Share to:

 

Skadron Udara 11

Skadron Udara 11
Lanud Sultan Hasanuddin
Lambang Skadron Udara 11
Dibentuk1 Juni 1957
NegaraIndonesia
Cabang TNI Angkatan Udara
Tipe unitKomando Tempur
Bagian dariWing Udara 5
MarkasMakassar, Sulawesi Selatan
JulukanSkadud 11
MotoBajra Garda Bhuwana
Ulang tahun1 Juni
Pesawat Tempur OperasionalSU-27SK, SU-30MK/MK2
Situs webSkadud 11

Skadron Udara 11 (atau Skadud 11) adalah sebuah skuadron udara yang dilahirkan pada 1 Juni 1957 di Lanud Andir (sekarang bernama Lanud Husen Sastranegara), Bandung, Jawa Barat. Sekarang skadud ini merupakan salah satu unsur pelaksana operasional Wing Udara 5, Lanud Sultan Hasanuddin yang juga bagian dari Komando Operasi Udara II (Koopsud II). Skadud 11 juga merupakan bagian integral dari kekuatan udara yang dimiliki TNI Angkatan Udara.

Skadud ini pernah bermarkas di beberapa tempat, antara lain di Lanud Andir, Lanud Kemayoran, Lanud Iswahjudi dan saat ini di Lanud Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Skuadron ini pernah dilikuidasi pada 4 Maret 1974 dan diaktifkan kembali pada 5 Oktober 1980 hingga saat ini.

Pesawat tempur yang pernah menjadi kekuatan udara skuadron ini antara lain adalah 8 buah pesawat DH-115 Vampire dari Britania Raya sejak tahun 1957. Kemudian skadud ini diperkuat dengan pesawat-pesawat MiG-17, MiG-17 PF (yang dipergunakan untuk malam hari) dan MiG-15, yang sering kali dipakai juga untuk pesawat latih lanjut. Pesawat-pesawat ini mulai memperkuat Skadud 11 sejak tahun 1958-an dan dibeli dari Polandia dan Uni Soviet. Dengan Operasi Alpha pada tahun 1980-an, skadud ini diperkuat dengan 16 pesawat-pesawat A-4 Skyhawk bekas operasi AU Israel, baik yang bertempat duduk tunggal maupun bertempat duduk ganda. Pesawat-pesawat ini didatangkan dengan operasi rahasia dari Israel. Sejak tahun 2003, Skadud ini diperkuat dengan pesawat-pesawat SU-27SK, dan SU-30MK/MK2 yang dibeli dari Rusia, hingga saat ini.

Pelbagai operasi militer pernah didukung oleh skadud ini, antara lain adalah Operasi Penumpasan Pemberontak Republik Maluku Selatan (RMS) dan Permesta. Skadud ini juga turut aktif dalam Operasi Trikora dan Operasi Dwikora.

Lambang

Sejarah

Pada tahun 1959, Letnan Udara Leo Wattimena, sebagai Komandan Skadron, mengadakan lomba untuk merancang lambang skadron. Lomba dimenangkan oleh Peltu (alm) Kayado dengan bentuk sebagaimana yang terlihat saat ini.[1] Lambang ini baru secara resmi dipergunakan untuk pertama kalinya, pada 8 Agustus 1962 di Lanud Kemayoran.[2]

Makna

Lambang Skadron Udara 11

Bentuk perisai

Hal ini berarti Skadron Udara 11 adalah pelindung/perisai bangsa dan negara dari setiap musuh.[1]

8 Sayap Putih

Hal ini melambangkan bahwa kekuatan udara pertama kali Skadron Udara 11 adalah 8 pesawat Vampire yang dipergunakan untuk tugas-tugas mulia, penjaga dirgantara Indonesia.[1]

Awan Hitam dan Biru 11 Lekukan

Hal ini melambangkan bahwa keadaan baik dan buruk harus ditempuh oleh Skadron Udara 11 dalam menjalankan tugas-tugasnya.[1]

Kilat Warna Merah

Hal ini melambangkan bahwa Skadron Udara 11 memiliki pesawat-pesawat yang mempunyai kecepatan tinggi, penerbang-penerbang yang berani dan mampu menempuh cuaca baik ataupun buruk.[1]

Sejarah

Latar belakang

Dengan Konferensi Meja Bundar yang diadakan di Den Haag pada tanggal 23 Agustus 1949, maka mengharuskan AU Belanda (Militaeire Lucthvaart/ML) menyerahkan semua fasilitas penerbangan kepada AURI. Proses penyerahan ini baru selesai tepat enam bulan sesudah pengakuan kedaulatan, pada tanggal 27 Juni 1950.[3] Dengan penyerahan ini, mendorong AURI untuk membentuk skadron-skadron. Pada saat itu, segala macam pesawat ditempatkan di Lanud Halim Perdanakusuma dan dijadikan satu kesatuan dengan nama Skadron 1. Sedangkan pesawat-pesawat yang ada di Lanud Husein Sastranegara dilebur ke dalam Skadron 2.[4] Hal ini berlaku hingga tahun 1951.[5]

Berdasarkan Surat Penetapan KASAU Nomor 2811/KS/1951 tanggal 23 April 1951, yang menyatakan group operasional dari kesatuan-kesatuan menjadi sebagai berikut :[5][4]

  1. Skadron I (Pembom), dengan kekuatan pesawat B-25 Mitchell.
  2. Skadron II (Pengangkut), Dinas Angkutan Udara Militer (A-4) dan sekolah penerbang, dengan kekuatan pelbagai jenis pesawat.
  3. Skadron III (Pemburu), dengan kekuatan pesawat P-51 Mustang.
  4. Skadron IV (Pengintai), dengan kekuatan pesawat Auster dan Piper L-4J.
  5. Skadron V (Angkut Operasional), dengan kekuatan pesawat Dakota C-47.

Pada tanggal 23 April 1951, diterbitkan Surat Penetapan KSAU Nomor 28A/11/KS/1951 tentang Pembentukan Skadron Udara, sebagai berikut:[5]

  1. Skadron I (Pembom), dengan kekuatan pesawat B-25 Mitchell.
  2. Skadron II (Angkut), dengan kekuatan pesawat Dakota C-47.
  3. Skadron III (Pemburu), dengan kekuatan pesawat P-51 Mustang (Cocor Merah).
  4. Skadron IV (Intai Darat), dengan kekuatan pesawat Auster.
  5. Skadron V (Intai Laut), dengan kekuatan pesawat PBY-54 Catalina Amphibi.

