Suku Gorontalo yang dalam bahasa lokal adalah Suku Hulontalo atau Tawu Hulontalo (bahasa Melayu: Gorontalo; Jawi: ڬورونتالو) adalah suku bangsa terbesar di wilayah Utara Pulau Sulawesi hingga ke Kawasan Teluk Tomini dan sekitarnya.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, populasi suku Gorontalo mencapai lebih dari 1.251.494 jiwa atau sebesar 0,53% dari total seluruh penduduk Indonesia.[1]
Dari data statistik tersebut, Suku Gorontalo menduduki posisi pertama sebagai suku dengan populasi terbanyak di wilayah semenanjung utara pulau Sulawesi, disusul dengan Suku Minahasa yang berada di peringkat kedua.[2]
Suku Hulontalo dalam akar sejarahnya berasal dari pegunungan Tilongkabila yang saat ini menjadi wilayah dari Provinsi Gorontalo, Sulawesi. Bahasa utama yang digunakan adalah bahasa Gorontalo dengan beberapa dialek lokal. Suku Gorontalo juga terkenal dengan ragam masakan khas Gorontalo yang populer di lidah kebanyakan masyarakat Indonesia.
Kata Gorontalo pada dasarnya berasal dari kata Hulontalo dalam bahasa Gorontalo. Hulontalo itu sendiri berasal dari kata dasar Hulontalangi, sebuah nama salah satu Kerajaan di Gorontalo. Selain itu, terdapat beberapa catatan sejarah mengenai asal muasal dari nama Gorontalo, diantaranya:[3][4]
Hulontalangi, yang bermakna "Lembah Mulia"
Hulontalangi berasal dari dua suku kata, yaitu Huluntu yang berarti lembah dan Langi yang berarti mulia.
Hulontalangi, yang bermakna "Daratan yang Tergenang"
Kata Hulontalangi dalam penerjemahan lain berasal dari dua suku kata, yaitu Huntu yang berarti onggokan tanah atau daratan, dan Langi-Langi yang berarti tergenang. Maka kata Hulontalangi dapat pula diartikan sebagai "daratan yang tergenang air" sesuai dengan cerita turun temurun di masyarakat Gorontalo.
Huidu Totolu, yang bermakna "Tiga Gunung"
Jika ditelusuri sejarahnya, terdapat tiga gunung purba di wilayah Gorontalo yaitu Gunung Malenggalila, Gunung Tilonggabila (kemudian berubah nama menjadi Tilongkabila) dan satu gunung lagi yang tidak bernama.
Pogulatalo, yang bermakna "Tempat Menunggu"
Kata Pogulatalo lambat laun mengalami perubahan dalam pelafalan masyarakat menjadi Hulatalo.
Hulu'a Lo Tola, yang bermakna "Tempat Perkembangbiakan Ikan gabus"
Wilayah pesisir Gorontalo merupakan daerah rawa yang muncul saat air surut, di mana rawa ini disebut dengan Hulu'a lo tola yang diartikan sebagai tempat ikan gabus berkembangbiak.
Dikarenakan adanya kesulitan dalam pengucapan kata Hulontalo, para penjajah Belanda menyebut Hulontalo sebagai Gorontalo (g dilafalkan sebagai g lunak atau zachte g).
Sejarah
Orang Gorontalo sendiri menyebut diri mereka sebagai Hulontalo. Istilah Hulontalo ini terkenal di wilayah Gorontalo dan Sulawesi Utara, yang biasanya digunakan untuk menyebut wilayah Gorontalo atau orang Gorontalo.
