Jangan berzina
"Jangan berzina", salah satu dari Sepuluh Perintah Allah, ditemukan di Keluaran 20:14 dalam Tanakh dan Perjanjian Lama. Perbuatan apa saja yang tergolong perzinaan atau perselingkuhan tidak didefinisikan dalam bagian Alkitab tersebut, dan telah menjadi subjek perdebatan di dalam Yudaisme dan Kekristenan. Sejumlah sumber Yahudi (Chizkuni, Ibnu Ezra) mengatakan bahwa perintah ini melarang semua tindakan menyimpang secara seksual, bukan hanya perzinaan.[1] Dalam Perjanjian BaruDalam Injil, Yesus menegaskan perintah yang menentang perzinaan[2] dan tampak memperluasnya dengan mengatakan, "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya."[3] Beberapa komentator, termasuk St. Thomas Aquinas, mengatakan bahwa Yesus menghubungkannya dengan perintah "jangan mengingini isterinya".[4] Ia mengajarkan para pendengar-Nya bahwa tindakan lahiriah perzinaan tidak terjadi begitu saja terlepas dari dosa-dosa di dalam batin: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang."[5] Menurut Injil, Yesus mengutip Kitab Kejadian mengenai asal usul ilahi hubungan perkawinan dengan menyimpulkan, "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."[6] Rasul Paulus mengajarkan sesuatu yang kemudian dikenal sebagai Privilegium Paulinum: "Kepada orang-orang yang telah kawin aku--tidak, bukan aku, tetapi Tuhan--perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya."[7] Dalam Injil Yohanes, kisah mengenai seorang perempuan yang kedapatan berzina. Para pemimpin Yahudi yang bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan membawanya kepada Yesus dan meminta penilaian-Nya. Yesus secara jelas mengidentifikasi perzinaan sebagai dosa, namun, pernyataan-Nya bahwa "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu," tidak mengacu pada aturan hukum, tetapi pada hati nurani.[8] Beberapa komentator menunjukkan bahwa apabila perempuan tersebut tertangkap berzina, seharusnya akan ada juga seorang laki-laki yang diadili.[9] Hukum Yahudi menyatakan secara eksplisit bahwa kedua belah pihak harus dikenakan hukuman mati.[10] Dengan tidak membawa laki-laki yang bersalah untuk diadili, para pemimpin tersebut dianggap turut andil dalam kebersalahan dan tidak layak untuk melaksanakan hukuman. Tanpa membenarkan perzinaan yang dilakukannya, Yesus memperingatkan perempuan tersebut sebelum berpisah, "Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang".[11] Rasul Paulus menuliskan secara terang-terangan mengenai kadar keseriusan perzinaan:
Pandangan KristenMenurut narasi Kitab Kejadian, pernikahan adalah suatu penyatuan yang didirikan oleh Allah:
Perjanjian Baru mendukung kekudusan perkawinan dan menegaskan kadar keseriusan dari perintah ini:
KatolikMenurut Gereja Katolik, manusia adalah makhluk seksual yang identitas seksualnya harus diterima dalam kesatuan tubuh dan jiwanya.[13] Perbedaan jenis kelamin dimaksudkan seturut rancangan ilahi untuk saling melengkapi, masing-masing memiliki martabat yang sama dan diciptakan sesuai citra Allah.[14] Tindakan seksual (persetubuhan)[note 1] adalah suci di dalam konteks hubungan suami istri, mencerminkan suatu "anugerah bersama seumur hidup dan lengkap antara seorang pria dan seorang wanita."[16][17] Karenanya dosa-dosa seksual bukan hanya merupakan pelanggaran terhadap tubuh tetapi terhadap seluruh keberadaan pribadi pelakunya.[17] Dalam buku Crossing the Threshold of Hope yang ditulisnya pada tahun 1994, Paus Yohanes Paulus II merefleksikannya dalam kata-kata berikut ini:
Sebagaimana Yudaisme Ortodoks dan Islam, Gereja Katolik memandang semua tindakan seksual di luar pernikahan sebagai dosa berat. Konsekuensi dari seriusnya dosa tersebut membuat seseorang tidak dapat menerima Komuni Kudus sampai ia menyesal dan menerima pengampunan dalam Sakramen Tobat.[17] Panggilan menuju kemurnianAjaran Gereja tentang perintah keenam mencakup suatu pembahasan mengenai kemurnian. Katekismus Gereja Katolik (KGK) mendeskripsikan kemurnian sebagai suatu "kebajikan moral ... suatu anugerah dari Allah, suatu rahmat, suatu buah dari upaya rohaniah."[19] Gereja memandang seksualitas lebih dari sekadar tindakan fisik; seksualitas berdampak pada seluruh tubuh dan jiwa, sehingga Gereja mengajarkan bahwa kemurnian merupakan suatu kebajikan dan semua orang dipanggil untuk meraihnya.[19] Kemurnian didefinisikan sebagai kesatuan batin seseorang dalam "keberadaannya sebagai makhluk jasmani dan rohani" yang berhasil mengintegrasikan seksualitasnya dengan "seluruh sifat manusia"-nya.[19] Untuk memperoleh kebajikan ini, umat dihimbau untuk masuk ke dalam "pekerjaan sulit dan panjang" penguasaan diri yang dibantu oleh pertemanan, rahmat Allah, kematangan serta pendidikan "yang menghormati dimensi moral dan rohani kehidupan manusia."[19] KGK mengkategorikan pelanggaran-pelanggaran terhadap perintah keenam ke dalam dua kategori: "pelanggaran terhadap kemurnian" dan "pelanggaran terhadap martabat perkawinan".[13] Pelanggaran terhadap kemurnianKGK menyebutkan "pelanggaran terhadap kemurnian" berikut ini,[13] dengan urutan meningkat kadar keseriusannya menurut Peter Kreeft:[20]
HomoseksualitasKGK menyajikan suatu bagian terpisah mengenai homoseksualitas beserta penjelasannya terkait perintah keenam. Sama seperti tindakan heteroseksual di luar pernikahan, tindakan homoseksual dipandang sebagai dosa. Gereja membedakan antara kecenderungan atau ketertarikan homoseksual, yang tidak dipandang sebagai dosa, dengan tindakan homoseksual, yang dipandang sebagai dosa. KGK menyatakan bahwa tindakan ini "melanggar hukum kodrat, tidak dapat melahirkan anugerah kehidupan, dan tidak berasal dari suatu kebutuhan asali untuk saling melengkapi secara seksual dan afektif. Dalam situasi apapun juga tindakan ini tidak dapat dibenarkan."[22][23] Gereja mengajarkan bahwa kecenderungan homoseksual "sesungguhnya merupakan gangguan" dan mungkin suatu cobaan berat bagi orang yang mengalaminya, serta mengajarkan bahwa mereka harus "diterima dengan rasa hormat, kasih sayang dan kepekaan ... diskriminasi tidak adil terhadap mereka perlu dihindari."[22][24] Para pribadi homoseksual, menurut Gereja, "dipanggil untuk hidup dalam kemurnian". Mereka diminta untuk berlatih kebajikan "pengendalian diri" yang mengajarkan "kemerdekaan batin" dengan dukungan dari teman-teman, doa, dan rahmat yang diperoleh dari sakramen-sakramen Gereja.[22] Sarana-sarana ini dimaksudkan untuk membantu mereka agar "secara bertahap dan pasti menuju kesempurnaan Kristiani", yang adalah suatu pernyataan panggilan bagi semua umat Kristen.[22] (Terdapat dua gerakan kaum awam yang mewakili filosofi-filosofi berlawanan terkait homoseksualitas: DignityUSA berupaya untuk mengubah ajaran Gereja untuk membenarkan tindakan seksual; Courage International merupakan suatu organisasi yang terdiri dari para pribadi homoseksual yang "saling mendukung dalam upaya tulus untuk hidup dalam kemurnian dan dalam kesetiaan kepada Kristus dan Gereja-Nya".[24]) Cinta antara suami dan istriMenurut ajaran Gereja, cinta suami-istri dimaksudkan untuk membentuk tujuan ganda perkawinan yang tak terputus: persatuan suami-istri dan penerusan kehidupan.[26] Aspek persatuan (unitif) meliputi pemberian keberadaan masing-masing pribadi pasangan suami-istri sehingga "mereka bukan lagi dua, melainkan satu."[26] Sakramen Perkawinan dipandang sebagai penyegelan persetujuan oleh Allah yang mengikat pasangan suami-istri secara bersama. Ajaran Gereja mengenai status perkawinan mensyaratkan pasangan suami-istri saling menerima kegagalan dan kesalahan pasangannya, serta mengakui bahwa "panggilan menuju kekudusan dalam perkawinan" merupakan suatu hal yang memerlukan proses perubahan dan pertumbuhan rohani yang dapat berlangsung seumur hidup.[26] Kesuburan dalam perkawinan, kenikmatan seksual, pengaturan kelahiranPosisi Gereja mengenai aktivitas seksual dapat dirangkum dengan kata-kata: "aktivitas seksual hanyalah dimiliki dalam perkawinan sebagai suatu ungkapan persatuan dan penyerahan diri secara total, serta selalu terbuka kepada kemungkinan adanya kehidupan baru." Tindakan-tindakan seksual dalam perkawinan dipandang "luhur dan terhormat" serta dimaksudkan untuk dinikmati dengan "kegembiraan dan rasa syukur."