Sejarah Ortodoks Oriental
Ortodoks Oriental adalah persekutuan Gereja-Gereja Timur yang hanya mengamini ajaran-ajaran ketiga konsili oikumene yang pertama, yaitu Konsili Nikea I, Konsili Konstantinopel I, dan Konsili Efesus. Gereja-Gereja ini menolak dogma-dogma yang diajarkan Konsili Kalsedon. Itulah sebabnya Gereja-Gereja tersebut juga disebut Gereja-Gereja Timur Lama atau Gereja-Gereja Nonkalsedon. PendirianSejarah Ortodoks Oriental bermula semenjak lahirnya Kekristenan.[1] Peran misionerGereja-Gereja Ortodoks Oriental memiliki peran misioner yang besar pada tahap-tahap awal pertumbuhan Kekristenan, dan berperan besar dalam sejarah Mesir.[2] Skisma KalsedonMenurut hukum kanon Gereja-Gereja Ortodoks Oriental, Konsili Nikea I (mendahului skisma) memberikan status batrik kepada Uskup Roma, Uskup Aleksandria, Uskup Efesus (kemudian hari dipindahkan ke Konstantinopel), dan Uskup Antiokhia, yakni uskup di keempat pusat rasuli purba Kekristenan. Tiap-tiap batrik bertanggung jawab atas uskup-uskup dan gereja-gereja di wilayah kewenangannya masing-masing di dalam ruang lingkup Gereja katolik sejagat (kecuali Batrik Yerusalem yang berdiri sendiri, lepas dari yang lain), dengan Uskup Roma sebagai "orang yang dituakan di antara rekan-rekan yang sederajat" selaku pengganti Petrus dan pengemban jabatan pelayanan Petrus di ranah persatuan dan kewenangan. Skisma yang memisahkan Gereja-Gereja Ortodoks Oriental dari Gereja yang selebihnya terjadi pada abad ke-5. Salah satu sebabnya adalah penolakan Dioskorus, Batrik Aleksandria, untuk menerima dogma kristologis Konsili Kalsedon tentang dwikodrat Yesus (ilahi dan insani). Gereja-Gereja Oriental mengamini ajaran tentang dwikodrat Kristus, tetapi mati-matian menegaskan bahwa kedua kodrat tersebut manunggal tak terpisahkan. Batrik Dioskorus hanya bersedia menerima frasa "dari dua kodrat" dan menentang frasa "dalam dua kodrat." Bagi para petinggi Gereja yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin Ortodoks Oriental, maklumat Kalsedon tersebut pada hakikatnya setali tiga uang dengan Nestorianisme, paham yang mereka tolak. Di lingkungan Perguruan Teologi Aleksandria, muncul paham Miafisitisme yang menganjurkan suatu rumusan yang mengutamakan kemanunggalan inkarnasi di atas segala-galanya. Itulah sebabnya Gereja-Gereja Ortodoks Oriental kerap disebut monofisit, kendati mereka menolak disebut demikian, lantaran sebutan itu berkaitan erat dengan paham Monofisitisme yang diajarkan Etikes. Mereka lebih suka disebut Gereja-Gereja "Nonkalsedon" atau "Miafisit". Gereja-Gereja Ortodoks Oriental menolak apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajaran bidat Monofisit dari Etikes dan Nestorius, maupun takrif Diofisit dari Konsili Kalsedon. Akibatnya, batrik-batrik Oriental diekskomunikasi oleh Uskup Roma dan Uskup Konstantinopel pada tahun 451, sehingga skisma tersebut menjadi resmi sifatnya. Sekalipun penting, kristologi bukanlah satu-satunya alasan yang mendorong para rohaniwan Koptik dan Suryani untuk menolak Konsili Kalsedon. Pelbagai isu politik, gerejawi, kekaisaran sedang hangat diperdebatkan pada masa itu.[3] Upaya islah yang kandasPada tahun 482, Kaisar Zeno berusaha merukunkan silang pendapat Kristologis di antara pihak pendukung dan pihak penentang Takrif Kalsedon dengan mengeluarkan maklumat kaisar yang dikenal dengan nama Henotikon, tetapi ikhtiar tersebut lebih dilandasi kepentingan politik dan pada akhirnya gagal mewujudkan islah yang sejati dan sesungguhnya.[4] Pada tahun-tahun sesudah terbitnya Henotikon, Batrik Konstantinopel secara resmi masih bersekutu dengan batrik-batrik Nonkalsedon di Aleksandria, Antiokhia, dan Yerusalem, sementara Batrik Roma tidak bersekutu dengan batrik-batrik Nonkalsedon dan merenggang dalam persekutuannya dengan Batrik Konstantinopel (lih. skisma Akasian). Baru pada tahun 518, Yustinus I, Kaisar Romawi Timur yang baru (yang menerima Takrif Kalsedon), mewajibkan segenap Gereja di Kekaisaran Romawi untuk menerima keputusan-keputusan Konsili Kalsedon. Kaisar Yustinus memerintahkan supaya semua uskup Nonkalsedon diganti, termasuk Batrik Antiokhia dan Batrik Aleksandria.