Pada masa itu, Skadron Udara VI sampai dengan IX dipersiapkan untuk Skadron Helikopter. Dan Skadron Udara XI sampai dengan XIX disiapkan untuk Skadron Jet Tempur[6]

Kelahiran

Akhir tahun 1955, beberapa penerbang dan teknisi AURI ditugaskan ke Little Rissington dan South Corney di Inggris untuk mempelajari mengoperasikan pesawat pemburu De Havilland Vampire. Penerbang yang dikirimkan kesana adalah Letnan Udara Satu Leo Wattimena dan Kapten Udara Roesman Noerjadin. Sedangkan para teknisi yang dikirimkan antara lain adalah Letnan Udara Dua (LU II) Sarjono, LU II Kamarudin dan Letnan Muda Udara I (LMU I) Setedjo.[7] Hal ini dilakukan untuk memperbaharui armada AURI dengan pesawat-pesawat jet.[2] Vampire adalah pesawat bermesin jet (dikenal dengan nama "pesawat pancar gas") pertama yang dimiliki oleh AURI. Pesawat-pesawat tersebut ditempatkan di Lanud Andir, Bandung dan dimasukkan ke Kesatuan Pancar Gas (KPG). Kesatuan ini diresmikan oleh KASAU pada 20 Februari 1956, dan berkekuatan 8 pesawat DH-115 Vampire. KPG ini merupakan embrio Skadron-Skadron Tempur Jet. KPG ini dipimpin oleh Letnan Udara Leo Wattimena.[8]

Pada 20 Maret 1957, berdasarkan Surat Keputusan KASAU Nomor 56, KPG diubah menjadi Skadron Udara XI "Pemburu". Upacara peresmian skadron ini baru dilaksanakan pada 1 Juni 1957 bertempat di Lanud Husein Sastranegara. Dalam upacara itu juga dilantik komandan pertamanya, Letnan Udara 1 Leo Wattimena. Dalam kesempatan itu pesawat pemburu Vampire resmi menjadi pesawat pertama dari Skadron Udara XI. Dan sejak saat itu, tanggal 1 Juni diperingati sebagai tanggal kelahiran Skadron Udara 11.[8]

Thunder Group

Thunder adalah sebutan bagi para penerbang tempur Skadron Udara 11 sejak dipergunakannya pesawat Lockheed T-33 Thunder Bird. Thunder nomor merupakan urutan dari bergabungnya seorang penerbang tempur di Skadron Udara 11. Sesuai kesepakatan Thunder 13 dikosongkan. Hingga tahun 2003, tercatat ada 132 penerbang tempur dengan sebutan Thunder.[9]

Operasional

1956 - 1957

Pesawat De Havilland Vampire sebagai kekuatan pertama Skadron Udara 11, yang saat ini tersimpan di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta.

Pesawat DH-115 Vampire ini merupakan sumbangan dari pemerintah Inggris. 4 unit pesawat ini tiba di Pelabuhan Tanjung Priok pada 3 Desember 1955 dalam keadaan terurai dan baru dirakit kembali di Lanud Andir. Tanggal 10 Januari 1956, 4 unit lagi datang sehingga melengkapi jumlahnya menjadi 8 unit.[7] Baru pada 1 Juni 1957, armada ini resmi menjadi kekuatan udara Skadron Udara XI, dengan Letnan Udara I Leo Wattimena sebagai komandannya. Dengan pembentukan skadron ini, AURI mulai penataan sistim penomoran skadron udaranya.[10]

Beberapa penerbang Vampire angkatan pertama adalah : Soemitro, Narayana, Luly Wardiman, Roesman Noerjadin dan Musijan. Penomoran skadron ini dengan angka 11 memakai Angka Romawi. Angka 11 juga bertepatan dengan usia AURI yang ke 11 tahun pada tahun itu.[8][2]

Pesawat Vampire di TNI AU mendapatkan nomor registrasi J-701 sampai dengan J-708, di mana J adalah singkatan dari "Jet", jenis mesin dari pesawat ini. Vampire ini sendiri adalah versi T.55 atau varian ekspor dari T.11 yang digunakan AU Inggris dengan konfirgurasi tempat duduk dua yang saling bersebelahan. Pesawat ini dilengkapi dengan 4 kanon internal dengan kaliber 20 mm yang terpasang pada bagian bawah badan pesawat.[11]

Pesawat ini juga mampu membawa bom seberat 900 Kg. Vampire di TNI AU, selain sebagai kekuatan udara tempur, juga dipergunakan sebagai pesawat latih lanjut untuk mencetak calon penerbang tempur. Armada Vampire ini bertahan hingga pertengahan tahun 1961, di mana pemerintah mulai mendatangkan banyak pesawat-pesawat Blok Timur mulai pertengahan tahun 1958.[7]

1958 - 1966

Satu MiG-17 Skadron Udara XI yang ada di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta

Pertengahan tahun 1958, pemerintah mulai mendatangan pesawat-pesawat baru. Pesawat-pesawat itu adalah 30 pesawat Mikoyan-Gurevich MiG-15 UTI dari Uni Soviet. Pesawat MiG-15 UTI adalah pesawat jet tempur bertempat duduk ganda yang juga bisa dipergunakan sebagai pesawat latih. Pesawat-pesawat MiG-15 diserahterimakan ke Skadud XI pada 14 Agustus 1958, dari Direktur Pesawat Teknik Udara kepada Komandan Skadud XI. Pesawat ini dipersenjatai dengan 2 buah kanon 23 mm yang terletak di bawah hidung pesawat. Di Skadud XI, pesawat-pesawat ini sering kali difungsikan sebagai pesawat latih.[12]

Pada awal tahun 1959 pemerintah juga membeli 49 pesawat Mikoyan-Gurevich MiG-17 dari Cekoslowakia yang dipergunakan sebagai pesawat jet tempur. Selain itu juga membeli pesawat-pesawat MiG-17 PF dari Polandia. MiG-17 PF adalah versi malam hari dari MiG-17, yang juga dilengkapi dengan radar. Kedua varian pesawat MiG-17 tersebut merupakan pesawat canggih pada masanya. Pembelian pesawat-pesawat ini dibantu oleh pemerintahan Mesir dibawah presiden Gamal Abdul Nasir.[2] Dalam kesempatan itu, AURI juga mengirimkan para penerbang dan teknisi ke tiga negara tadi dan juga ke India, untuk mempersiapkan dan mengoperasikan pesawat-pesawat tersebut.[13]

