Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku
"Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku" adalah salah satu dari Sepuluh Perintah Allah yang ditemukan dalam Alkitab Ibrani (לא יהיה־לך אלהים אחרים על־פני; Keluaran 20:3 = Ulangan 5:7).[1] Perintah ini menetapkan hakikat eksklusif dari hubungan antara bangsa Israel dengan YHWH, Allah Israel,[2] suatu perjanjian yang diprakarsai oleh Allah setelah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan melalui tulah-tulah Mesir dan pengeluaran mereka dari sana.[3] Menurut salah satu pengertian umum, penyembahan berhala adalah memberikan penghormatan ilahi kepada sesuatu hal atau makhluk ciptaan.[4] Pada zaman kuno, terdapat banyak kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemujaan atau penyembahan allah-allah lain. Namun, menurut Kitab Ulangan, bangsa Israel mendapat peringatan keras untuk tidak menerapkan atau mengadaptasi praktik keagamaan apa pun dari bangsa-bangsa di sekitar mereka.[5] Kendati demikian, kisah bangsa Israel sampai terjadinya pembuangan ke Babilonia merupakan kisah seputar pelanggaran perintah pertama melalui ibadah kepada "allah-allah lain" beserta dengan konsekuensi-konsekuensinya. Banyak khotbah biblika dari zaman Nabi Musa hingga Pembuangan Babel berdasar pada konteks tersebut—yaitu pilihan antara ibadah yang dikhususkan kepada Allah atau kepada allah-allah palsu.[6] Pembuangan Babel tampaknya menjadi suatu titik balik yang kemudian menjadikan bangsa Yahudi secara keseluruhan sangat monoteistik serta bersedia untuk melakukan berbagai peperangan (misalnya Pemberontakan Makabe) dan menghadapi kemartiran daripada memuja allah lainnya.[7] Shema beserta berkat/kutukan yang menyertainya mengungkapkan tujuan perintah ini menyertakan kasih kepada satu Allah yang benar, bukan sekadar pengakuan atau ketaatan lahiriah.[8] Dalam Injil, Yesus mengutip Shema sebagai "hukum yang terutama dan yang pertama",[9] dan para rasul kelak mewartakan bahwa orang-orang yang hendak mengikuti Kristus harus berpaling dari allah-allah lain. Katekismus Gereja Katolik (KGK) maupun para teolog Protestan mengajarkan bahwa perintah ini tetap berlaku pada zaman modern dan melarang ibadah kepada berhala-berhala fisik, pencarian bimbingan atau kegiatan spiritual dari sumber lain apapun itu (misalnya magi, astrologi, dll.), maupun pemfokusan pada prioritas-prioritas duniawi seperti tubuh (makanan, kesenangan lahiriah, dll.), pekerjaan, dan uang.[10] KGK memuji orang-orang yang menolak, sekalipun dalam konteks budaya, pemujaan-pemujaan semacam itu karena "kewajiban untuk memberikan kepada Allah ibadah yang autentik berkaitan dengan manusia sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk sosial."[11] Perjanjian BaruMenurut Injil, Yesus mengatakan bahwa perintah yang terutama yaitu: "Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu."[12] Perikop dalam Kitab Ulangan yang menjadi rujukan Yesus dikenal pada zaman modern sebagai Shema, suatu pernyataan yang menekankan keesaan Allah dan satu-satunya ibadah kepada Allah oleh Israel.[13] Dalam Khotbah di Bukit, Yesus mengontraskan ibadah kepada Allah dengan pengejaran harta benda sembari memperingatkan, "Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada [uang]."[14] Menurut Kisah Para Rasul, Stefanus merangkum sejarah spiritual bangsa Israel dan mengutip Nabi Amos, yang mengidentifikasi ibadah kepada allah-allah lain sebagai alasan kekalahan Israel oleh orang-orang Babel dan pembuangan setelahnya.[15] Kemudian, dalam Konsili Yerusalem sebagaimana tercatat pada Kisah Para Rasul, rasul-rasul membahas isu perubahan-perubahan perilaku yang perlu dilakukan segera oleh bangsa bukan Yahudi yang menjadi pengikut Yesus Kristus. Mereka menetapkan bahwa para konver baru tersebut "harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan."[16] Bagaimanapun, dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Rasul Paulus menasihati mereka agar tidak khawatir untuk makan daging yang dijual di pasar umum ataupun yang disajikan kepada mereka sebagai hidangan pada saat mereka bertamu, asalkan mereka tidak mengetahui bahwa "itu persembahan berhala" dan tidak menyebabkan "keberatan-keberatan hati nurani orang lain".[17] Di Athena, Rasul Paulus sangat sedih melihat bahwa kota itu dipenuhi berhala,[18] dan di Areopagus, ia menyampaikan bahwa Allah Israel adalah pencipta segala sesuatu, unik, dan tidak diwakili oleh berhala apapun. Ia mengajarkan:
Menurut Surat Efesus, Rasul Paulus membuat murka para perajin perak (yang khawatir akan kehilangan pendapatan akibat penurunan penjualan berhala-berhala) ketika orang-orang menanggapi positif khotbahnya dan berpaling dari penyembahan berhala.[19] Ia mengajarkan bahwa umat Kristen perlu senantiasa menghindari partisipasi dalam ibadah apa saja selain kepada Allah, serta memandangnya masuk akal bahwa ibadah kepada Allah dan ibadah kepada makhluk spiritual lainnya adalah saling bertentangan:
Rasul Paulus memperingatkan jemaat di Galatia bahwa mereka yang hidup dalam pemberhalaan "tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah", dan dalam perikop yang sama menghubungkan sihir dengan penyembahan berhala.[20] Dalam Surat Filipi, ia menyebutkan mereka yang memandang "Tuhan mereka ialah perut mereka" (lih. kerakusan).[21] Dalam beberapa perikop Perjanjian Baru, termasuk Khotbah di Bukit, istilah penyembahan berhala diterapkan pada kecintaan akan uang.[22] Rasul Yakobus menegur mereka yang berfokus pada hal-hal duniawi, menggunakan bahasa yang serupa dengan yang digunakan para nabi Perjanjian Lama: "Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu. Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah."[23] Rasul Paulus memuji jemaat di Tesalonika dengan mengatakan, "Karena dari antara kamu firman Tuhan bergema bukan hanya di Makedonia dan Akhaya saja, tetapi di semua tempat telah tersiar kabar tentang imanmu kepada Allah, ... bagaimana kamu berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar, dan untuk menantikan kedatangan Anak-Nya dari sorga, yang telah dibangkitkan-Nya dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang menyelamatkan kita dari murka yang akan datang."[24] Dalam Surat Roma, Rasul Paulus mengidentifikasi ibadah kepada segala ciptaan (bukan Sang Pencipta) sebagai penyebab terjadinya kehancuran moralitas seksual dan sosial.[25] Rasul Petrus dan Kitab Wahyu juga menyebutkan hubungan antara ibadah kepada allah lain dengan dosa-dosa seksual, baik secara kiasan maupun harfiah.[26] Rasul Yohanes, dalam 1 Yohanes, menuliskan pesannya secara ringkas, "Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala."[27] Pandangan Katolik
Gereja Katolik mengajarkan bahwa perintah pertama melarang pemujaan atau penyembahaan allah-allah selain Tuhan Yang Esa yang telah menyatakan Diri-Nya sendiri, seperti misalnya yang tertulis dalam pengantar Sepuluh Perintah Allah: "Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan."[29] Melalui para nabi, Allah memanggil Israel dan semua bangsa agar berpaling kepada-Nya, satu-satunya Allah: "Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain. ... semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku, dan akan bersumpah setia dalam segala bahasa, sambil berkata: Keadilan dan kekuatan hanya ada di dalam TUHAN. (Yesaya 45:22-24, bdk. Filipi 2:10-11)"[30] Karena karakteristik transenden dan identitas Allah dideskripsikan dalam Kitab Suci sebagai "unik" atau Esa,[31] ajaran Gereja Katolik mengharamkan takhayul serta sikap tak beragama dan menjelaskan bahwa perintah ini dilanggar dengan memiliki citra atau gambar apa saja (misalnya patung dan lukisan) yang dianggap sebagai sumber kuasa ilahi maupun mengilahikan apa saja yang bukan Allah. "Manusia melakukan penyembahan berhala setiap kali ia menghormati dan memuja suatu makhluk ciptaan sebagai pengganti Allah, apakah itu dewata atau setan-setan (umpamanya satanisme), kuasa, kenikmatan, ras, leluhur, negara, uang, dll." Gereja Katolik mengajarkan bahwa penyembahan atau pemujaan berhala bukan hanya sebatas memuja citra-citra allah lain. "Penyembahan berhala memungkiri Ketuhanan Allah yang unik; oleh karena itu mengeluarkan orang dari persekutuan dengan Allah."[32] Katekismus Gereja Katolik (KGK) memuji mereka yang menolak, sekalipun dalam konteks budaya, pemujaan semacam itu[32] dan menyatakan bahwa "kewajiban untuk memberikan kepada Allah ibadah yang autentik berkaitan dengan manusia sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk sosial."[11] KGK mencatat bahwa perintah ini diingatkan kembali berulang kali dalam berbagai bagian Alkitab dan mengutip perikop-perikop yang mendeskripsikan konsekuensi-konsekuensi bagi orang-orang yang menempatkan kepercayaan mereka selain dalam Allah:
Kendati mengakui bahwa Allah dapat menyampaikan pesan-Nya secara langsung kepada para nabi dan orang kudus lainnya,[34] KGK mengajarkan bahwa perintah pertama melarang segala upaya manusia untuk 'menjinakkan' kekuatan gaib karena bertentangan dengan "rasa segan yang penuh kasih, penghargaan, dan penghormatan" yang harus diberikan kepada Allah semata.[35] Praktik-praktik tersebut dilarang sekalipun terdapat alasan yang 'baik' seperti memulihkan kesehatan seseorang, dan "pemanfaatan apa yang disebut pengobatan tradisional tidak membenarkan pemanggilan kekuatan jahat ataupun eksploitasi kenaifan orang lain."[36]
Sikap tak beragama, khususnya mencobai Allah, sakrilegi, dan simoni, adalah juga dipandang sebagai pelanggaran terhadap perintah pertama.[37] KGK menyatakan bahwa ateisme sering kali didasarkan pada suatu pemahaman yang salah mengenai otonomi manusia,[38] dan segala bentuk ateisme dipandang sebagai pelanggaran terhadap perintah pertama melalui penyangkalan secara umum akan keberadaan Allah.[39] Agnostisisme merupakan suatu cara hidup yang digambarkan sebagai semacam pelarian dari pertanyaan utama seputar keberadaan Allah dan suatu kelambanan kesadaran moral, serta "sering kali sama dengan ateisme praktis."[40] Lihat pula
Referensi
Pranala luar
|