[3] Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus I (tahun 527–565), muncul ikhtiar-ikhtiar islah yang baru, antara lain Konsili Konstantinopel II. Salah seorang teolog Ortodoks Oriental yang terkemuka pada masa itu adalah Severus dari Antiokhia. Meskipun kaisar sudah berulang kali mempertemukan para pemuka Ortodoks Oriental dan Ortodoks Timur, mufakat tak kunjung tercapai. Perpecahan terbukti sudah paripurna, dan pada masa itu pula dibentuk struktur-struktur gerejawi paralel di seluruh kawasan Timur Dekat. Pemuka Ortodoks Oriental yang terkemuka pada pertengahan abad ke-6 adalah Yakub Baradaeus, tokoh yang dihormati sebagai pemimpin teologis segolongan umat Kristen yang sejak saat itu dikenal dengan sebutan umat Kristen "Yakubi".[3] Di antara Romawi Timur dan PersiaPada abad ke-6 dan ke-7, perang yang kerap berkecamuk antara Kekaisaran Romawi Timur dan Kekaisaran Sasani (Persia) di seantero Timur Tengah sangat berdampak terhadap peri kehidupan semua orang Kristen di kawasan itu, termasuk orang-orang Kristen Ortodoks Oriental, khususnya di Armenia, Suriah, dan Mesir. Keberdaulatan singkat Persia atas seantero kawasan itu semasa [[|Perang Romawi–Persia#Perang Bizantium–Sassaniyah|Perang Romawi Timur–Sasani tahun 602–628]] kian memperlebar jarak yang memisahkan komunitas-komunitas Ortodoks Oriental di kawasan itu dari pemerintah Kekaisaran Romawi Timur di Konstantinopel. Keterpisahan tersebut tidak kunjung membaik sesudah Romawi Timur mendaulat kembali kawasan itu, sekalipun Kaisar Heraklius sudah berusaha menguatkan kendali politik atas kawasan itu lewat upaya penyatuan kembali komunitas-komunitas Kristen yang terbelah. Demi mencapai suatu kompromi kristologis antara pihak Ortodoks Oriental dan pihak Ortodoks Timur, ia mendukung paham monoenergisme dan monotelitisme, tetapi islah yang dicita-citakannya tak kunjung sampai.[3] Penaklukan dan pascapenaklukan ArabTantangan IslamisasiMenyusul Penaklukan Muslim atas Timur Tengah pada abad ke-7, dimulailah suatu proses Islamisasi berangsur yang memengaruhi semua orang Kristen di kawasan itu, termasuk umat Ortodoks Oriental. Komunitas-komunitas Ortodoks Oriental, terutama komunitas-komunitas Suryani dan Kubti, sedikit demi sedikit tergantikan oleh komunitas-komunitas Muslim. Meskipun demikian, masih tersisa kelompok-kelompok kecil yang terus melestarikan iman dan budaya Kristen mereka.[5] Penaklukan dan sistem milet UsmaniPada paruh pertama abad ke-16, seantero Timur Dekat berkhidmat kepada Kemaharajaan Usmani. Syam dan Mesir ditaklukkan dalam Perang Usmani-Mamluk tahun 1516-1517, sehingga komunitas-komunitas Ortodoks Oriental di kedua negeri itu harus menghadapi kenyataan politik baru yang kelak menentukan jalan sejarah mereka sampai awal abad ke-20. Pemerintah Usmani memperkenalkan sistem milet yang memberi otonomi sampai taraf tertentu kepada komunitas-komunitas umat beragama non-Islam, termasuk umat Kristen Ortodoks Oriental. Aniaya terhadap umat Ortodoks Oriental
Salah satu ciri khas yang paling menonjol dari Ortodoks Oriental adalah aniaya dan pembataian yang tak henti-hentinya menimpa umat Ortodoks Oriental sepanjang sejarah, mula-mula ketika berada di bawah pemerintahan Romawi Timur dan Sasani, tetapi juga kemudian hari ketika berada di bawah pemerintahan kulawangsa-kulawangsa Muslim yang silih berganti berkuasa.[6] Sentimen-sentimen anti-Ortodoks Oriental di Kekaisaran Romawi Timur dilatarbelakangi perpecahan umat Kristen selepas Konsili Kalsedon tahun 451. Aniaya-aniaya lebih banyak timbul di Mesir dan beberapa provinsi timur lainnya di Kekaisaran Romawi Timur pada masa pemerintahan Kaisar Marsianus (tahun 450–457) dan Kaisar Leo I (tahun 457–474).