Share to:

 

Sitt al-Mulk

Sitt Al Mulk adalah putri pemimpin Dinasti Fatimiyah. Ayahnya bergelar Maulana Al Azis, seorang pemimpin kerajaan sekaligus imam dari Dinasti Fatimiyah di Mesir. Sitt lahir dari seorang ibu yang berasal dari Bizantium. Sitt tumbuh besar di bawah asuhan dan pengajaran dari ayahnya secara lang sung. Ayahnya dikenal sebagai raja yang bijaksana dan sangat menjunjung toleransi. Sebagai pemimpin dinasti Islam, Al Azis menanamkan nilai-nilai ajaran Muhammad kepada anak-anaknya, termasuk Sitt.

Kepemimpinan Al Azis dicintai oleh rakyat Mesir. Ia memimpin Dinasti Fatimiyah selama 21 tahun. Al Azis membangun dua istana megah di Kairo untuk kehidupan keluarganya. Dua istana itu diberi nama Qasr Al Bahr (Istana Sungai) dan Qasr Al Dhahab (Istana Emas). Sitt Al Mulk sejak kecil telah terbiasa bermain di kedua istana tersebut. Tinggal bersama ayahnya, Sitt banyak mendapat pelajaran terutama tentang kebijaksanaan. Kharisma kepemimpinan Sitt pun sudah terlihat sedari kecil. Hal itu dibuktikan dari seringnya Al Azis meminta pendapat mengenai persoalan kerajaan kepada Sitt.

Meski masih kecil dan polos, Al Azis ingin mendengarkan nasihat yang penuh dengan ketulusan dari anak nya. Sitt pun sering mengomentari perma salah an kerajaan dengan terus terang dan apa adanya. Kejujuran Sitt dalam mengungkapkan masalah ini yang sangat disukai ayahnya. Sitt terus dimintai nasihat hingga ayahnya mendekati ajal.

Maulana Al Azis dikenal sangat menghargai perbedaan. Prinsip tersebut yang juga dipelajari Sitt. Namun, kebaikan Al Azis dimanfaatkan pejabat yang beragama Yahudi dan Nasrani yang di angkat raja. Kalangan non-Islam justru banyak menguasai posisi penting di negara tersebut. Akibatnya, muncul ketidak stabilan pemerintahan sang raja bijaksana itu.

Akhirnya, Al Azis menyerahkan tampuk kerajaan kepada saudara laki-laki Sitt, Al Hakim, yang masih berusia 11 tahun. Masa pemerintahan Al Hakim tidak berlangsung lama. Kekisruhan semakin menjadi-jadi di masa pemerintahan khalifah yang masih muda itu. Sejumlah menteri dari Yahudi dan Nasrani banyak mengatur kewenangan ekonomi kerajaan, termasuk zakat dan pajak. Bahkan, seorang dokter kerajaan pun memiliki kewenangan yang luas untuk memengaruhi pemerintahan.

Sitt yang mendapat didikan kepemim pinan dari ayahnya tidak bisa diam. Dia berinisiatif mengambil alih pemerintahan dari saudaranya. Namun, Dinasti Fatimiyah tidak mengenal kekhalifahan yang dipimpin wanita. Sitt yang mengambil alih pemerintahan hanya bergelar bupati.

Guna menyiasati hal itu, anak lakilaki Sitt, Al Zahir, diangkat menjadi khalifah. Usia Al Zahir saat itu baru 16 tahun. Kepemimpinan Al Zahir langsung didampingi ibunya, Sitt, yang bergelar bupati dan ibu suri.

Dengan posisi tersebut, Sitt bisa mengen dalikan pemerintahan meski lewat anaknya. Dia tetap menjaga tradisi dinasti dan tidak melanggar peraturan, tetapi pada hakikatnya semua urusan ke khalifahan diatur oleh Sitt. Dia sangat piawai dalam mengurus segala hal mengenai kedinastian meskipun hanya sebagai bupati. Dia memiliki gelar "Naib kami Sultanat".

Dia mengorganisasi daerahnya dengan terampil. Dia menunjuk beberapa menteri yang berkompeten. Menteri harus tinggal menetap untuk mendengarkan rakyat, terutama masalah ekonomi di setiap kabupaten. Dalam kedudukannya sebagai bupati, Dinasti Fatimiyah kembali menjadi stabil. Sitt meninggal pada 415 H/1024 M setelah membawa kembali kemakmuran negara. Dinasti Fatimiyah menemui kehancuran pada tahun 567 H/1171 M. Setelah terjadi perpecahan di antara para pemimpinnya. Di samping itu, runtuhnya dinasti Fatimiyah juga ditumbangkan Dinasti Ayyubiyah.[1]

Referensi

Kembali kehalaman sebelumnya