Orang Gorontalo juga memiliki suatu sistem ikatan keluarga bernama Pohala'a. Sistem ini merupakan warisan dari kerajaan-kerajaan yang sebelumnya pernah berdiri di Gorontalo. Terdapat lima pohala'a di Gorontalo, yaitu Gorontalo, Limboto, Suwawa, Bualemo, dan Atinggola, di mana pohala'a Gorontalo merupakan pohala'a yang paling menonjol.[5][6]
Asal muasal
Asal usul suku Gorontalo, tidak diketahui secara pasti. Apabila dilihat dari struktur fisik orang Gorontalo, suku Gorontalo termasuk ke dalam ras mongoloid, hanya saja mungkin sejak beberapa abad yang lalu telah terjadi percampuran ras dengan bangsa-bangsa lain. Sehingga suku Gorontalo saat ini memiliki postur fisik yang beragam. Warna kulit mulai dari kuning hingga ke coklat gelap. Rambut juga bervariasi, dari rambut lurus, ikal dan keriting. Terdapat dua teori mengenai migrasi penduduk di Asia Tenggara, teori pertama menyebutkan bahwa penduduk Asia Tenggara awalnya berasal dari timur, lalu mendiami Sulawesi. Sementara teori kedua menjelaskan migrasi manusia yang berasal dari Taiwan, menuju Filipina, dan sampai di Sulawesi.[7]
Suku Gorontalo memiliki legenda yang menceritakan bahwa leluhur mereka adalah keturunan dari Hulontalangi, atau orang yang turun dari langit dan awalnya berdiam di Gunung Tilongkabila, Kab. Bone Bolango. Nama Hulontalangi lalu berubah menjadi Hulontalo dan Gorontalo.[8]
Era prasejarah
Wilayah Gorontalo diyakini sudah dihuni manusia di masa prasejarah. Situs Oluhuta yang berada di Kab. Bone Bolango merupakan situs arkeologi yang memberikan informasi mengenai makam-makam masyarakat terdahulu yang diperkirakan hidup sekitar 2000-4000 tahun yang lalu.[9][10]
Kerajaan-Kerajaan Gorontalo
Wilayah Gorontalo diperkirakan terbentuk 400 tahun yang lalu. Gorontalo merupakan salah-satu tempat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur selain Ternate dan Bone. Islam diperkirakan masuk ke Gorontalo pada tahun 1525, di masa pemerintahan Raja Amai. Seiring dengan masuknya Islam, Gorontalo berkembang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan di utara Sulawesi. Kota Kerajaan Gorontalo awalnya bermula di Desa Hulawa di tepi Sungai Bolango. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, kerajaan-kerajaan di Gorontalo sudah menganut sistem ikatan keluarga yaitu pohala'a yang masih ditemukan saat ini.[5]
Era Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, kerajaan-kerajaan Gorontalo berada dibawah pengaruh Kesultanan Ternate. Sejak tahun 1673, Gorontalo masuk dalam wilayah administrasi VOC, ditandai dengan pembentukan Kab. Gorontalo sebagai hasil dari perjanjian Gubernur Ternate Robertus Patbrugge dan Raja Gorontalo.[5]
Di masa Hindia Belanda, orang-orang Gorontalo mulai melakukan emigrasi keluar wilayah Gorontalo tepatnya sejak abad ke-18 M, di mana orang-orang Gorontalo berpindah ke wilayah seperti Ternate, Ambon, Buol, Banggai, dan Minahasa dikarenakan orang-orang ini ingin menghindari sistem kerja paksa yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Gorontalo saat itu.[11]
Pembentukan Provinsi Gorontalo
Sebelum menjadi provinsi tersendiri, wilayah Gorontalo ini merupakan bagian dari provinsi Sulawesi Utara dengan status kabupaten, namun pada tanggal 5 Desember 2000, berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000, Kabupaten Gorontalo telah menjadi provinsi sendiri dengan nama provinsi Gorontalo. Menteri Dalam Negeri saat itu Soerjadi Soedirdja meresmikan Provinsi Gorontalo sekaligus melantik Tursandi Alwi sebagai Penjabat Gubernur. Setahun kemudian, Fadel Muhammad terpilih menjadi Gubernur definitif pertama Provinsi Gorontalo.[12]