Di awal tahun 1958, Skadron ini mulai melaksanakan operasi udara yang pertama yaitu penumpasan pemberontak Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku dan Permesta di Sulawesi Utara. Dalam operasi tersebut, 4 pesawat MiG-17 digelar di PAU Morotai sebagai Pangkalan Operasi.[14]

Pada 12 April 1961, Kapten Udara Roesmin Noerjadin resmi menggantikan Letnan Udara Leo Wattimena sebagai Komandan Skadron.[2] Pada tahun 1962 sebagai dukungan kepada Operasi Trikora, Skadud XI menggelar armada MiG-17 di PAU Morotai, PAU Amahai dan PAU Leftuan. Di setiap pangkalan disiapkan 6 pesawat MiG-17 sebagai unsur Pertahanan Udara Operasi Trikora. Sehingga di 3 PAU tersebut digelar total 18 pesawat MiG-17. Sebelumnya di PAU Morotai, sudah ada 4 MiG-17 untuk penumpasan pemberontak Permesta dan RMS.[14]

Dalam operasi Trikora, pesawat MiG-17 yang ada di PAU Morotai menjadi bagian dari pertahanan udara dengan tugas menyergap pesawat Hawker Hunter maupun Lockheed P-2 Neptune Belanda yang menyusup ke wilayah udara RI. Armada dari Skadron ini juga bertugas melindungi konsentrasi pasukan yang berada di area Ambon dan Amahai. Selain itu, skadron ini juga bertugas melindungi pusat konsentrasi kapal perang ALLA (Angkatan Laut Mandala) yang ada di Kepulauan Peleng.[15]

Skadron Udara 11 juga bertugas melindungi jalur laut untuk pengiriman logistik maupun pergeseran pasukan di daerah operasi Mandala. Area itu meliputi rute jalur dari Pulau Peleng ke Pulau Morotai, Pulau Ambon ke Lefuan ke Pulau Gebe kembali ke Pulau Ambon dan Pulau Ambon ke Pulau Morotai.[15]

Pertengahan tahun 1961, kegiatan di Lanud Husein sudah semakin sibuk sehingga dipandang perlu untuk memindahkan skadron ke markasnya yang lebih leluasa. Skadron Udara XI kemudian dipindahkan ke Lanud Kemayoran, Jakarta pada tahun itu juga. Tahun 1962 Lanud Kemayoran juga mulai disibukkan dengan penerbangan pesawat komersial. Sehingga TNI AU memindahkan kembali Skadron Udara XI dari Lanud Kemayoran ke Lanud Iswahjudi.[16]

Pada 29 Juni 1962, Kapten Gunadi yang bertugas dalam Operasi Trikora gugur dalam tugas dengan pesawat MiG-17. Pesawatnya jatuh di Letwuan, Hoat Sorbay, Maluku Tenggara. Selain itu Letnan Udara Satu Suwarno juga gugur di Cirebon dengan menggunakan MiG-17. Pada April 1962, Letnan Udara Satu Poltak Simanjuntak gugur di Morotai, juga dengan pesawat MiG-17. Selain itu Sersan Mayor Udara Cadet M. Basri Hamid juga gugur dengan MiG-17 di Lanud Iswahjudi.[17]

Tahun 1963, 8 unit pesawat DH-115 Vampire akhirnya harus dipensiunkan karena ketiadaan suku cadang, dan akhirnya dijual ke India pada tahun yang sama. Di periode ini pula, hubungan Indonesia dengan Inggris mulai renggang akibat konflik serumpun antara Indonesia dengan Malaysia. Hal ini mengakibatkan Indonesia tidak bisa lagi suku cadang dari Inggris selaku pembuat pesawat Vampire.[18]

Tahun 1963, tongkat komandan skadron diserahterimakan dari Kapten Udara Roesman Nurjadin kepada Mayor Udara Loely Wardiman dengan upacara sederhana di Lanud Iswahjudi. Setelah itu ia memboyong Skadron ini beserta pesawat MiG-15 dan MiG-17 ke Lanud Abdul Rachman Saleh, Malang, Jawa Timur. Namun karena kondisi Lanud Malang tidak memungkinkan, maka untuk penerbangan konversi (pelatihan penerbangan untuk suatu jenis pesawat baru yang belum pernah diterbangkan sebelumnya), tetap dilaksanakan di Lanud Iswahjudi.[19]

Operasi Dwikora tahun 1964, turut didukung oleh Skadud 11 dengan pesawat MiG-17-nya. Operasi ini menjadi tanggung jawab Panglima Kohanud Kolonel Udara Roesmin Noerjadin dengan penempatan 6 pesawat MiG-17 di PAU Banjarmasin guna melaksanakan Operasi Panca.[14] Operasi ini bertugas untuk melaksanakan patroli udara di daerah Kalimantan. Selain di PAU Banjarmasin, beberapa pangkalan juga disiapkan pada operasi ini, antara lain PAU Balikpapan, PAU Pangkalan Bun, PAU Buluh Tumbang dan PAU Buding. Tahun 1964 juga dilakukan pergantian komandan skadron, dari Mayor Udara Loely Wardiman kepada Kapten Udara Musidjan.[15]

Pemutusan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Blok Timur sejak tahun 1965, mengakibatkan dukungan akan suku cadang terhadap MiG-15 dan MiG-17 juga berkurang.[20] Hal ini mengakibatkan ketersediaan pesawat yang layak terbang juga kian berkurang sehingga banyak penerbang tempur tidak bisa menunaikan tugasnya. Sejalan dengan itu, guna mendukung kepentingan organisasi dan pembinaan personil, maka banyak penerbang tempur Skadud 11 dimutasikan ke Lanud Adisutjipto sebagai instruktur. Selain itu sebagian lainnya ditugaskan di Kohanudnas. Pada masa ini, Kapten Udara Suganda bertindak sebagai Komandan Skadron menggantikan Kapten Udara Musidjan.[20]

1967 - 1974

MiG-17 PF TNI AU yang saat ini ada di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta

Pada tahun 1967, suku cadang pesawat kian terbatas dan jumlah penerbang tempur aktif di Skadud 11 tinggal 5 orang. Latihan penerbangan dilakukan di Lanud Kemayoran dan Lanud Iswahjudi atas pesawat-pesawat MiG-17 yang masih layak terbang. Pada saat itu, komandan Skadud 11 adalah Kapten Udara Anggoro S.[20]

Rehabilitasi landasan di Pangkalan Abdulrahman Saleh telah selesai pada tahun 1967, sehingga AURI memulai Operasi Harimau Boyong. Operasi ini bertujuan untuk menarik semua armada Skadud XI yang bertebaran di pangkalan-pangkalan aju untuk dibawa kembali ke markas untuk dirawat di Skadron Teknik 022 dan Depolog 030 (sekarang Depo Pemeliharaan 30) . Dalam operasi ini, tidak semua pesawat berhasil ditarik kembali ke markas, beberapa mengalami kegagalan sehingga akhirnya dijadikan monumen di pangkalan aju tersebut.[20]

Pada tahun 1970, Mayor Udara Suganda gugur di Palembang karena pesawat MiG-17nya jatuh, ketika sedang mengikut Latihan Gabungan ABRI di Pekanbaru.[17]

Tahun 1971 jabatan Komandan Skadron diserahterimakan dari dari Mayor Udara Anggoro ke Kapten Udara Uting Sukirwan. Pada tahun yang sama, para teknisi dari Skadud ini dikirim ke Depolog 030 untuk memenuhi ketentuan sebagai kru darat dari Skadud.[20]

Tanggal 4 Maret 1974, Skadron Udara XI dilikuidasi dengan upacara sederhana di Lanud Abdulrahman Saleh, Malang, Jawa Timur. Dengan likuidasi ini maka logo Skadron-pun diturunkan. Anggota dari Skadud XI kemudian disebar ke kesatuan-kesatuan lainnya, seperti Kodikau (sekarang jadi Komando Pendidikan Dukungan Umum), Kohanudnas dan Depo-Depo.[21]

1975 - 1979

Sebuah T-33 Thunderbird TNI AU yang saat ini disimpan di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta

Tanggal 23 Agustus 1973, TNI AU menerima 16 pesawat T-33 Thunder Bird dari pemerintah Amerika Serikat.[22] Awalnya pesawat-pesawat ini dipergunakan sebagai pesawat latih Kodikau untuk menggantikan pesawat latih jenis Aero L-29 Delfin yang sudah habis suku cadangnya. Dan pada 2 Mei 1974, Mayor Isbandi Gondo dilantik sebagai Komandan Skadron Pendidikan (Skadik) 103 yang juga merupakan cikal bakal dibentuknya kembali Skadud 11.[23]

Dengan pertimbangan dan perkembangan situasi dan kondisi yang dihadapi RI, maka Skadik 103 dengan armada T-33 Thunder Bird-nya, dipandang perlu untuk bernaung di bawah Kohanudnas.[24] Tanggal 1 Mei 1974 dikeluarkanlah Surat Keputusan KASAU Nomor : Kep/33/V/1974 yang menetapkan armada T-33 Thunder Bird di bawah Kohanudnas. Upacara serah terima dilaksanakan pada 3 Mei 1974. Di Kohanudnas, pesawat-pesawat ini dipergunakan untuk pelatihan "Proficiency Training" (pelatihan bagi para penerbang jet agar tetap mampu menjadi penerbang tempur jet). Selain itu juga dipergunakan sebagai sarana pelatihan konversi bagi para penerbang yang baru lulus dari sekolah penerbang agar nantinya akan mampu mengawaki pesawat F-86 Sabre yang akan diterima pemerintah RI.[23]

Berdasarkan Surat Keputusan Panglima Kohanudnas Nomor : Skep/A/V/1974 tanggal 10 Mei 1974 Skadron Pendidikan T-33 dilebur menjadi Satuan Buru Sergap (SatSerGap T-33) dengan komandannya, Mayor Pnb Isbandi Gondo. Pada masa ini, komandan skadron memulai prakarsa pemakaian nama panggilan. Para penerbang pesawat T-33 ini mendapatkan nama panggilan "Thunder" sesuai urutan kelulusannya di pesawat T-33. Thunder 01 dipakai oleh Komandan Skadron yang sedang menjabat. Sejak saat itu, nama panggilan itu dipakai terus hingg saat ini dan merupakan kebanggaan para penerbang Skadud 11.[23]

Pada tanggal 18 Januari 1976, Mayor Pnb. Sukirwan dan Lettu Pnb. Sutadi gugur di desa Cangkringan di kaki Gunung Lawu karena pesawat T-33 yang sedang dipakai untuk latihan rutin jatuh dan hancur. Pada tanggal 29 September 1976, Lettu Pnb. Ari Prasetya dan Lettu Pnb. Juliarto gugur di desa Cangkringan di kaki Gunung Lawu karena pesawat T-33 yang sedang dipakai untuk latihan rutin jatuh dan hancur.[17]

Pada tahun 1978 pesawat T-33 dilengkapi dengan persenjataan 2 tabung roket LAU-68 untuk roket FFAR (Folding Fin Aerial Rocket)[25] dan 2 bom udara, masing-masing seberat 50 Kg serta dua senapan 12,7 mm, yang masing-masing berisikan 250 peluru.[26] Modifikasi ini dilakukan oleh tim Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AU (Dislitbangau). Persenjataan ini digunakan oleh 6 pesawat T-33 Thunderbird dalam Operasi Cakar Garuda di Timor Timur.[27] Sebelum operasi dilaksanakan, para penerbang berlatih untuk melakukan penembakan dari udara-ke-darat di AWR Pulung, Ponorogo, memakai berbagai persenjataan dan pelbagai bom. Selain itu, mereka juga dilatih untuk melakukan misi CAS (Closed Air Support), atau dukungan serangan udara serta taktik agar selamat seandainya harus melewati AAA (Anti Aircraft Artilery) - senjati Artileri Anti Pesawat Udara. Karena persenjataan yang dipasang adalah hasil dari sebuah modifikasi maka tidak ada prosedur dan parameter tembakan (mils setting) yang sama antara satu pesawat dengan pesawat lainnya. Sehingga para penerbang harus rajin saling bertukar informasi setting tersebut atas setiap pesawat yang berbeda.[26]

