sampai 2002, Cissé Mariam Kaïdama Sidibé yang terpilih menjadi seorang Presiden Republik pada tahun 2011 hingga 2012, lalu Atifete Jahjaga yang merupakan mantan Presiden Kosovo pada tahun 2011 hingga 2016, kemudian dua orang mantan Perdana Menteri Bangladesh adalah perempuan muslim yaitu Begum Khaleda Zia yang memimpin Bangladesh dari tahun 1991-1996 dan 2001-2006 dan Sheikh Hasina Wajed yang menjabat antara tahun 1996 hingga 2001 dan pada tahun 2009 sampai sekarang masih menjabat, lalu mantan Wakil Presiden Iran Masoumeh Ebtekar yang menjabat pada tahun 1997 sampai 2005, dan Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 2001 hingga 2004 dan sebelumnya pernah menjabat sebagai Wakil Presiden pada tahun 1999 sampai 2001. https://www.unida.ac.id/artikel/wanita-sebagai-pemimpin--dalam-perspektif-islam Mayoritas pemimpin wanita tersebut menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan di negara yang juga mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, ada beberapa pemimpin wanita muslim lainnya yang menjadi kepala negara di negara yang penduduknya mayoritas bukan Islam. Sebagai contoh adalah Halimah Yacob yang menjadi Presiden Singapura dimana penduduknya dominan memeluk agama Buddha dan Kristen dan Bibi Ameenah Firdaus Gurib-Fakim Presiden keenam Republik Mauritius, di mana mayoritas penduduk Mauritius menganut agama Hindu. Dalam sejarah Islam terdapat banyak kisah kepemimpinan dan peranan wanita. Tokoh muslimah penting diawal peradaban Islam antara lain adalah Siti Khadijah istri pertama Nabi Muhammad. Di dalam hadis sahih dikisahkan bahawa Siti Khadijah adalah penasihat utama Nabi Muhammad dan sekaligus donatur utama dalam seluruh kerja dakwah sang suami.[2] Istri ketiga Nabi Muhammad, Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq berperan penting sebagai komandan saat terjadinya peristiwa Perang Jamal di padang Basra, Irak. Lembaga Fatwa Mesir (bahasa Arab: دار الإفتاء المصرية Dar al-Ifta al-Mishriyyah), institusi keagamaan di Mesir yang didirikan untuk mewakili umat Islam dan pusat penelitian hukum Islam, mengeluarkan fatwa untuk membolehkan seorang perempuan untuk menjadi pemimpin dan atau pengadil.[3] Meskipun banyak kisah sejarah mengenai keterlibatan perempuan muslim sebagai seorang pemimpin, generasi awal Islam banyak salah mengartikan tentang peranan wanita. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, kesempatan bagi wanita muslim mengenyam pendidikan tinggi semakin terbuka lebar. Meskipun begitu masih terdapat pandangan sebagian orang yang menganggap bahwa idealnya seorang wanita hanya berperan sebagai seorang Istri dan Ibu.[1] Namun, banyak juga aktivis perempuan muslim yang memperjuangkan hak-haknya. SejarahPeran serta perempuan dalam sejarah Islam telah tercatat sejak awal agama Islam pertama kali muncul pada awal abad ke-7. Sebelum hadirnya ajaran Islam orang-orang pada zaman Jahiliyah memiliki kebiasaan membunuh bayi perempuan yang baru dilahirkan dan tidak memberikan jatah warisan bagi anak atau cucu perempuan mereka.[4] Namun, Kedatangan Islam di jazirah Arab menjadi tonggak pembaharuan bagi hak-hak kaum perempuan. Istri pertama Nabi Muhammad, Siti Khadijah memegang peranan penting dalam perkembangan Islam. Khadijah merupakan pendamping sekaligus penasihat utama Muhammad dalam berjuang menyebarkan ajaran islam. Khadijah yang seorang pengusaha sukses merupakan salah satu donatur terbesar sepanjang sejarah kenabian Muhammad. Istri keempat Nabi Muhammad yang bernama Hafshah binti Umar adalah perempuan yang diberikan kepercayaan untuk menjaga mushaf pertama Alquran. Hafsah memegang amanat suci ini hingga akhir hayatnya.