[7] Aniaya pernah pula terjadi pada zaman Kesultanan Adal dan Kerajaan Simien. Peristiwa penaklukan Muslim atas Mesir terjadi pada tahun 639 tarikh Masehi, ketika Mesir menjadi salah satu provinsi Kekaisaran Romawi Timur. Sekalipun timbul gejolak perubahan politik, Mesir tetap mayoritas Kristen, sayangnya umat Kubti kehilangan status mayoritasnya selepas abad ke-14,[8] sebagai akibat dari aniaya dan penghancuran gereja yang terjadi dari waktu ke waktu,[9] berbarengan dengan pengenaan pajak-pajak yang memberatkan ke atas orang-orang yang enggan masuk Islam.[10] Semenjak Mesir takluk kepada kaum Muslim, umat Kristen Kubti dianiaya oleh berbagai rezim Muslim yang silih berganti berkuasa,[11] seperti Khilafah Bani Umayah,[12] Khilafah Bani Abas,[13][14][15] Khilafah Bani Fatimah,[16][17][18] Kesultanan Mamluk,[19][20] dan Kekaisaran Usmani. Aniaya terhadap umat Kristen Kubti mencakup penutupan dan pembongkaran gereja serta paksaan untuk masuk Islam.[21][22][23] Aniaya terhadap umat Kubti masih berlangsung sampai hari ini. Jumlah Umat Kristen mencapai 10% dari populasi Mesir dan mayoritas adalah umat Ortodoks Oriental.[24] Serangan-serangan signifikan termutakhir terhadap umat Kristen Koptik mencakup pengeboman dua gereja pada Hari Paskah tahun 2017, yang merenggut 49 korban jiwa, dan pembunuhan 29 orang peziarah dalam perjalanan ke sebuah biara pada bulan Mei tahun yang sama.[24] Aniaya terhadap umat Kristen Ortodoks pada zaman modern mencapai puncaknya dalam tindakan aniaya sistematis oleh pemerintah Usmani terhadap umat Kristen Armeni dan umat Kristen Asyuri yang berbuntut petaka Genosida Armeni dan Genosida Asyuri semasa Perang Dunia I.[25][26] Pada tanggal 23 April 2015, Gereja Apostolik Armenia menganonisasi semua korban Genosida Armeni. Kanonisasi tersebut diyakini sebagai kanonisasi terbesar sepanjang sejarah.[27][28][29] Meskipun 1,5 juta adalah jumlah korban jiwa yang paling sering dipublikasikan, angka-angka yang dihasilkan bermacam-macam perkiraan berkisar dari 700.000 sampai 1.800.000. Kanonisasi korban Genosida Armeni adalah kanonisasi pertama yang di lakukan Gereja Apostolik Armenia selepas empat ratus tahun.[30] Zaman modernPersekutuan Ortodoks Oriental terdiri atas enam kelompok, yaitu Gereja Ortodoks Kubti, Gereja Ortodoks Suryani, Gereja Ortodoks Habasyi, Gereja Ortodoks Eritrea, Gereja Ortodoks Suryani Malangkara, dan Gereja Apostolik Armenia.[31] Sekalipun bersekutu satu sama lain, enam Gereja tersebut sepenuhnya mandiri secara hierarkis dam tidak memiliki batrik bersama.[32] Pada abad ke-20, Skisma Kalsedon tidak dilihat dengan relevansi yang sama, dan beberapa pertemuan antara pihak Katolik dan pihak Ortodoks Oriental telah menghasilkan pernyataan-pernyataan islah yang ditandatangani oleh Batrik Oriental (Mar Ignasius Zaka I) dan Sri Paus (Yohanes Paulus II) pada tahun 1984.
Hubungan oikumeneSelepas penyelenggaraan Konferensi Addis Ababa tahun 1965 yang bersejarah itu, Gereja-Gereja Ortodoks Oriental mulai menumbuhkembangkan amalan saling konsultasi dalam perkara-perkara teologis dan saling kerjasama dalam urusan-urusan pembinaan hubungan oikumene dengan Gereja-Gereja dan denominasi-denominasi lain, khususnya dengan Gereja-Gereja Ortodoks Timur dan persekutuan Anglikan. Diskusi-diskusi yang kembali dilangsungkan para teolog Ortodoks Oriental dengan para teolog Ortodoks Timur lebih banyak menyoroti pokok-pokok permasalahan kristologis mengenai pelbagai perbedaan antara Monofisitisme dan Miafisitisme.[34][35] Di lain pihak, dialog para teolog Ortodoks Oriental dengan para teolog Anglikan juga secara khusus menyoroti beberapa pokok permasalahan pneumatologis tambahan. Pada tahun 2001, dibentuk "Komisi Internasional Anglikan-Ortodoks Oriental".[36] Pada tahun-tahun berikutnya, komisi tersebut menghasilkan beberapa pernyataan teologis penting. Yang terakhir, pada tahun 2017, para teolog Ortodoks Oriental dan Anglikan menggelar pertemuan di Dublin dan menandatangani sebuah kesepakatan mengenai pelbagai pokok permasalahan teologis yang berkaitan dengan Roh Kudus. Pernyataan kesepakatan tersebut mengukuhkan kesediaan pihak Anglikan untuk menghilangkan sisipan Filioque dari syahadat.[37] Baca jugaRujukan
Kepustakaan
Pranala luar
|