Ginandjar Kartasasmita
Marsekal Madya TNI (Purn.) Prof. Dr. Ir. H. Ginandjar Kartasasmita, M.Eng. (lahir 9 April 1941) adalah seorang politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Sebelumnya ia menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah dan beberapa kali menjadi menteri. PendidikanGinandjar memiliki ayah bernama Husein Kartasasmita dan ibu bernama Ratjih Natawidjaja. Ia bersekolah di Kolese Kanisius di Jakarta. Seringnya bergaul dengan mahasiswa berkebangsaan dan latar belakang agama lain memicu nasionalismenya. Setelah satu tahun belajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), ia dianugerahi beasiswa ke Universitas Pertanian dan Teknologi Tokyo, tempat ia belajar teknik kimia (kimia industri) dari tahun 1960 hingga 1965. Sekembalinya ke Indonesia pada tanggal 15 Oktober 1965 setelah kudeta militer yang gagal, Ginandjar bekerja di Komando Operasi Tertinggi (KOTI) militer selama satu tahun.[1] Pada tahun 1967 menjabat sebagai Staf Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengembangan TNI Angkatan Udara, dan pada tahun 1968–1971 menjadi Kepala Bagian Penelitian Biro Analisis dan Perundang-undangan Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.[2] Dia adalah profesor tamu di Universitas Waseda.
Doktor HC dalam bidang ekonomi dari Takushoku University, Tokyo. Orasi "Indonesia Menyongsong Abad Ke-21" (10 Mei (1994) Doktor HC dalam bidang jasa publik dari Northeastern University, Boston (18 Juni 1994) Doktor HC dalam bidang ilmu administrasi pembangunan dari Universitas Gadjah Mada dengan orasi "Pembangunan Menuju Bangsa yang Maju dan Mandiri" (15 April 1995) Universitas Brawijaya (Profesor) (1995)[3] KarierGinandjar telah aktif di dunia politik sejak tahun 1970-an ketika ia duduk di kabinet Soeharto. Ia selalu menyebut dirinya nasionalis, karena pengaruh orang tuanya yang sama-sama merupakan aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI) sebelum Perang Dunia II. Ginandjar menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi serta Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas. Ia mendapat serangan sebagai bagian dari Orde Baru, namun ia berpendapat bahwa keanggotaannya di kabinet bersifat profesional. Ginandjar berkomentar, "Saya bagian dari sistem, tapi saya profesional di kabinet". Ginandjar berperan mendorong Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998 ketika ia dan menteri lainnya menolak duduk di Kabinet Reformasi Pembangunan yang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto. Ketika menjadi jelas bahwa akan sulit bagi Suharto untuk membentuk kabinet, presiden memilih mundur dan memilih wakil presidennya B.J. Habibie. Pada bulan Oktober 2004, Ginandjar terpilih sebagai ketua pertama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang baru dibentuk. Ia meraih 72 dari 128 suara dalam putaran kedua melawan Irman Gusman, yang bersama La Ode Ida menjadi wakilnya.[4] Ia menyelesaikan masa jabatan lima tahunnya pada 1 Oktober 2009 dan digantikan oleh Irman Gusman.[5]
Penangkapan korupsiPada akhir Maret 2001, jaksa penuntut negara mengeluarkan surat perintah penangkapan Ginandjar atas dugaan korupsi yang menimbulkan kerugian negara sebesar $24,8 juta. Penangkapannya tertunda karena dia dirawat di rumah sakit untuk pemeriksaan perutnya. Ia ditangkap pada tanggal 6 April 2001 di sebuah rumah sakit di Jakarta dan ditahan di pusat penahanan di kompleks Kejaksaan Agung. Dia membantah melakukan kesalahan dan mengatakan penangkapannya bermotif politik dan diperintahkan oleh presiden saat itu, Abdurrahman Wahid. Ginandjar menentang surat perintah penangkapan dan mencoba menuntut Kejaksaan Agung atas kesalahan penangkapan.[8] Ia menjadi tersangka kasus yang melibatkan PT Ustraindo Petro Gas, perusahaan milik putra tengah Soeharto, Bambang Trihatmodjo, dan perusahaan minyak dan gas milik negara, Pertamina. Ginandjar menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi ketika Pertamina membayar biaya pengembangan empat ladang minyak yang dilakukan Ustraindo, sedangkan Ustraindo secara kontrak diharuskan menanggung biaya tersebut. Pengaturan tersebut menimbulkan kerugian negara sebesar $18 juta. Jaksa penuntut mengatakan syarat-syarat kontrak bagi hasil antara pemerintah dan perusahaan diubah demi keuntungan Ustraindo sehingga menambah kerugian negara. Ginandjar dibebaskan setelah sebulan. Ia mengakui sulit menghilangkan tuduhan korupsi karena ia merupakan bagian dari rezim Soeharto. “Mengatakan saya tidak korupsi sama seperti pepatah: 'Saya tidak memukuli istri saya.' Tidak ada seorang pun yang mempercayai Anda", katanya pada tahun 2001.[9] Kehidupan PribadiGinandjar menikah dengan Yultin Harlotina, dan memperoleh empat orang anak, yaitu: Gita, Agus Gumiwang, Galih, dan Gaya. Penghargaan[10]Dalam Negeri
Luar Negeri
Buku
Galeri
Pranala luar
Referensi
|