[5] Seorang muslimah juga tercatat menjadi komandan perang, yaitu istri ketiga Muhammad, Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau memimpin Perang Jamal di kota Basra, Irak.[6] Nabi Muhammad juga pernah menunjuk seorang perempuan penghafal Alquran bernama Ummi Waraqah untuk menjadi imam salat bagi keluarganya. Kondisi ini diperbolehkan Rasulullah karena laki-laki dirumahnya sakit sehingga tidak mampu memimpin ibadah salat.[7] Sejarah kerajaan Islam mencatatkan ada beberapa Sultanah yang memerintah kesultanan di berbagai wilayah di seluruh dunia. Beberapa kerajaan Islam yang pernah dipimpin oleh seorang Sultanah diantaranya adalah Kerajaan Touggourt yang pernah diperintah oleh Sultanah Aïsya. Kerajaan Maladewa juga pernah diperintah oleh beberapa orang sultanah, mereka adalah Khadijah, Raadhafathi, Dhaain, Kuda Kala Kamanafa’anu, dan Amina. Provinsi Aceh yang kini menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia dulunya pernah dipimpin oleh beberapa wanita. Kesultanan Samudera Pasai pernah dipimpin oleh Sultanah Seri Ratu Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu yang memerintah pada tahun 1406 hingga 1427. Kesultanan Aceh Darussalam juga pernah diperintah oleh empat orang perempuan, yaitu Sultanah Seri Ratu Ta'jul Alam Syafiatuddin Syah of Aceh, Sultanah Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah, Sultanah Seri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah, dan Sultanah Seri Ratu Kamalat Syah. Gerakan perjuangan hak-hak bagi kaum wanita muslim mulai terjadi pada awal abad ke-19 dengan munculnya dua orang filsuf Islam modern Rifa'at al-Tahtawi dan Qasim Amin. Qasim Amin dianggap sebagai "Bapak reformasi perempuan muslim di Timur Tengah, menentang norma sosial melalui bukunya yang berjudul The Liberation of Women".[8] Selain dua orang laki-laki tersebut, terdapat juga tiga orang aktifis perempuan yang juga sama-sama berasal dari Mesir. Mereka adalah Maryam al-Nahhas, Zaynab Fawwaz, dan Aisha al-Taymuriyya yang giat menggalakkan feminisme Islam di akhir abad ke-19. Pada tahun 1956 seorang wanita Mesir bernama Doria Shafik menjadi tokoh perjuangan bagi kaum perempuan di Mesir agar mendapatkan hak pilih dalam pemilihan umum di Mesir. Pandangan Islam terhadap pemimpin wanitaPara ulama banyak berbeda pendapat mengenai keterlibatan wanita dalam bidang politik. Hal ini terjadi karena masing-masing ulama memiliki pendapat sendiri dalam menginterpretasikan Alquran, hadis, dan literatur Islam lainnya. Rumitnya bahasa Arab, perbedaan paham dalam Islam, seperti perbedaan antara Islam Sunni dan Islam Syiah, dan perbedaan budaya serta pemahaman di masing-masing wilayah telah membuat perbedaan fatwa dikalangan para ulama.[9] Tidak ada satupun ayat dalam Alquran ataupun hadis sahih yang secara gamblang mengharamkan ataupun membolehkan wanita menjadi seorang pemimpin. Pandangan yang mengharamkan pemimpin wanitaUlama yang mengharamkan seorang pemimpin berjenis kelamin wanita mengambil dalil dari Alquran Surah An Nisa 4:34 dan hadis sahih riwayat Bukhari dari Abu Bakrah. Dari kedua dalil tersebut para ulama dan ahli fikih dari empat mazhab besar Islam berpendapat bahwa seorang imam haruslah seorang laki-laki dan tidak boleh dipegang oleh seorang wanita.