Bahasa GorontaloWikipedia juga mempunyai edisi Bahasa Gorontalo Bahasa Gorontalo adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang digunakan oleh Suku Gorontalo. Bahasa Gorontalo tersebar di Semenanjung Utara Sulawesi, terutama di wilayah Provinsi Gorontalo, serta di wilayah Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Adapun jumlah penutur Bahasa Gorontalo diperkirakan mencapai lebih dari 1.000.000 jiwa pada tahun 2015.[4] Berdasarkan data tersebut maka Suku Gorontalo dan Bahasa Gorontalo menjadi suku dengan populasi serta penutur bahasa daerah terbanyak di Semenanjung Utara Sulawesi dan Teluk Tomini. Di pulau Sulawesi itu sendiri, Bahasa Gorontalo (Suku Gorontalo) merupakan bahasa daerah dengan jumlah populasi dan penutur terbanyak ke-3 setelah Bahasa Bugis (Suku Bugis) dan Bahasa Makassar (Suku Makassar).[5] PenggolonganBahasa Gorontalo termasuk dalam kelompok bahasa Gorontalik,[6] yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Gorontalo-Mongondow,[7] cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia,[8] cabang dari rumpun bahasa Austronesia.[9] Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan dengan bahasa Gorontalo adalah bahasa Suwawa, bahasa Bolango, bahasa Buol, bahasa Bintauna, bahasa Kaidipang, dan bahasa Lolak. Fonologi
Bilangan
Silsilah Keluarga
Catatan: Tambahan kata Ti dan Te merupakan kata sapaan yang melekat atau digunakan oleh masyarakat Gorontalo saat menyebut/menyapa seseorang. Kata Ti ditambahkan untuk menyapa perempuan atau orang yang lebih tua dan dihormati (penghormatan dan pemuliaan). Sedangkan kata Te ditambahkan untuk menyapa laki-laki atau laki-laki yang lebih muda, dan juga digunakan untuk rekan sebaya (laki-laki). KarakteristikBahasa Gorontalo memiliki karakteristik yang unik dan terkesan mudah untuk dipelajari. Terdapat dua karakteristik utama dalam bahasa daerah ini, yaitu ragam dialek dan ciri khas huruf terakhir dari setiap kata. Dialek Bahasa Gorontalo terbagi menjadi beberapa dialek, dilihat dari letak geografisnya:
Ciri Khas Salah satu ciri khas yang paling menonjol dalam Bahasa Gorontalo adalah penggunaan salah satu huruf vokal (a,i,u,e,o) pada setiap huruf terakhir sebuah kata. Contohnya: mela (merah), huyi (malam), tuluhu (tidur), rasipede (sepeda), bongo (kelapa). Pengaruh Pelafalan dalam Bahasa Indonesia Selain itu, pengaruh Bahasa Gorontalo terasa begitu kuat mempengaruhi pelafalan kata demi kata dalam Bahasa Indonesia. Pada beberapa kata kerja maupun kata benda dalam bahasa Indonesia yang menggunakan huruf "E", secara otomatis akan berubah pelafalannya menjadi huruf "O", contohnya Bolajar (Belajar), Posawat (Pesawat), Moncuci (Mencuci), Mongapa (Mengapa). Pengaruh pelafalan dalam Bahasa Indonesia ini pun kemudian dikenal sebagai bagian dari karakteristik Bahasa Melayu Gorontalo. Karya SastraMasyarakat Gorontalo telah mengenal berbagai macam karya sastra, khususnya sastra lisan yang diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Adapun beberapa karya sastra lisan yang masih dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat Gorontalo sehari-hari adalah:
Tantangan terbesar dari ragam karya sastra lisan di Gorontalo adalah pemberdayaan generasi muda untuk melestarikan warisan sastra dan budaya para leluhur yang saat ini terus digerus perkembangan zaman. Kesulitan terbesar dari upaya pelestarian ragam karya sastra lisan Gorontalo salah satunya adalah terbatasnya kaderisasi penggiat sastra lisan Gorontalo yang hanya dipertuturkan dan dihafal oleh para pelaku, tokoh maupun sesepuh adat setempat. Hal ini kemudian menjadikan ragam naskah tertulis dari karya sastra lisan Gorontalo menjadi sangat jarang ditemui. Referensi satu-satunya dan sangat terbatas terkait karya sastra lisan Gorontalo baru dapat dilacak setelah kedatangan para penyebar agama islam dan penjajah Belanda di Gorontalo yang saat itu turut memperkenalkan berbagai bentuk karya tulis sebagai media penulisan dan komunikasi masyarakat Gorontalo. LiteraturSalah satu manuskrip tua dalam bahasa Gorontalo yang ditemukan berjudul Utiya tilingolowa lo pilu lo tau lota ohu-uwo lo pilu boito.[11] Di bawah judul buku ini tertulis poliama 1870 yang merupakan tahun penulisan manuskrip. Kata poliama adalah merujuk pada ilmu astronomi kuno masyarakat Gorontalo yang didasarkan pada pergerakan posisi benda-benda langit yang dipraktikkan jika hendak bercocok tanam, membuat rumah baru, pindahan, perkawinan dan lain sebagainya. Manuskrip ini ditulis oleh Johan Gerhard Frederich Riedel yang merupakan anak tertua penginjil J.F. Riedel dari Belanda. Buku lainnya mengenai bahasa Gorontalo yang berusia cukup tua ditulis oleh Wilhelm Joest, seorang pengelana dunia dan ahli etnografi dari Jerman. Buku ini berjudul Das Holontalo: Glossar und grammatische Skizze ; ein Beitrag zur Kenntniss der Sprachen von Celebes, dicetak di Berlin tahun 1883. Tokoh Bahasa GorontaloAda beberapa nama tokoh yang berperan dalam pelestarian bahasa Gorontalo, di antaranya adalah: Manuli[12] Dia adalah seorang penutur Tanggomo,[13] sastra lisan bahasa Gorontalo. Kelebihan Manuli adalah, dia sanggup menghafal ribuan syair tanggomo dan mampu membuat syair baru seketika berdasarkan peristiwa atau kejadian yang baru dilihatnya.[14] Syair tanggomo yang diciptakannya dilantunkan di pasar-pasar tradisional Gorontalo saat dia berjualan, yang tentu saja menarik perhatian orang banyak dan turut melariskan dagangannya. Syair-syair tanggomo yang dibawakannya cukup banyak yang direkam dan disimpan sebagai arsip digital pada Radio Republik Indonesia, Gorontalo. Dia adalah seorang pengajar yang menjadi dosen di Universitas Negeri Gorontalo. Banyak buku-buku yang dihasilkannya, yang paling dikenal publik adalah Kamus Bahasa Gorontalo-Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia-Gorontalo. Pateda juga terlibat dalam penyusunan Al-Qur’an terjemahan ke dalam bahasa Gorontalo yang dikerjakan bersama tim. Beliau dianugerahi gelar adat Taa Lopoolamahe Popoli, yang artinya Putra Terbaik Pelestari Budaya Gorontalo. Jusuf Sjarif Badudu[17] Dia adalah seorang pakar bahasa Indonesia. Ia juga adalah Guru Besar Linguistika pada Universitas Padjadjaran dan dikenal luas di masyarakat sebagai pembawa acara Pembinaan Bahasa Indonesia 1974-1979 di TVRI. Perhatiannya tehadap bahasa Gorontalo cukup besar yang dibuktikan dengan bukunya “Morfologi Bahasa Gorontalo”. Atas jasanya tersebut, Dewan Adat Gorontalo memberikan gelar adat Taa O Ilomata To Wulito.[18] Referensi
Pranala luar
|