Dalam Operasi Cakar Garuda, pesawat T-33 tidak dapat berkomunikasi dengan pasukan di darat dikarenakan perbedaan frekuensi radio. Pesawat T-33 mempergunakan frekuensi VHF-AM sedangkan pasukan darat mempergunakan frekuensi VHF-FM. Tanpa ada komunikasi, maka pasukan darat tidak akan bisa menuntun pesawat untuk melakukan penembakan dari udara-ke-darat atas sasaran yang dimaksudkan. Kendala ini diatasi dengan cara penerbang yang duduk di belakang terbang dengan memangku radio PRC-77 dan baru dioperasikan ketika pesawat mendekati sasaran. Radio PRC-77 sendiri memiliki frekuensi VHF-FM sehingga bisa dipergunakan untuk berkomunikasi dengan pasukan darat.[26]

Kekuatan tempur T-33 ini mendapatkan corak baru baru berupa ikan Hiu lengkap dengan giginya yang siap memangsa buruanya dengan warna dasar hijau. Corak ini didesain oleh F. Djoko Poerwoko dan terinspirasi dari corak yang ada di pesawat P-51 Mustang milik TNI AU. Pesawat yang diberikan corak baru ini adalah pesawat yang sudah dimodifikasi persenjataannya. Sedangkan pesawat yang tidak dimodifikasi persenjataannya, masih tetap dengan warna aslinya berwarna abu-abu.[28]

1980 - 2002

A-4 Skyhawk TNI AU yang disimpan sebagai koleksi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta

Berdasarkan Surat Keputusan KASAU Nomor : KEP/01A/II/1983 tanggal 11 Februari 1983, tentang Pengesahan dan Penempatan pesawat A-4 Skyhawk sebagai alat utama sistem senjata TNI AU. Sejak saat itu armada A-4 Skyhawk resmi memperkuat Skadud 11. Skadron ini merupakan bagian dari Wing Operasional 300 (Skadron-skadron Udara Tempur Sergap), Kohanudnas bermarkas di Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur.[29] Pesawat ini pada dasarnya dibuat untuk pertempuran udara-ke-darat.[30]

Pesawat-pesawat yang ditempatkan di Skadud ini adalah pesawat dengan nomor seri TT-0401 sampai dengan TT-0414. TT sendiri adalah kependekan dari Tempur Taktis, dan angka 04 di awal nomor serinya sendiri menandakan bahwa itu adalah pesawat A-4 Skyhawk.[29] 14 pesawat ini disiagakan sebagai unsur armada tempur dan dipersenjatai.[31] Selain 14 pesawat sebagai unsur tempur, skadron ini juga dilengkapi 2 pesawat A-4 Skyhawk dengan tipe A-4H dengan nomor seri TL-0415 dan TL-0416. TL sendiri kependekan dari Tempur Latih. Kedua A-4H itu dipergunakan sebagai pesawat latih lanjut dan juga sebagai pesawat latih konversi.[32]

Pada tahun 1980, 2 pesawat A-4 yang masih baru, sedang mengikuti Latihan Angkasa Yudha-80 dan dipimpin oleh penerbang F. Djoko Poerwoko. Dalam latihan ini, keduanya mendapatkan tugas terbang navigasi dengan rute Biak-Nabire-Jayapura dengan misi menghadirkan pesawat terbaru TNI AU di Jayapura. Penerbangan ke Jayapura dilakukan di koridor medium altitude (ketinggian menengah), antara 15.000 - 20.000 kaki atau di atas awan secara rata-rata. Pendaratan bisa dilakukan ketika telah menemukan titik acuan Danau Sentani di Jayapura untuk selanjutnya mendarat di Jayapura. Pada saat itu terjadi kesalahan yang dikarenakan pesawat terbang terlalu ke Timur, melewati perbatasan Indonesia - Papua Nugini, dan hampir saja mendarat di bandara Wanimo, Papua Nugini.[33]

Pada bulan Desember 1980, 5 pesawat A-4E dari menjalankan operasi militer dengan bergerak ke Mokmer, dan ke Biak. Pada bulan Maret 1981, 5 pesawat tersebut bergeser ke Lanud Baucau, Timor Timur untuk mengikuti Latihan Gabungan ABRI. Pada 31 Maret 1981, salah satu Skyhawk dengan nomor seri TT-0409 yang diawaki Kapten Pnb Suminar "Buzzard" (Thunder 37) Hadi jatuh dan hancur. Dalam peristiwa ini, penerbangnya berhasil eject dengan selamat. Dengan kejadian ini maka kekuatan armada A-4 menjadi tinggal 15 pesawat saja.[34] Indonesia kemudian mendapatkan ganti pesawat yang jatuh tersebut dengan 1 Skyhawk tipe A-4E dengan nomor ekor TT-0417 secara gratis karena masih dalam masa garansi. Hal ini menggenapkan kekuatan skadron menjadi 16 pesawat lagi.[35]

Pada tahun 1982, komandan skadron diserahterimakan dari Letkol Pnb Suyamto kepada Mayor Pnb Donan Sunanto di Lanud Iswahjudi.[36]

Bulan November 1983, Skadron A-4 Skyhawk dipergunakan untuk memerangi gerakan separatis Fretilin di Timor Timur. Selain itu skadron ini juga dipergunakan untuk memerangi gerakan pemberontak Organisasi Papua Merdeka (OPM).[35]

Pada 26 Juli 1985, Skyhawk dengan nomor seri TT-0404 sedang melaksanakan latihan menembak, tiba-tiba mesinnya mati sehingga pesawatnya jatuh dan hancur. Penerbangnya, Lettu Pnb Tri Budi "Wild Eel" Satriyo (Thunder 81) berhasil "eject" dengan selamat.[34]

Dan sejak tahun 1986, skadron ini dipimpin oleh Letkol Pnb. PA Lumintang.[37]

Pada 10 November 1986, Skyhawk dengan nomor seri TT-0413 yang diawaki Letda Pnb Rachmat "Cougar" Hidayat (Thunder 85) jatuh dan hancur. Peristiwa ini dikarenakan mesinnya mati, ketika selesai melaksanakan latihan menembak di AWR Pulung, Ponorogo. Dalam peristiwa ini, penerbangnya berhasil eject dengan selamat.[38]