[26] Seksualitas diperuntukkan bagi perkawinan: "Dari kodratnya, cinta dalam perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak dapat diganggu gugat oleh suami istri. Ini merupakan konsekuensi dari penyerahan diri yang mereka lakukan satu sama lain. Cinta bersifat definitif, bukan suatu pengaturan 'sampai pemberitahuan lebih lanjut.'" "Persatuan mesra dalam perkawinan, sebagai suatu pemberian timbal balik antara dua pribadi, dan kebaikan anak-anak, menuntut kesetiaan total suami istri serta mensyaratkan suatu persatuan yang tak terceraikan di antara mereka." (Gaudium et spes 48 § 1)".[27] Pengaturan kelahiran atau kontrasepsi buatan telah ada sebelum Kekristenan; Gereja Katolik telah mengutuk metode-metode ini sepanjang sejarahnya.[28] Sebagai tanggapan terhadap Gereja Inggris yang menerima praktik kontrasepsi buatan pada tahun 1930, Gereja Katolik mengeluarkan ensiklik kepausan Casti connubii pada tanggal 31 Desember 1930. Ensiklik kepausan Humanae vitae tahun 1968 merupakan suatu penegasan kembali pandangan tradisional Gereja Katolik tentang perkawinan dan hubungan suami istri, serta berisi kecaman lanjutan terhadap pengendalian kelahiran buatan (artifisial).[28] Gereja memandang keluarga besar sebagai suatu tanda berkat dari Allah. "Menurut hakikatnya, kelembagaan perkawinan dan cinta kasih suami istri ditujukan untuk kelahiran keturunan serta pendidikan mereka dan di dalam merekalah ditemukan mahkota kemuliaannya." (Gaudium et spes 48 § 1, 50) Anak-anak merupakan anugerah yang luar biasa di dalam perkawinan dan besar sekali artinya bagi kebaikan orang tua mereka sendiri. (...) cinta kasih suami istri yang sejati dan seluruh struktur kehidupan berkeluarga yang dihasilkan darinya, tanpa mengecilkan tujuan-tujuan lainnya dalam perkawinan, diarahkan untuk mendorong pasangan suami istri untuk bekerja sama secara gagah berani dengan cinta kasih Sang Pencipta dan Juruselamat yang melalui mereka akan menambah dan memperkaya keluarga-Nya dari hari ke hari. (Gaudium et spes 50 § 1)"[29] Gereja mengakui bahwa orang tua yang bertanggung jawab terkadang membutuhkan pengaturan jarak yang wajar atau pembatasan kelahiran dan memandang keluarga berencana alami dapat diterima secara moral, tetapi Gereja menolak semua metode kontrasepsi buatan.[30] Gereja menolak segala bentuk pembuahan dan inseminasi buatan karena teknik-teknik tersebut memisahkan tindakan seksual dari proses penciptaan seorang anak. KGK menyatakan, "Anak bukanlah sesuatu yang dapat dituntut oleh seseorang, tetapi merupakan suatu anugerah ... 'anugerah luar biasa dalam perkawinan.'"[30] Dilaporkan bahwa banyak umat Katolik Barat dan non-Katolik yang menyatakan ketidaksetujuan akan dukungan Gereja terhadap keluarga berencana alami, serta berpendapat bahwa hal ini berkontribusi terhadap overpopulasi dan kemiskinan.[31][32] Penolakan Gereja atas penggunaan kondom dikritik secara luas, khususnya berkenaan dengan negara-negara di mana insiden AIDS dan HIV telah mencapai tingkatan epidemi. Dalam pembelaannya, umat Katolik mencontohkan negara-negara seperti Kenya dan Uganda di mana dianjurkan perubahan perilaku—bukannya penggunaan kondom—dan di mana telah diperoleh kemajuan yang lebih baik dalam mengendalikan penyakit tersebut daripada di negara-negara yang mempromosikan penggunaan kondom saja.[33][34] Pelanggaran terhadap martabat perkawinanMenurut Gereja, perzinaan dan perceraian merupakan pelanggaran terhadap martabat perkawinan; Gereja mendefinisikannya sebagai berikut:
Kompendium KGK 502 mendaftar pelanggaran-pelanggaran lainnya terhadap martabat perkawinan yaitu: poligami, inses, hubungan bebas (hidup bersama atau kohabitasi, pergundikan atau konkubinat), dan hubungan seks sebelum ataupun di luar perkawinan.[37] Hidup terpisah, perceraian sipil, anulasi perkawinanMenurut Gereja, terdapat situasi-situasi yang tidak sama dengan perceraian:
Catatan
Lihat pula
Referensi
Sumber kutipan
Pranala luar
|