[10] Didalam kitabnya Ibnu Katsir menafsirkan Alquran Surah An Nisa 4:34 sebagai berikut: الرجل قيم على المرأة، أي هو رئيسها وكبيرها والحاكم عليها ومؤدبها إذا اعوجت. “بما فضَّل اللّه بعضهم على بعض” أي: لأن الرجال أفضل من النساء، والرجل خير من المرأة، ولهذا كانت النبوة مختصة بالرجال، وكذلك المُلك الأعظم؛ لقوله _صلى اللّه عليه وسلم: “لن يفلح قوم ولَّو أمرهم امرأة” رواه البخاري، وكذا منصب القضاء وغير ذلك “وبما أنفقوا من أموالهم” أي: من المهور والنفقات… فناسب أن يكون قيماً عليها كما قال اللّه _تعالى_: “وللرجال عليهن درجة” الآية، وقال ابن عباس: “الرجال قوامون على النساء” يعني أمراء عليهن، أي تطيعه فيما أمرها اللّه به من طاعته…) Laki-laki adalah pemimpin wanita … karena laki-laki lebih utama dari perempuan. Itulab sebabnya kenabian dikhususkan bagi laki-laki begitu juga raja yang agung; … begitu juga posisi jabatan hakim dan lainnya… Ibnu Abbas berkata “Laki-laki pemimpin wanita” maksudnya sebagai amir yang harus ditaati oleh wanita[11] Ahli tafsir Fakh Ar-Razi memiliki pandangan yang sama dengan Ibnu Katsir, Pendapat Fakh Ar-Razi dalam kitab Tafsir Mafatihul Ghaib berbunyi: واعلم أن فضل الرجل على النساء حاصل من وجوه كثيرة، بعضها صفات حقيقة، وبعضها أحكام شرعية وفيهم الإمامة الكبرى والصغرى والجهاد والأذان والخطبة والاعتكاف والشهادة في الحدود والقصاص بالاتفاق Keutamaan laki-laki atas wanita timbul dari banyak sisi. Sebagian berupa sifat-sifat faktual sedang sebagian yang lain berupa hukum Syariat seperti al-imamah al-kubro dan al-imamah as-sughro, jihad, adzan, dan lain-lain[12] Wahbah Al-Zuhaili berpendapat di dalam kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu mengambil ijmak para ulama yang menyatakan bahwa salah satu syarat menjadi imam adalah harus seorang laki-laki (dzukuroh): وأما الذكورة فلأن عبء المنصب يتطلب قدرة كبيرة لا تتحملها المرأة عادة، ولا تتحمل المسؤولية المترتبة على هذه الوظيفة في السلم والحرب والظروف الخطيرة، قال صلّى الله عليه وسلم: «لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة» (2) لذا أجمع الفقهاء على كون الإمام ذكراً. Adapun laki-laki (sebagai syarat jabatan al-imam) karena beban pekerjaan menuntut kemampuan besar yang umumnya tidak dapat ditanggung wanita. Wanita juga tidak sanggup mengemban tanggung jawab yang timbul atas jabatan ini dalam masa damai atau perang dan situasi berbahaya. Nabi bersabda: ‘Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada wanita’ Oleh karena itu, ulama fikih sepakat bahwa jabatan Imam harus laki-laki[13] Istilah al-imam di dalam tafsir sini bermakna al-imam al-udzma atau al-khalifah al-ammah yang merupakan pemimpin umat Islam seluruh dunia. Namun, Wahbah Al-Zuhaili juga berpendapat bahwa dalam hal posisi jabatan sebagai qadhi atau hakim beberapa ahli fikih memiliki perbedaan pendapat. Berikut pernyataan Wahab Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu: اتفق أئمة المذاهب على أن القاضي يشترط فيه أن يكون عاقلاً بالغاً حراً مسلماً سميعاً بصيراً ناطقاً، واختلفوا في اشتراط العدالة، والذكورة Imam madzhab sepakat bahwa syarat bagi qadhi adalah berakal sehat, baligh, merdeka, muslim, tidak tuli, tidak buta, tidak bisu. Mereka berbeda pendapat dalam syarat adil dan laki-laki[13] Ulama yang membolehkan wanita memegang jabatan qadhi atau hakim, yaitu Abu Hanifah, Ibnu Hazm dan Ibnu Jarir at-Tabari. Ibnu Rusyd juga memilik pendapat mengenai hal ini. Berikut pernyataan Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid: وكذلك اختلفوا في اشتراط الذكورة: فقال الجمهور: هي شرط في صحة الحكم، وقال أبو حنيفة يجوز أن تكون المرأة قاضيا في الأموال. قال الطبري: يجوز أن تكون المرأة حاكماعلى الإطلاق في كل شيء Ulama berbeda pendapat tentang disyaratkannya laki-laki sebagai hakim. Jumhur mengatakan: ia menjadi syarat sahnya putusan hukum. Abu Hanifah berkata: boleh wanita menjadi qadhi dalam masalah harta. At-Tabari berkata: Wanita boleh menjadi hakim secara mutlak dalam segala hal[14] Ulama lain yang mengharamkan kepemimpinan wanita adalah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Ulama