Bahasa
Suku Gorontalo berbicara dalam Bahasa Gorontalo. Selain bahasa Gorontalo, terdapat juga beberapa bahasa lain yang mirip, yang dianggap oleh para ahli bahasa sebagai dialek bahasa Gorontalo yaitu bahasa Suwawa, Atinggola, Limboto, Kwandang, Tilamuta, dan Sumawata.[13] Bahasa Gorontalo menjadi bahasa yang paling digunakan dikarenakan pengaruh dari Kerajaan Gorontalo yang pernah berdiri di wilayah tersebut. Dialek Atinggola digunakan oleh masyarakat Atinggola yang berada di pesisir utara Gorontalo.[14]
Bahasa Gorontalo sendiri sekarang banyak mengalami asimilasi dengan bahasa Manado (Melayu Manado) yang juga banyak diucapkan oleh masyarakat Gorontalo. Dilihat dari sisi linguistik, bahasa Gorontalo memiliki keterkaitan bahasa dengan bahasa-bahasa di Sulawesi Utara dan Filipina.[15] Bahasa Gorontalo bersama dengan Bahasa Mongondow masuk dalam Rumpun bahasa Gorontalo-Mongondow, yang merupakan bagian dari Rumpun bahasa Filipina.[16] Bahasa Gorontalo memiliki kedekatan linguistik dengan bahasa-bahasa Filipina khususnya Bahasa Tagalog, Cebú, Hiligaynon, Bikol, dan Waray-waray.[17][18]
Seni dan Budaya
Masyarakat suku Gorontalo adalah masyarakat yang memiliki rasa sosial yang tinggi, sehingga hampir tidak pernah terjadi konflik di antara mereka sendiri. Sistem kekerabatan yang sangat erat tetap dipelihara oleh masyarakat Gorontalo, seperti dicontohkan dalam sistem ikatan keluarga pohala'a.[19][20] Tradisi gotong royong atau huyula tetap terpelihara dalam kehidupan masyarakat ini, serta setiap ada masalah akan diselesaikan dengan cara musyawarah.[21][22][23]
Orang Gorontalo memiliki falsafah hidup, yaitu batanga pomaya, nyawa podungalo, harata potom bulu, artinya "jasad untuk untuk membela tanah air, setia sampai akhir, harta untuk kemaslahatan masyarakat" dan lo iya lo ta uwa, ta uwa loloiya, boodila polucia hi lawo, artinya "pemimpin itu penuh kewibawaan, tapi tidak sewenang-wenang".[24][25][26]
Tarian daerah
Tari Polopalo, Salah satu kesenian budaya suku Gorontalo yang terkenal adalah Tari Polopalo. Tarian ini populer di kalangan masyarakat suku Gorontalo, bahkan sampai ke wilayah Sulawesi Utara.[27][28]
Agama
Masyarakat suku Gorontalo mayoritas adalah pemeluk agama Islam yang taat.[29][30] Agama Islam sangat kuat diyakini oleh masyarakat suku Gorontalo ini. Beberapa tradisi adat suku Gorontalo terlihat banyak mengandung unsur Islami. Hanya sebagian kecil saja dari suku Gorontalo yang memeluk agama lain di luar agama Islam, seperti Kristen Protestan
Pada masyarakat suku Gorontalo, adat dipandang sebagai suatu kehormatan (adab), norma, bahkan pedoman dalam pelaksanaan pemerintahan. Hal ini dinisbatkan dalam suatu ungkapan "Adat Bersendi Sara" dan "Sara Bersendi Kitabullah".[31] Arti dari ungkapan ini adalah bahwa adat dilaksanakan berdasarkan sara (aturan), sedangkan aturan ini harus berdasarkan Kitab Suci Al-Qur'an.[5][32] Dengan demikian dapat dipahami bahwa sendi-sendi kehidupan masyarakat Gorontalo adalah penuh dengan nilai-nilai agamais dan tatanan nilai-nilai yang luhur.[33]
Arsitektur
Rumah adat Dulohupa. Rumah adat tradisional suku Gorontalo dikenal dengan nama Dulohupa. Dulohupa biasanya digunakan untuk mengadakan musyawarah oleh kerabat kerajaan di masa lalu. Rumah Dulohupa terbuat dari papan pilihan serta beratap seperti jerami, dan dibuat dengan bentuk rumah panggung. Rumah adat Dulohupa masih bisa ditemukan di beberapa daerah kecamatan di provinsi Gorontalo.[34][35]