Pada 20 Juli 1987, salah satu Skyhawk dengan nomor seri TT-0408, yang sedang diawaki Lettu Pnb Agus "Dingo" Supriatna (Thunder 73) dan bersiap mendarat di Lanud Iswahjudi, tidak keluar roda pendaratan sebelah kirinya. Pelbagai cara sudah dilakukan untuk mengeluarkannya, namun gagal. Komandan Lanud Iswahjudi, Marsekal Pertama F.X. Suyitno memerintahkan "Dingo" untuk terbang ke Selatan untuk melakukan eject dan meninggalkan pesawat. Perintah itu ditolak "Dingo" yang lebih memilih untuk melakukan belly landing (pendaratan tanpa menurunkan roda pendaratan). Persiapan untuk belly landing dilakukannya dengan terbang berputar-putar, menghabiskan bahan bakar sehingga hanya tersisa untuk 30 detik saja. "Dingo" akhirnya berhasil melakukan belly landing dengan selamat dan pesawatnya hanya mengalami kerusakan pada drop tanknya saja.[39]

Pada 6 Agustus 1987, A-4 dengan nomor seri TT-0407 mengalami kondisi "Throttle stuck open, power" (kondisi di mana daya dorong tidak bisa diubah pada kondisi maksimum, sehingga Skyhawk tidak bisa dikendalikan), mengakibatkan pesawatnya jatuh di ujung landasan Lanud Iswahyudi. Penerbangnya, S. Hirsan "Wild Crow" Habib (Thunder 79), berhasil eject (melontarkan dirinya dari pesawat) dengan selamat, namun pesawatnya hancur.[38]

Dua A-4 Skyhawk sedang melakukan pengisian bahan bakar dari sebuah pesawat KC-130 BT dari Skadud 32.

Di bulan Nopember 1987, satu flight (4 buah pesawat) A-4 Skyhawk melaksanakan Operasi Sriti Samber di Timor Timur yang merupakan operasi jarak jauh pertama (Madiun - Timor Timur) dari Skadud ini. Dalam operasi ini A-4 Skyhawk melaksanakan pengisian bahan bakar di udara dari pesawat tanker Lockheed Martin KC-130 BT dari Skadron Udara 32. Operasi dimulai dengan terbang dari Lanud Iswahjudi dengan konfigurasi penuh. Pesawat kemudian melakukan pengisian bahan bakar di udara di atas Pulau Lombok dan melakukan serangan pada sasaran di Timor-Timur dan akhirnya mendarat di Bandar Udara Baucau.[40]

Pada tahun 1987 Skadud 11 juga turut dalam Operasi Seroja dan bertugas untuk melakukan serangan udara menghalau pasukan Australia yang memasuki wilayah Timor Timur yang kala itu masih menjadi bagian dari Indonesia. Dalam beberapa serangan, ada personil pasukan Australia yang tumbang akibat serangan udara tersebut.[41]

Dengan konfigurasi penuh, sebuah A-4 Skyhawk, dilengkapi dengan 2 tangki cadangan dan membawa 8 bom Mark 82 (Mk-82) di mana setiap bom beratnya 250 Kg. Dengan konfigurasi seperti itu, 1 flight A-4 mampu meratakan kota sebesar Madiun hanya dalam waktu kurang dari 120 detik. 6 bom Mk-82 terpasang di MER-Multiple Ejector Rack (gantungan bom yang bisa diisi dengan beberapa bom) di bagian tengah pesawat atau station (tempat untuk menggantung bom atau tangki cadangan bahan bakar) nomor 3. 2 bom lainnya digantung di station nomor 1 (bagian ujung kiri sayap) dan nomor 5 (ujung kanan sayap). Dua tangki bahan bakar cadangan berisikan 400 galon, digantung di station nomor 2 dan 4. Dengan konfigurasi seperti itu, A-4 mampu terbang sejauh 2.000 mil dan ditambah dengan pengisian bahan bakar di udara, ia bisa terbang hingga sejauh 3.000 mil atau setara dengan terbang terus menerus selama 4 jam 30 menit.[42]

Di bulan Desember 1987, satu flight A-4 dengan konfigurasi penuh disiagakan untuk satu operasi rahasia. Misi rahasia ini dipersiapkan sebagai dukungan udara terkait berita lepasnya Kolonel Gregorio Ballesteros Honasan, pemimpin kudeta kepada Presiden Filipina, Corazon Aquino. Pada saat itu di Manila sedang diadakan KTT ASEAN yang dihadiri oleh Presiden Indonesia, Soeharto. Misi rahasia ini akhirnya hanya berlangsung secara standby (berjaga-jaga di Lanud Iswahjudi) dan dibatalkan ketika pesawat kepresidenan memasuki kembali ruang udara Indonesia.[42]

Pada 22 Januari 1988, dalam tugas penerbangan ferry (penerbangan jarak jauh) Ambon - Madiun, pesawat dengan nomor seri TT-0406 memasuki awan kumulonimbus dan jatuh di Laut Banda. Penerbangnya, S. Hirsan "Wild Crow" Habib (Thunder 79), tidak ditemukan jenasahnya dan dinyatakan gugur dalam tugas.[34]

Pada Januari 1989, skadud ini melaksanakan Operasi Boyong untuk memindahkan armada A-4 Skyhawk dari Lanud Iswahjudi ke Lanud Hasanuddin, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.[37]

Sejak tahun 1990 komandan skadud ini dipimpin oleh Letkol Pnb. Teddy Sumarno.[40]

Sejak tahun 1991 hingga akhir masa operasinya bersama Skadud ini, armada A-4 melaksanakan operasi militer terjadwal dengan sandi operasi "Alpha". Dalam operasi ini, daerah operasinya adalah wilayah Timur Indonesia. Dalam operasi ini pesawat A-4 melakukan patroli udara dalam rangka melakukan identifikasi akan kapal laut asing ataupun pesawat udara asing yang melakukan pelanggaran dengan masuk ruang Indonesia dengan tidak sah. Pangkalan operasinya antara lain di Lanud El Tari, Kupang; Lanud Sam Ratulangi, Manado; Lanud Wolter Mongisidi, Kendari dan Lanud Manuhua, Biak.[40]

