Share to:

 

Ekspedisi Nakhlah

Ekspedisi Nakhlah (bahasa Arab: سرية نخلة) adalah pencegatan kafilah yang ketujuh dan merupakan serangan pertama yang berhasil. Abdullah bin Jahsh menjadi pemimpin serangan.[1][2] Terjadi pada bulan Rajab, 2 tahun setelah Hijrah, yakni bulan Januari 624. Muhammad mengirim Abdullah bin Jahsy al-Asadi ke Nakhla, mengepalai dua belas orang dari kaum Muhajirin berkendara enam ekor unta.[3][4][5][6]

Latar Belakang dan persiapan

Setelah kembali dari Ekspedisi Safwan, Muhammad mengirim Abdullah ibn Jahsy untuk melakukan 8 atau 12 kali operasi intelijen. Abdullah bin Jahsy adalah sepupu Muhammad dari pihak ibu. Dia berangkat bersama Abu Haudzaifah, Abdullah bin Jahsh, Ukasyah bin Mihshan, Utbah bin Ghazwan, Sa'ad bin Abi Waqqas, Amir bin Rabi'ah, Waqid bin Abdullah, dan Khalid bin al-Bukair.

Muhammad memberi Abdullah bin Jahsy sebuah surat, tetapi tidak untuk dibaca sampai ia telah melakukan perjalanan selama dua hari dan kemudian melakukan apa yang diperintahkan untuk dilakukan dalam surat itu tanpa memberi informasi kepada rekan-rekannya. Setelah dua hari, ia membuka surat itu, yang memintanya untuk melanjutkan perjalanan ke Nakhla, yang terletak di antara antara Mekah dan Thaif, menunggu kafilah-kafilah Quraisy dan mengamati apa yang mereka lakukan. Abdullah bin Jahsy, merasa ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan serangan, mengatakan kepada rekan-rekannya bahwa siapa memilih jalan syahid untuk bergabung dengannya dan barangsiapa yang tidak untuk kembali ke Madinah. Semua sepakat untuk mengikutinya (beberapa penulis menulis bahwa dua Muslim memutuskan untuk kembali ke Madinah). Sa'ad bin Abi Waqqas dan Utbah bin Ghazwan kehilangan seekor unta yang mereka kendarai secara bergiliran. Unta ini tersesat dan pergi ke Buhran, jadi mereka pergi mencari unta yang melarikan diri itu ke Buhran dan berpisah dari pasukan.[3][6]

Serangan

  • Amr bin Al-Hadrami. dialah yang memimpin kafilah.
  • Utsman bin Abdillah bin al-Mughirah.
  • Naufal bin Abdillah bin al-Mughirah, saudara Utsman.
  • Al-Hakam bin Kaysan, budak yang dimerdekakan (mawla) oleh Hisyam bin al-Mughirah.

[6] Di Nakhla, kafilah membawa kismis (anggur kering), bahan makanan dan komoditas dagang lainnya. Kaum Muslim melakukan musyawarah di antara mereka sehubungan dengan bulan Rajab yang merupakan bulan haram (bersama dengan Dzul Hijjah, Dzulqaidah dan Muharram, di mana kegiatan perang dihentikan).

Salah satu anggota Abdullah bin Jahsy, Ukasyah bin Mihshan, telah mencukur kepalanya untuk menyembunyikan tujuan sebenarnya dari perjalanan mereka dan untuk menipu Quraisy bahwa mereka akan melaksanakan Haji kecil (Umrah), ketika itu merupakan bulan Rajab, di mana peperangan dilarang. Ketika orang Quraisy melihat kepala gundul Ukasyah, mereka berpikir bahwa kelompok tersebut sedang dalam perjalanan untuk haji dan mereka merasa lega dan mulai mendirikan kemah. Karena saat itu sedang bulan Rajab, baik pada awal Rajab, atau pada akhir (pendapat para ahli sejarah berbeda-beda), yang merupakan satu dari empat bulan suci adanya larangan total bagi peperangan dan pertumpahan darah di Semenanjung Arab, Abdullah bin Jahsy pada awalnya ragu untuk menyerang kafilah. Namun, setelah berunding, kelompok tidak ingin kafilah itu melarikan diri. Jadi mereka memutuskan untuk melakukan perampasan. Sementara mereka (kaum Quraisy) sedang sibuk menyiapkan makanan, Muslim menyerang mereka. Quraisy kemudian melawan. Dalam pertempuran singkat yang terjadi, Waqid bin Abdullah membunuh Amr bin Hadrami, pemimpin kafilah Quraisy, dengan panah. Naufal bin Abdullah melarikan diri. Para Muslim menangkap Utsman bin Abdillah dan al-Hakam bin Kaisan sebagai tawanan. Abdullah bin Jahsy kembali ke Madinah dengan harta rampasan dan dengan dua orang tawanan Quraisy. Para pengikut merencanakan untuk memberikan seperlima dari rampasan kepada Nabi.