Rumah adat Bandayo Poboide. Selain Dulohupa, masih ada satu lagi jenis rumah adat suku Gorontalo, yaitu rumah adat Bandayo Poboide. Namun rumah adat Bandayo Poboide ini keberadaannya hampir punah di seluruh daerah Gorontalo. Satu-satunya rumah adat Bandayo Poboide yang masih tersisa adalah rumah yang berada di depan kantor Bupati Gorontalo di Jl. Jenderal Sudirman, Limboto.[36][37]
Sastra
Lumadu adalah jenis sastra lisan asli Gorontalo berupa teka-teki pengasah otak dan kiasan atau perumpamaan.[38] Lumadu sering digunakan oleh anak-anak untuk bermain-main, sedangkan lumadu kiasan sering digunakan dalam percakapan antara orang-orang dewasa yang bertujuan untuk menghormati orang lain, memperluas pembicaraan terhadap lawan bicara, dan mempertinggi nilai suatu (objek) yang dikiaskan.
Adat Istiadat dan Tradisi
Beberapa tradisi adat pada masyarakat suku Gorontalo adalah:
Adat Pernikahan Momonto dan Modutu. Dalam adat pernikahan tradisional Gorontalo, ada beberapa aturan dan tata cara yang harus dilakukan oleh kedua mempelai. Orang Gorontalo masih memegang tradisi turun-temurun sebagai bagian dari adat dan kebudayaan. Acara pernikahan diadakan di rumah kedua mempelai secara bergantian. Acara pernikahan bisa berlangsung lebih dari 2 hari. Kerabat bergotong-royong dalam mempersiapkan acara pernikahan ini beberapa hari sebelum hari pernikahan. Kedua mempelai menggunakan busana adat bernama Bili’u. Tempat pelaminan yang digunakan pada saat resepsi menggunakan adat Gorontalo.[39][40][41]
Molontalo atau Tontalo (Upacara tujuh bulanan), adalah suatu acara adat untuk mewujudkan rasa syukur atas kehamilan yang sudah berusia tujuh bulan. Dalam menggelar acara adat ini, kedua orang tua dari calon bayi harus memakai pakaian adat Gorontalo. Seorang anak perempuan digendong oleh sang ayah mengelilingi rumah, lalu akhirnya masuk ke dalam kamar menemui ibu yang sedang mengandung. Setelah calon ayah dan anak perempuan yang digendongnya bertemu dengan ibu yang mengandung sang bayi, maka tali yang terbuat dari daun kelapa yang sebelumnya sudah melingkari perut ibu tersebut dipotong atau diputuskan. Dalam acara Tontalo ini, disediakan 7 jenis makanan yang dihidangkan pada 7 nampan yang berbeda, lalu makanan ini dibagikan kepada seluruh undangan.[42][43]
Molalunga adalah upacara pemakaman adat Gorontalo. Bagi masyarakat Gorontalo, saat proses pemakaman wajib menggunakan pakaian serba putih karena mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.
^Zorc, R.D. The genetic relationships of Philippine languages. 1986. In Geraghty, P., Carrington, L. and Wurm, S.A. editors, FOCAL II: Papers from the Fourth International Conference on Austronesian Linguistics. C-94:147-173. Pacific Linguistics, The Australian National University, 1986.
^Utara, Tim monografi daerah Sulawesi (1978*). Monografi daerah Sulawesi Utara. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Ditjen. Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^Harry Aveling & Damien Kingsbury (2014). Autonomy and Disintegration in Indonesia. Routledge. ISBN1-1364-9809-5.
^Profil hak asasi manusia Indonesia. Direktorat Sistem Informasi Hak Asasi Manusia, Direktorat Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2006.
^Syamsidar (1991). Arsitektur tradisional daerah Sulawesi Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.