asal Arab Saudi ini berpendapat bahwa seorang perempuan diharamkan menduduki jabatan politik apapun dalam pemerintahan: تولية المرأة واختيارها للرئاسة العامة للمسلمين لا يجوز، وقد دل الكتاب والسنة والإجماع على ذلك ، فمن الكتاب: قوله تعالى: { الرجال قوَّامون على النساء بما فضَّل الله بعضهم على بعض ، والحكم في الآية عام شامل لولاية الرجل وقوامته في أسرته ، وكذا في الرئاسة العامة من باب أولى ، ويؤكد هذا الحكم ورود التعليل في الآية ، وهو أفضلية العقل والرأي وغيرهما من مؤهلات الحكم والرئاسة . ومن السنَّة: قوله صلى الله عليه وسلم لما ولَّى الفرسُ ابنةَ كسرى: ( لن يفلح قومٌ ولَّوا أمرَهم امرأة ) ، رواه البخاري ولا شك أن هذا الحديث يدل على تحريم تولية المرأة لإمرة عامة ، وكذا توليتها إمرة إقليم أو بلد ؛ لأن ذلك كله له صفة العموم ، وقد نفى الرسول صلى الله عليه وسلم الفلاح عمَّن ولاها ، والفلاح هو الظفر والفوز بالخير . Kepemimpinan wanita untuk riasah ammah lil muslimin itu tidak boleh. Quran, hadits dan ijmak sudah menunjukkan hal itu. Dalil dari Al-Quran adalah Alquran Surah An-Nisa 4:34. Hukum dalam ayat tersebut mencakup kekuasaan laki-laki dan kepemimpinannya dalam keluarga. Apalagi dalam wilayah publik… Adapun dalil hadits adalah sabda Nabi “Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh perempuan.” Tidak diragukan lagi bahwa hadits ini menunjukkan haramnya kepemimpinan perempuan pada otoritas umum atau otoritas kawasan khusus. Karena semua itu memiliki sifat yang umum. Rasulullah telah menegasikan kejayaan dalam suatu negara yang dipimpin perempuan[15] Pandangan yang membolehkan wanita menjadi seorang pemimpinDr. Muhammad Sayid Thanthawi, Syaikh Al-Azhar dan seorang Mufti dari Mesir, mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kepemimpinan perempuan dalam posisi jabatan apapun tidak bertentangan dengan syariat Islam.[10] Baik itu sebagai kepala negara (al-wilayah al-udzma) maupun posisi jabatan di bawahnya. Dalam fatwanya yang dikutip majalah Ad-Din wal Hayat, Dr. Muhammad Sayid Thanthawi menyatakan: 'ان تولي المرأة رئاسة الدولة لا يخالف الشريعة الإسلامية لأن القرآن الكريم أشاد بتولي المرأة لهذا المنصب في الآيات التي ذكرها المولى عز وجل عن ملكة سبأ وأنه إذا كان ذلك يخالف الشريعة الإسلامية لبين القرآن الكريم ذلك في هذه القصة وحول نص حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لم يفلح قوم ولو أمرهم امرأة )، قال طنطاوي ان هذا الحديث خاص بواقعة معينة وهي دولة الفرس ولم يذكره الرسول صلى الله عليه وسلم على سبيل التعميم.: فللمرأة أن تتولى رئاسة الدولة والقاضية والوزيرة والسفيرة وان تصبح عضوا في المجالس التشريعية إلا أنه لا يجوز لها مطلقا أن تتولى منصب شيخ الأزهر لأن هذا المنصب خاص بالرجال فقط لأنه يحتم على صاحبه إمامة المسلمين للصلاة وهذا لا يجوز شرعا للمرأة.)' Wanita yang menduduki posisi jabatan kepala negara tidaklah bertentangan dengan Syariat karena Al-Quran memuji wanita yang menempati posisi ini dalam sejumlah ayat tentang Ratu Balqis dari Saba. Dan bahwasanya apabila hal itu bertentangan dengan Syariat, maka niscaya Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini. Adapun tentang sabda Nabi bahwa “Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh wanita” Tantawi berkata: bahwa hadits ini khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan Farsi dan Nabi tidak menyebutnya secara umum. Oleh karena itu, maka wanita boleh menduduki jabatan sebagai kepala negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga legislatif. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena ia berkewajiban menjadi imam salat yang secara Syariat tidak boleh bagi wanita.