Di kwartal pertama tahun 1992, satu flight A-4 disiagakan di Lanud El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur untuk mendukung TNI dalam sebuah operasi penghalauan kapal feri Lusitania Expresso - Portugal dari perairan Indonesia. Kapal ini berlayar dari Portugal dengan membawa wartawan untuk melakukan provokasi kepada Indonesia terkait wacana referendum pemisahan Timor-Timur dari Indonesia.[43] Di waktu yang sama skadron ini mengadakan airshow (demo terbang pesawat tempur) dan static show (pameran pesawat tempur statis di suatu pangkalan TNI AU) di sana. Airshow-nya sendiri dilaksanakan ketika pesawatnya sedang persiapan mendarat ataupun tinggal landas dari Lanud El Tari. Acara ini terselenggara sebagai inisiatif dari Kolonel Pnb F. Djoko Poerwoko selaku Komandan Lanud El Tari bekerjasama dengan Skadud 11.[44]

Satu pesawat A-4 Skyhawk sedang terbang membayangi sebuah kapal barang dalam rangka Operasi Pengamanan ALKI II

Pada 15 April 1993, A-4 dengan nomor seri TL-0415 jatuh di Laut Sulawesi. Ketika itu, pesawatnya sedang melaksanakan manuver vertikal (menanjak lurus ke atas), canopy (kaca penutup atas pilot)-nya terlepas dan mengenai elevator. Penerbangnya Letkol Pnb Junianto "Griffin" S. Yogasara (Thunder 53), berhasil eject dengan selamat. Dalam peristiwa ini Lettu Pnb R. Krisna Hertat (Thunder 120) juga eject namun gugur karena faktor lainnya.[34]

Pada 15 Desember 1993, pesawat dengan nomor seri TL-0414, yang dipiloti oleh Lettu Pnb Edi "Black Bird" Komari (Thunder 97) jatuh di Laut China Selatan, pada Latihan Gabungan dengan TNI AL. Namun dalam peristiwa ini, penerbangnya berhasil eject dengan selamat.[34]

Pada 22 Juni 2000, pesawat A-4 dengan nomor seri TT-0405 mengalami stall (kehilangan daya angkat ketika proses menanjak) dan masuk ke kondisi spiral dive (terbang berputar tak terkendali) dan jatuh di Laut Sulawesi, penerbangnya Lettu Pnb. Albert Ludwig Inosentus Mare (Thunder 128) dinyatakan gugur dalam tugas.[45]

Sejak diberlakukannya Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) pada tahun 2002, maka skadud ini juga turut serta dalam Operasi Pengamanan khususnya untuk ALKI II (melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores dan Selat Lombok) dan ALKI III (melintasi Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu dan Samudera Hindia). Pada tahun 2002, armada ini juga turut aktif dalam operasi pengamanan wilayah dari udara dengan nama sandi Operasi Oscar.[40]

2003 - sekarang

Sejak tahun 2003, skadud ini dilengkapi dengan pesawat dari Rusia jenis SU-27SK, dan SU-30MK/MK2.

Komandan


dibawah Kendali Lanud Iswahyudi


  1. Letnan Udara Leo Wattimena (20 Maret 1957 - 12 April 1961)[8][13]⭐⭐
  2. Kapten Udara Roesman Noerjadin (12 April 1961 - 8 Agustus 1962)[2][13]⭐⭐
  3. Mayor Udara Loely Wardiman (8 Agustus 1962 - 1964)[2][13]⭐⭐
  4. Kapten Udara Musidjan (1964 - 1966)[46]
  5. Kapten Udara Suganda (1966 - 1967)[46]
  6. Kapten Udara Anggoro S. (1967 - 1971)[46]
  7. Kapten Udara Uting Sukirwan (1971 - 1974)[46]
  8. Mayor Pnb. Isbandi Gondo (1974 - 1976)[46]
  9. Letkol Pnb. Kadar Poeraatmaja (1976 - 1979)[46]
  10. Letkol Pnb. Suyamto (1979 - 1981)[46]
  11. Mayor Pnb. Donan Sunanto (1982 - 1986)[46]
  12. Letkol Pnb. PA Lumintang (1986 - 1990)[46]

Likuidasi dibawah Jajaran Lanud Hassanudin


  1. Letkol Pnb. Teddy Sumarno (1990 - 1994)[46]⭐⭐
  2. Letkol Pnb. Yunianto S.Y. (1994)[46]⭐⭐
  3. Letkol Pnb. Eddy Suyanto, S.T (1994 - 1996)[46]⭐⭐
  4. Letkol Pnb. Ida Bagus Putu Dunia (1996 - 1999)[46]⭐⭐⭐⭐
  5. Letkol Pnb. BPL Tobing (1999 - 2000)[46]
  6. Letkol Pnb. Wahyudi Sumarwoto (2000 - 2003)[46]
  7. Letkol Pnb. Dody Trisunu (2003-2005)[46]⭐⭐
  8. Letkol Pnb. Palito Sitorus, S.Ip., M.M. (2005-2007)⭐
  9. Letkol Pnb. Moch. Untung Suropati, S.E. (2012)⭐
  10. Letkol Pnb. Dedy Ilham Suryanto Salam, S.Sos. (2012)⭐
  11. Letkol Pnb. Andi Kustoro (2006-2008)⭐
  12. Letkol Pnb. Widyargo Ikoputra (2008-2009)⭐⭐
  13. Letkol Pnb. Tonny Harjono (2009-2012)⭐⭐⭐⭐
  14. Letkol Pnb. Dedy S. Salam (2012-2014)
  15. Letkol Pnb. David Y. Tamboto (2014-2015)
  16. Letkol Pnb. Vincentius Endy Hadi Putra (2015-2016)
  17. Letkol Pnb. David Ali Hamzah (2016- 18 Oktober 2017)[47]
  18. Letkol Pnb. Anton Pallaguna (18 Oktober 2017 - 06 Februari 2019)[47][48]
  19. Letkol Pnb. Wanda Surijohansyah (06 Februari 2019 - 2020)[48]
  20. Letkol Pnb I Gusti Ngurah Sorga (28 Februari 2020 - 21 Juni 2021)
  21. Letkol Pnb Bambang Baskoro Adi (21 Juni 2021 - 18 November 2022)
  22. Letkol Pnb Setyo Budi Pulungan (18 November 2022 - Sekarang)