Dampak

Kaum Quraisy menyebarkan berita di mana-mana tentang perampokan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Muslimin di bulan suci (bulan haram). Karena waktunya, dan karena serangan itu dilakukan tanpa perintah, Muhammad sangat marah tentang apa yang telah terjadi. Dia memarahi mereka (kaum Muslim) untuk berperang di bulan suci, dengan mengatakan: Aku tidak menyuruh kalian untuk berperang di bulan haram.[4]

Muhammad awalnya tidak menyetujui tindakan tersebut dan mengentikan tindakan apapun. Para kaum Quraisy menggunakan peluang emas ini untuk menuduh kaum muslimin telah melanggar peraturan. Tuduhan ini memusingkan para pengikut Muhammad, sampai akhirnya mereka lega ketika Muhammad mengungkapkan sebuah ayat tentang perang di bulan suci:[3]

Mereka bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

— QS al-Baqarah [2]: 217

Wahyu ini mengizinkan Muslim untuk melakukan perang bahkan selama bulan suci jika ada serangan terhadap mereka. Abdullah bin Jahsy membagi rampasan perang, tetapi Muhammad menolak untuk mengambil bagiannya dari serangan dan membayar uang darah untuk lawan yang tewas. Adapun mengenai dua tawanan, uang tebusan ditawarkan untuk kebebasan mereka. Namun, Nabi menolak untuk menerima uang tebusan dari Quraisy sampai ia yakin bahwa dua anak buahnya, Sa'ad bin Abi Waqqas dan Utbah bin Ghazwan, tidak terbunuh. Ketika Sa'ad dan Utbah kembali tanpa luka, Muhammad mepelaskan dua tawanan Quraisy dengan pembayaran uang tebusan sebesar 1.600 dirham. Dikatakan bahwa sesaat setelah dibebaskan, Hakam bin Kaisan menjadi seorang Muslim. Kemudian, ia terbunuh di Ekspedisi Bi'r Ma'una. Tahanan lainnya, Utsman bin Abdullah kembali ke Mekah dan meninggal sebagai seorang non-Muslim. Serangan ini adalah serangan pertama yang berhasil, juga merupakan serangan pertama di mana Muslim mendapat tawanan dan berhasil menimbulkan korban tewas.

Serangan yang berhasil ini, membuat orang-orang Mekah khawatir, karena mata pencaharian dan kemakmuran mereka tergantung pada perdagangan ke Suriah. Perdagangan dengan Abyssinia dan Yaman menjadi kurang difokuskan karena serangan di Nakhla telah membuat orang-orang Mekah terkejut karena waktu tersebut adalah bulan haram, dan menunjukkan berkembangnya kekuatan Muslim. Mereka memutuskan untuk membalas serangan, tetapi bagaimanapun, Quraish menahan serangan mereka untuk sementara waktu. Beberapa Muslim baru masih tinggal di Mekah, termasuk putri nabi, Zainab. Kaum Quraish tidak melakukan tindakan terhadap kaum muslimin yang ada di Mekah.

Muhammad, setelah sukses di Nakhlah, tahu bahwa Quraisy belum selesai dengan rencana mereka untuk menyerang masyarakat Muslim. Ayat-ayat yang menyinggung 'penyerangan terhadap kafirun', QS 22:39-42 dan 2:190-194 berada dalam konteks permusuhan antara kaum Muslim dan Quraisy. Serangan di Nakhlah merupakan balasan terhadap pengusiran para Muslimin dari Mekah.[6]

Kejadian ini disebutkan Ibn Hisham, Biografi Muhammad, serta sumber-sumber sejarah lainnya.[7]

Lihat pula

  • Jihad, konsep perang dalam Islam
  • Hijrah
  • Surah Al-Baqarah, surah Alquran yang turun di permulaaan waktu setelah Nabi Muhammad hijrah dari Mekah (di bawah siksaan dan penindasan Suku Quraisy) ke Madinah (kota yang aman dan damai)

Referensi

  1. ^ Haykal, Husayn (1976), The Life of Muhammad, Islamic Book Trust, hlm. 218, ISBN 9789839154177 
  2. ^ Nakhla Raid, 2008 
  3. ^ a b c Witness Pioneer, "Pre-Badr Missions and Invasions"[pranala nonaktif permanen]
  4. ^ a b Nakhla Raid Quran Verse, 2008 
  5. ^ "List of Battles of Muhammad". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-11. Diakses tanggal 2011-04-11. 
  6. ^ a b c d The Sealed Nectar,Page 245, By Saifur Rahman al Mubarakpuri
  7. ^ Za'd Al-Ma'ad 2/83-85; Ibn Hisham 1/605; Rahmat-ul-lil'alameen 1/115, 2/468, As referenced in the "Sealed nectar"
Kembali kehalaman sebelumnya