[16] Fatwa Dr. Muhammad Sayid Thanthawi ini disepakati oleh Yusuf Qardhawi. Ia menegaskan bahwa wanita berhak memegang jabatan sebagai kepala negara (riasah daulah), mufti, anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi apapun dalam pemerintahan ataupun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam dalam soal ini jelas bahwa wanita itu memiliki kemampuan sempurna (tamam al ahliyah). Menurut Yusuf Qardhawi tidak ada satupun dalil dalam Alquran dan hadis yang melarang wanita untuk menduduki jabatan apapun dalam pemerintahan. Namun, Yusuf Qardhawi juga menegaskan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah harus menaati aturan yang telah ditentukan oleh syariat Islam, seperti:
Mufti lain asal Mesir, Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, juga berpendapat bahwa seorang perempuan boleh menjadi kepala negara dan menduduki jabatan tinggi apapun seperti hakim, menteri, anggota parlemen, dan lain-lain. Namun, ia juga bersepakat dengan pandangan Yusuf Qardhawi bahwa posisi seorang Al-Imamah Al-Udzma yang menaungi seluruh umat Islam di dunia harus dipegang oleh laki-laki karena salah satu tugas Al-Imamah Al-Udzma adalah menjadi imam salat yang hanya diperbolehkan bagi laki-laki. Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab menyatakan bahwa dalam sejarah Islam telah banyak pemimpin perempuan. Tercatat lebih dari 90 orang muslimah yang pernah menjabat sebagai hakim dan kepala daerah terutama di zaman Kesultanan Utsmaniyah. Menurut Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, keputusan seorang perempuan untuk memegang jabatan politik adalah keputusan pribadi antara suaminya dan dirinya sendiri.[10] Hak bagi wanita muslim dalam memberikan suaraHak pilih bagi wanita telah lama diberikan dalam kurun waktu yang berbeda-beda pada masing-masing negara. Khusus bagi beberapa negara dengan jumlah penduduk beragama mayoritas Islam memang cenderung lebih lambat memberikan hak pilih bagi kaum perempuan di negaranya. Berikut lini waktu negara-negara Islam dalam memberikan hak pilih bagi kaum wanita di negaranya: 19171918192019211924
19271930193219341938194519461947194819491952
1956195719581959196019611962196319641965
196719701972197319741978
198019851996
19992001
200320052015
Daftar wanita muslim kepala negara dan kepala pemerintahanBerikut ini adalah daftar nama-nama wanita muslim yang pernah dan sedang menjabat sebagai Kepala Negara dan atau Kepala Pemerintahan di berbagai negara di dunia: Pejabat petahana kepala negara dan atau kepala pemerintahan.
Pimpinan politikSelain menjadi Kepala Negara dan atau Kepala pemerintahan, para muslimah di abad modern juga banyak memegang peranan penting sebagai pimpinan politik di banyak negara di dunia. Kaum wanita muslim ini banyak yang menjadi kepala daerah, pimpinan partai politik, anggota parlemen, sekretaris negara, menteri, hingga menjadi seorang wakil presiden. Berikut tokoh-tokoh politik wanita muslim dibeberapa negara di dunia: AfganistanKubra Nurzai Kubra Nurzai adalah menteri perempuan pertama di Afganistan. Konstitusi negara Afganistan tahun 1964 dibawah pemerintahan Raja Mohammad Zahir Shah untuk pertama kalinya memberikan hak pilih kepada seluruh wanita di negaranya. Hasil dari kebijakan ini adalah pada pemilihan umum tahun tersebut tiga orang perempuan terpilih menjadi anggota parlemen Afganistan dan dua orang perempuan ditunjuk sebagai anggota senat. Kubra Nurzai dipercaya menjadi Menteri Kesehatan Umum pada tahun 1965 dan kembali ditunjuk pada tahun 1967.