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e Group 2003, hlm. 86 - 87.
  2. ^ a b c d e f g Sutisna 2002, hlm. 13 - 17.
  3. ^ Irna 2018, hlm. 248.
  4. ^ a b Sutisna 2002, hlm. xxiv.
  5. ^ a b c Group 2003, hlm. 4 - 7.
  6. ^ Sutisna 2002, hlm. 9.
  7. ^ a b c Adrian, Beny (18 Mei 2019). "Meski Kehadirannya Singkat, DH-115 Vampire Mengubah Sejarah TNI AU". Angkasa.news. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-01. Diakses tanggal 01 Januari 2020. 
  8. ^ a b c d Group 2003, hlm. 8 - 10.
  9. ^ Group 2003, hlm. 90 - 94.
  10. ^ Maylina 2019, hlm. 208.
  11. ^ Maylina 2019, hlm. 206.
  12. ^ Maylina 2019, hlm. 212 - 219.
  13. ^ a b c d Group 2003, hlm. 11 - 15.
  14. ^ a b c Group 2003, hlm. 36 - 41.
  15. ^ a b c Maylina 2019, hlm. 106 - 113.
  16. ^ Group 2003, hlm. 51 - 53.
  17. ^ a b c Group 2003, hlm. 95 - 96.
  18. ^ Maylina 2019, hlm. 210.
  19. ^ Group 2003, hlm. 54.
  20. ^ a b c d e Group 2003, hlm. 16 - 19.
  21. ^ Group 2003, hlm. 20.
  22. ^ Tarigan 2015, hlm. 119 - 121.
  23. ^ a b c Group 2003, hlm. 21 - 28.
  24. ^ Suci Rahayu, Dewi (15 Maret 2015). "Mengenal Tim Jupiter TNI AU yang Celaka di Langkawi". Tempo. Diakses tanggal 04 Januari 2020. 
  25. ^ "Keren! Ini Roket Asli Buatan Indonesia". detiknews. 07 November 2014. Diakses tanggal 04 Januari 2020. 
  26. ^ a b c Poerwoko 2006, hlm. 68 - 69.
  27. ^ "Pemersatu Bangsa, Penggentar Lawan". Arsip Interaktif Kompas. Diakses tanggal 04 Januari 2020.  [pranala nonaktif permanen]
  28. ^ Poerwoko 2006, hlm. 70 - 72.
  29. ^ a b Poerwoko 2006, hlm. 241.
  30. ^ Setiawan 2016, hlm. 111.
  31. ^ Poerwoko 2006, hlm. 128.
  32. ^ Dispenau 2008, hlm. 79.
  33. ^ Poerwoko 2006, hlm. 151 - 152.
  34. ^ a b c d e Saragih 2018, hlm. 20-24.
  35. ^ a b "Indonesia SkU-11 | Skyhawk Association". www.skyhawk.org. Diakses tanggal 25 Desember 2019. 
  36. ^ Group 2003, hlm. 44 - 49.
  37. ^ a b Group 2003, hlm. 57 - 65.
  38. ^ a b Poerwoko 2001, hlm. 170-171.
  39. ^ Setiawan 2016, hlm. 36 - 38, 139 - 173.
  40. ^ a b c d Group 2003, hlm. 47 - 49.
  41. ^ Retaduari, Elza Astari (15 Maret 2017). "Cerita Thunder Family Halau Musuh Saat Ops Timtim dengan Skyhawk". detiknews. Diakses tanggal 05 Januari 2020. 
  42. ^ a b Poerwoko 2006, hlm. 148 - 150.
  43. ^ Poerwoko 2006, hlm. 168 - 169.
  44. ^ Poerwoko 2006, hlm. 175 - 176.
  45. ^ Winchester 2004, hlm. 409.
  46. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Group 2003, hlm. 88 - 89.
  47. ^ a b Penerangan TNI AU, Dinas (18 Oktober 2017). "Letkol Pnb Anton "Sioux" Pallaguna Jabat Komandan Skadron Udara 11". TNI Angkatan Udara. Diakses tanggal 01 Januari 2020. 
  48. ^ a b Lanud Sultan Hasanuddin, Penerangan (6 Februari 2019). "Letkol Pnb Wanda "Russell" Surijohansyah Jabat Komandan Skadron Udara 11". TNI Angkatan Udara. Diakses tanggal 1 Januari 2020. 

Daftar pustaka

  1. Dispenau, Subdisjarah (2008). Sejarah TNI Angkatan Udara Jilid V (1980 - 1989). Jakarta: Dinas Penerangan TNI AU. 
  2. Group, Thunder (2003). Gelegar Guntur Nusantara : Skadron Udara 11 Dari Masa ke Masa. 
  3. H.N. Hadi Soewito, Dra., Irna; Nurliana Suyono, MA, Dr., Nana; Suhartono, MA, Dra., Soedarini (2008). Awal Kedirgantaraan Indonesia - Perjuangan AURI 1945-1950. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-602-433-016-3. 
  4. Poerwoko, Faustinus Djoko (2001). My Home My Base : Perjalanan Sejarah Pangkalan Udara Iswahjudi "1939 - 2000". AK Group. 
  5. Poerwoko, Faustinus Djoko (2006). Fit via vi : Otobiografi Anak Kampung yang Menjadi Penerbang Tempur. Jakarta: AK, Group. ISBN 978-979-365529-1. 
  6. Saragih, Kolonel Sus, Dra., Maylina (2018). 18 Pesawat Warnai Muspusdirla Yogyakarta. Jakarta: Dinas Penerangan TNI AU. 
  7. Saragih, Kolonel Sus, Dra., Maylina (2019). Alat Utama Sistem Senjata TNI AU Periode Tahun 1951-1960. Jakarta: Subdisjarah Dispenau. 
  8. Setiawan, Bambang; Sidik Arifianto, Budiawan (2016). "Dingo" : menembus limit angkasa : biografi KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna. Jakarta: Kompas Media Nusantara. ISBN 978-602-412-004-7. OCLC 948360639. 
  9. Sutisna, Yuyu (2002). Kepak Sayap Skadron Udara 14 "1962-2002" : Tentara Langit, Pahlawan Hati. Jakarta: Dinas Penerangan TNI AU. 
  10. Tarigan, Dra, Kolonel Sus, M.Si., Lisa (2015). Buku Monumen TNI Angkatan Udara (Revisi I). Jakarta: Subdisjarah Dispenau. 
  11. Winchester, Jim (2004). Douglas A-4 Skyhawk: Attack & Close-Support Fighter Bomber. Pen and Sword. ISBN 9781844150854. 

Baca juga

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya