Stasiun Radio Malabar
Stasiun Radio Malabar adalah sebuah transmisi radio VLF di Malabar, Indonesia, untuk jaringan radio ke Belanda. Ini memakai salah satu alat transmisi paling kuat yang pernah dibuat, yang memiliki kekuatan 2400 kW. Stasiun Radio Malabar memakai jaringan yang dibentangkan antara dua gunung sebagai antena.[1] Latar belakangPada tahun 1917-1923, Pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah stasiun radio terbesar, dengan sistem operasi tercanggih pada saat itu. Bahkan saking modernnya, stasiun pemancar yang dirancang oleh insinyur elektro kenamaan lulusan Jerman bernama Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot itu sempat diperhitungkan dan masuk ke sejarah perkembangan radio dunia karena jadi penghubung komunikasi Indonesia - Belanda sejauh 12.000 kilometer. Berawal dari keinginan untuk menghubungkan Belanda dengan Hindia Belanda secara nirkabel, didorong oleh situasi Perang Dunia I yang tidak memungkinkan ketersediaan kabel, serta rentan secara teknis dan politis. Maka, dipililah koneksi gelombang panjang untuk menghubungkan kedua negara tersebut.[2] Willem Smit & Co’s Transformatorenfabriek memasok kumparan besar dan beberapa trafo. Sementara generator dipasok oleh Smit Slikkerveer. Sebagai pendukung tenaga listrik dibangun PLTA Dago, PLTA Plengan dan PLTA Lamadjan, serta PLTU di Dayeuhkolot. Antena dibentangkan sepanjang 2 kilometer antara Gunung Puntang dan Gunung Halimun untuk memancarkan gelombang radio. Ketinggian antena dari dasar lembah rata-rata 350 meter. Antena dibangun mengarah ke Belanda yang berjarak 12.000 kilometer dari Gunung Puntang.[2] Keunggulan tersebut terdapat pada sistem pemancar tanpa kabel (nirkabel) nya yang merupakan satu-satunya dan pertama di dunia. Dalam ulasan sejarah Komunikasi di Bandung lewat buku Tjitaroemplein-Bandung (2014) Sudarsono Katam menyebut jika sistem pemancar tersebut merupakan yang pertama di dunia. Hal ini dikarenakan menggunakan sistem peluncur listrik untuk mengangkat gelombang sebesar 750 Volts dan daya 1 MA. Dari situ gelombang radio ribuan kilowatt bisa terbangun, bahkan dengan tanpa kabel sehingga tidak terganggu kegiatan perang dunia pertama pada jamannya. PeresmianStasiun Radio Malabar diresmikan oleh Gubernur Jenderal Dirk Fock pada 5 Mei 1923. Beberapa hari sebelum peresmian, badai tropis dengan kilatan-kilatan petir telah merusak sejumlah peralatan penting termasuk pemancar. Hal ini membuat peresmian terancam diundur. Namun, ternyata peresmian tetap dilakukan dengan cara mengirim pesan telegraf radio kepada Ratu Belanda dan Menteri Urusan Koloni, tetapi tidak ada jawaban dari stasiun di Belanda. Baru pada 6 Mei 1923 malam, pemancar dapat berfungsi dengan baik. Pesan pertama yang dirimkan dari Belanda adalah dari Kantor Berita Aneta. Meski demikian, tanggal 5 Mei 1923 tetap dijadikan tanggal peresmian Stasiun Radio Malabar. Untuk mengenang peristiwa telekomunikasi tersebut didirikan dua patung laki-laki tanpa busana yang tengah mengapit tiga perempat bola dunia. Patung pertama menaruh tangan tangannya di mulut yang menandakan tengah berteriak. Sedangkan patung yang satu lagi menaruh tangan kanannya di telinga seolah sedang mendengarkan. Stasiun Radio Malabar sempat menjadi media propaganda Jepang dengan melakukan kontak dengan Hooshoo Kanri Kyoku di berbagai daerah lain di daerah pendudukannya.[2] KehancuranSetelah Jepang hengkang dari Indonesia dan Belanda ingin menguasai kembali Indonesia, para pejuang republik di Bandung Selatan menghancurkan Stasiun Radio Malabar. Stasiun radio tersebut hancur bersamaan dengan peristiwa Bandung Lautan Api karena pejuang republik tidak ingin stasiun Radio ini digunakan oleh belanda untuk Menghubungi ke Belanda.[2][3] Referensi
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Malabar radio station. |