[28] Massouda Jalal Setelah lulus kuliah kedokteran di Kabul Massouda Jalal berkarier sebagai seorang dokter hingga tahun 1999 ketika Taliban mulai berkuasa. Massouda Jalal kemudian beralih menjadi relawan di PBB untuk World Food Progamme (WFP) pada tahun 1999. Setelah Taliban digulingkan pada tahun 2002 Massouda Jalal adalah salah satu dari 200 orang wanita yang berpartisipasi dalam loya jirga. Massouda Jalal maju mencalonkan diri sebagai calon presiden pada tahun 2002, menjadikannya wanita pertama yang menjadi calon presiden. Massouda Jalal meraih total 171 suara (terbanyak kedua) pada pemilihan presiden Afganistan dan kalah terhadap lawan politiknya Hamid Karzai.[29] Meskipun kalah dalam pemilihan presiden, Hamid Karzai menunjuk Massouda Jalal sebagai Menteri Urusan Wanita dari tahun 2004 hingga 2006. Azra Jafari Salah satu dari 200 orang perempuan yang berpartisipasi pada loya jirga setelah tergulingnya kekuasaan Taliban pada tahun 2002. Azra Jafari merupakan wali kota perempuan pertama di Afganistan. Azra Jafari adalah wali kota Nili, sebuah kota kecil di Provinsi Daykundi, Afganistan.[30] Fawzia Koofi Pada tahun 2014 Fawzia Koofi menjadi calon presiden Afganistan setelah beliau terpilih sebagai Wakil Presiden National Assembly of Afghanistan pada tahun 2005. Fawzia Koofi juga merupakan perempuan pertama yang memegang jabatan sebagai Wakil Kedua Juru Bicara Parlemen Afganistan.[31] Sima Samar Sima Samar menjabat sebagai Menteri Urusan Wanita dari tahun 2001 hingga 2003.[32] Frozan Fana Frozan Fana pernah maju sebagai calon presiden Afganistan pada Pemilohan Presiden Afganistan tahun 2009.[33] Shahla Atta Shahla Atta pernah maju sebagai calon presiden Afganistan pada Pemilihan Presiden Afganistan tahun 2009.[34] AzerbaijanLala Shevket Lala Shevket adalah menteri luar negeri pwanita pertama di dunia. Latar belakang pendidikan Lala Shevket adalah seorang profesor dan dokter. Lala Shevket juga tercatat sebagai duta besar wanita pertama di Azerbaijan pada tahun 1993. Lala menjabat sebagai menteri luar negeri sejak tahun 1993 hingga 1994. Lala mengundurkan diri dari jabatan menteri luar negeri karena ketidakpuasaannya terhadap korupsi yang terjadi dalam lingkaran pemerintahan Azerbaijan. Lala Shevket lalu membangun sebuah partai politik bernama Partai Azerbaijan Liberal pada tahun 1995. Melalui partai yang dipimpinnya, Lala sempat mencalonkan diri sebagai presiden.[35] Pada tanggal 7 Juni 2003 saat kongres Partai Azerbaijan Liberal, Lala Shevket menyatakan mundur dari pimpinan partai untuk fokus dan memulai kampanyenya sebagai calon independen. Sebagai akibat dari keputusannya itu Lala kembali menjadi pelopor dalam tardisi perpolitikan di Azerbaijan yaitu maju dalam bursa calon presiden melalui jalur independen. Pada pemilihan umum anggota parlemen tahun 2005, Lala Shevket meraih kemenangan mutlak dengan perolehan suara terbanyak diantara kandidat lainnya.[36] Mehriban Aliyeva Mehriban Aliyeva adalah Wakil Presdiden Azerbaijan sekaligus berperan sebagai Ibu Negara Azerbaijan. Mehriban juga adalah ketua Yayasan Heydar Aliyev, pimpinan dari Yayasan Sahabat Budaya Azerbaijan, Presiden Federasi Senam Azerbaijan, serta duta persahabatan dari UNESCO dan ISESCO.[37] Pada tahun 1995, Mehriban Aliyeva membangun Yayasan Sahabat Budaya Azerbaijan. Pada tahun 1996 dengan bantuan keuangan dari Chevron, yayasan ini menganugerahkan penghargaan seumur hidup kepada enam tokoh Azerbaijan yang berjasa di bidang kesenian dan kebudayaan.[38] Pada pemilihan umum anggota parlemen Azerbaijan pada tahun 2005, Mehriban terpilih sebagai menjadi anggota parlemen. Mehriban Aliyeva juga aktif turun ke masyarakat ketika suaminya Ilham Aliyev mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2003. Pada tanggal 24 November 2006, Mehriban Aliyeva mendapatkan penghargaan sebagai duta persahabatan dari ISESCO karena kontribusinya terhadap nasib dan pendidikan bagi anak-anak.[37] Leyla Yunus Leyla Yunus adalah aktifis hak asasi manusia yang berasal dari Azerbaijan. Leyla menjabat sebagai direktur sebuah organisasi hak asasi manusia bernama Institut Perdamaian dan Demokrasi. Leyla Yunus dikenal luas karena kiprahnya menolong masyarakat korban pengusiran paksa di Baku.[39] Leyla Yunus adalah seorang sejarawan dengan disertasi yang berjudul English-Russian Rivalry on the Caspian Sea and Azerbaijan in the First Part of the 18th Century. Di akhir masa pemerintahan Uni Soviet, Leyla Yunus adalah aktifis pro reformasi pada saat itu.[40] Ganira Pashayeva Ganira Pashayeva adalah anggota parlemen Azerbaijan. Semenjak tahun 1998, Ganira berkarier sebagai seorang wartawan, koresponden, penyunting redaksi, wakil kepala penyunting pada bagian pemberitaan di perusahaan yang bergerak di bidang media di Azerbaijan. Pada tanggal 6 November 2005 Ganira Pshayeva terpilih sebagai anggota parlemen dari wilayah konstituen Tovuz. Ganira Pashayeva juga merupakan anggota kerjasama dari Azerbaijan-India, Azerbaijan-Turki dan Azerbaijan-Jepang dalam parlemen Azerbaijan.[41] BahrainLateefa Al Gaood Lateefa Al Gaood adalah perempuan pertama yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Bahrain pada tahun 2006 dan sekaligus menjadi satu-satunya perempuan yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Bahrain.[42] Nada Haffadh Nada Haffadh adalah perempuan pertama yang menjadi menteri di Bahrain. Nada menduduki posisi sebagai menteri kesehatan pada tahun 2004. Nada Haffadh juga pernah menjadi anggota parlemen.[43] BangladeshBangladesh merupakan negara dengan populasi muslim terbesar keempat di dunia. Selama 25 tahun terakhir Bangladesh telah dipimpin oleh dua orang perdana menteri perempuan secara bergantian.[47] Dua orang perempuan tersebut adalah Khaleda Zia[48] dan Sheikh Hasina. Sheikh Hasina Sheikh Hasina atau Hasina Wajed memegang jabatan sebagai perdana menteri antara tahun 1996-2001 dan 2009-sekarang. Sheikh Hasina adalah anggota Dewan Pemimpin Dunia Wanita. Khaleda Zia Khaleda Zia adalah Perdana Menteri Bangladesh pada tahun 1991 hingga 1996 dan 2001 hingga 2006. Ketika terpilih menjadi perdana menteri pada tahun 1991 Khaleda Zia menjadi wanita pertama yang menjabat sebagai perdana menteri di Bangladesh dan merupakan perempuan muslim pemimpin negara kedua setelah Benazir Bhutto.[49] Khaleda Zia juga merupakan ketua umum Partai Nasionalis Bangladesh. Majalah Forbes mencatatkan nama Khaleda Zia kedalam daftar 100 wanita paling berpengaruh di dunia.[49][50][51] MesirMesir adalah negara dengan populasi pemeluk Islam terbesar kedelapan dan hampir sepertiga anggota parlemen Mesir adalah perempuan.[52] Rawya Ateya Rawya Ateya dianggap sebagi pelopor pemimipin wanita di negara mayoritas muslim. Rawya adalah wanita pertama di dunia Arab yang menjadi anggota parlemen pada tahun 1957.[53][54] IndonesiaIndonesia adalah negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia membuat peraturan mengenai Pendaftaran dan Seleksi Anggota DPR dan DPRD (Provinsi, Kabupaten/Kota) Nomor 07/2013 dan PKPU No.08/2013. pada peraturan tersebut disebutkan bahwa Partai Politik harus memenuhi syarat “30% dari jumlah calon yang diajukan di setiap Dapil adalah Perempuan” dan “menempatkan sekurang-kurangnya 1 (satu) nama bakal calon perempuan dalam setiap 3 (tiga) nama bakal calon pada nomor urut yang lebih kecil”, yang bilamana aturan tersebut tidak dipenuhi maka Partai Politik yang bersangkutan dianggap tidak memenuhi syarat pengajuan calon legislatif di daerah pemilihan yang bersangkutan.[55] Megawati Soekarnoputri Megawati Soekarnoputri adalah Presiden Republik Indonesia kelima dan merupakan presiden wanita pertama di Indonesia. Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden antara tahun 2001 hingga 2004. Sebelum diangkat menjadi presiden, Megawati adalah Wakil Presiden Indonesia mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid.[56] Ratu Atut Chosiyah Ratu Atut Chosiyah adalah gubernur wanita pertama di Indonesia. Atut merupakan mantan Gubernur Provinsi Banten kedua. Atut memegang jabatan gubernur dari tahun 2005 hingga 2014. Pada 17 Desember 2013, Ratu Atut Chosiyah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus pengadaan alat kesehatan di Banten.[57][58] KirgzstanRoza Otunbayeva Roza Otunbayeva adalah presiden wanita pertama di Kirgizstan. Meskipun memimpin di negara berpenduduk mayoritas muslim, Roza Otunbayeva mengakui dirinya adalah seorang penganut ateisme.[59] KosovoAtifete Jahjaga Atifete Jahjaga adalah Presiden Kosovo keempat dan presiden wanita pertama di Kosovo.[60] MaliCissé Mariam Kaïdama Sidibé Cissé Mariam Kaïdama Sidibé adalah wanita Mali pertama yang menjabat sebagai perdana menteri. Cissé Mariam Kaïdama Sidibé menjabat dari tahun 2011 hingga 2012.[61] PakistanPakistan adalah negara dengan populasi muslim terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Fatima Jinnah Fatima Jinnah adalah saudara perempuan dari Muhammad Ali Jinnah bapak bangsa Pakistan. Fatimah Jinnah adalah salj satu tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan Pakistan dari India. Fatima Jinnah juga pernah mencalonkan diri dalam pemilihan presiden. Fatima Jinnah dimakamkan di Mazar-e-Quaid.[62] Benazir Bhutto Pada tahun 1982 Benazir Bhutto terpilih menjadi perempuan pertama di Pakistan yang memimpin sebuah partai politik. Ayahnya, Zulfiqar Ali Bhutto, adalah pendiri Partai Rakyat Pakistan pada tahun 1968.[63] Benazir menjabat sebagai Perdana Menteri Pakistan sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1988-1990 dan 1992-1996. Terpilihnya Benazir sebagai Perdana Menteri Pakistan menjadi tonggak sejarah bagi perempuan muslim menjadi kepala pemerintahan di suatu negara. Benazir Bhutto dibunuh pada tahun 2008 saat dia sedang menjadi kandidat perdana menteri.[64] RumaniaSevil Shhaideh Meskipun kalah, Sevil Shhaideh pernah menjadi calon Perdana Menteri di Rumania. Sevil Shhaideh adalah tokoh muslim Rumania yang terkenal diantara lebih dari 80% penduduk Rumania memeluk keyakinan Kristen Ortodoks sementara populasi muslim di Rumania kurang dari 1%.[65] SenegalMame Madior Boye Mame Madior Boye adalah Menteri Keadilan Senegal tahun 2000 dan menjadi perdana menteri dari tahun 2001 sampai 2002. Mame Madior Boye adalah perempuan Senegal pertama yang menjabat posisi ini.[66] Aminata Touré Aminata Touré adalah perdana menteri perempuan kedua di Senegal. Aminata menjabat dari tahun 2013 hingga 2014.[67] Siprus UtaraSibel Siber Sibel Siber adalah pejabat sementara Perdana Menteri Republik Turki Siprus Utara. Sibel Siber memegang jabatan perdana menteri hanya selama 81 hari.[68] TurkiTansu Çiller Tansu Çiller terpilih menjadi Perdana Menteri Turki pada tahun 1993. Jika beberapa negara muslim lainnya dipimpin oleh wanita yang mendapatkan jabatan karena suksesi dari sang ayah, suami, ataupun yang lain, maka Tansu Çiller meraih kursi perdana menteri berkat usahanya sendiri.[69] YordaniaToujan Al-Faisal Toujan Al-Faisal adalah perempuan Yordania pertama yang menjadi anggota parlemen pada tahun 1993. Keanggotaan Toujan Al-Faisal ini mendapat banyak penolakan.[70][71] Lihat pula
Referensi
|