Share to:

 

Era Demokrasi Liberal (1950–1959)

Era Demokrasi Liberal Indonesia
1950–1959
Papan iklan yang mempromosikan partai politik untuk pemilihan umum 1955.
LokasiIndonesia
PemimpinSoekarno
Peristiwa penting
Kronologi
Revolusi Nasional Indonesia Demokrasi Terpimpin

Era Demokrasi Liberal, juga dikenal sebagai Era Demokrasi Parlementer, adalah suatu era dalam sejarah politik Indonesia, ketika negara tersebut berada di bawah sistem demokrasi liberal. Selama periode ini, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum legislatif pertama dan satu-satunya yang bebas dan adil hingga tahun 1999 (saat memasuki Era Reformasi), tetapi juga mengalami ketidakstabilan politik yang berkelanjutan. Periode ini dimulai pada 17 Agustus 1950 setelah pembubaran negara federal Republik Indonesia Serikat, kurang dari setahun setelah pembentukannya, dan berakhir dengan penerapan darurat militer dan dekrit Presiden Sukarno, yang menghasilkan diperkenalkannya periode Demokrasi Terpimpin pada 5 Juli 1959.

Pada tanggal 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan negara hasil Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, resmi dibubarkan. Sistem pemerintahannya pun diubah menjadi demokrasi parlementer berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Periode demokrasi liberal ditandai oleh pertumbuhan partai-partai politik dan pemberlakuan sistem pemerintahan parlementer, namun juga oleh periode ketidakstabilan politik yang panjang, dengan jatuhnya pemerintahan satu demi satu. Pemilihan umum legislatif 1955 merupakan pemilihan umum pertama yang bebas dan adil dalam sejarah Indonesia, sekaligus satu-satunya pemilihan umum yang bebas dan adil hingga Pemilihan umum legislatif 1999, yang diadakan pada akhir rezim Orde Baru.[1]

Latar belakang

Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia, perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah dalam hal adat istiadat, moral, tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan akan dominasi politik Jawa, semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai negara baru, Indonesia memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan tradisi otoriter.[2] Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik Indonesia: militan Darul Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan bergerilya melawan Republik Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang dulunya adalah Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan; ditambah dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara tahun 1955 dan 1961.

Perekonomian Indonesia terpuruk setelah tiga tahun pendudukan Jepang, kemudian empat tahun perang melawan Belanda. Di tangan pemerintahan yang masih muda dan belum berpengalaman, perekonomian tidak mampu mendorong produksi pangan dan kebutuhan lain untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Sebagian besar penduduk buta huruf, tidak terampil, dan tidak memiliki kemampuan manajerial. Inflasi meningkat, banyak penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat yang sangat membutuhkan devisa, dan banyak perkebunan hancur selama pendudukan penjajah dan perang.[3]

Gambaran umum

Pada masa Soekarno, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan. Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial, parlementer (demokrasi liberal), hingga demokrasi terpimpin. Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi penyimpangan UUD 1945, di antaranya perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.

Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 adalah terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara federal yang diprakasai oleh Belanda untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata tidak didukung masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin kembali ke negara kesatuan dan pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS Mohammad Hatta menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

Mulainya Demokrasi Parlementer

Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Pemerintahan Republik Indonesia masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Sementara itu, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) 1950 digunakan sebagai konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.

UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia mengamanatkan sistem pemerintahan parlementer dan menetapkan secara panjang lebar jaminan konstitusional untuk hak asasi manusia, yang sangat mengacu pada Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948.[4]

Konstituante

Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama. Pada bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember pemilih kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi sebagai anggota Konstituante.

Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di Bandung, ibu kota Jawa Barat, untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung selama dua setengah tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan tugasnya.

Berakhirnya Demokrasi Parlementer

Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut. Presiden Soekarno lalu menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi pembubaran Konstituante serta penggantian konstitusi dari UUDS 1950 menjadi UUD 1945 kembali. Peristiwa ini menandai berakhirnya Demokrasi Parlementer dan mulainya Era Demokrasi Terpimpin. Pemerintah kemudian membentuk lembaga-lembaga MPRS dalam demokrasi terpimpin yang menerapkan sistem politik keseimbangan. Pada masa ini Soekarno merencanakan konsep pentingnya persatuan antara kaum nasionalis, agama, dan komunis.

Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Parlementer

Demokrasi Parlementer dengan banyak partai justru menimbulkan ketidakstabilan politik. Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet. Tercatat ada tujuh kabinet pada masa ini. Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi tidak percaya dari partai lawan. Di samping itu, terjadi perdebatan dalam Konstituante yang sering menimbulkan konflik berkepanjangan.

No. Nama kabinet Perdana Menteri Jumlah
personel
Awal masa kerja Akhir masa kerja Masa kerja
1.
Natsir Mohammad Natsir
18
6 September 1950 21 Maret 1951 6 bulan 15 hari
2.
Sukiman-Suwirjo Sukiman Wirjosandjojo
20
27 April 1951 23 Februari 1952 9 bulan 27 hari
3.
Wilopo Wilopo
18
3 April 1952 3 Juni 1953 1 tahun 2 bulan
4.
Ali Sastroamidjojo I Ali Sastroamidjojo
20
1 Agustus 1953 24 Juli 1955 1 tahun 11 bulan 23 hari
5.
Burhanuddin Harahap Burhanuddin Harahap
23
12 Agustus 1955 3 Maret 1956 6 bulan 19 hari
6.
Ali Sastroamidjojo II / Ali Wongso Ali Sastroamidjojo
25
24 Maret 1956 14 Maret 1957 11 bulan 19 hari
7.
Djuanda Djuanda Kartawidjaja
24
9 April 1957 5 Juli 1959 2 tahun 2 bulan 26 hari

Kabinet Natsir

Kabinet Natsir merupakan kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Partai Masyumi. Kabinet ini dibentuk pada 6 September 1950 dan didemisionerkan pada tanggal 21 Maret 1951. Program kerja kabinet Natsir:

  • Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante
  • Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan negara
  • Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman
  • Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat
  • Menyempurnakan organisasi angkatan perang
  • Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat

Hasil kerja kabinet ini yaitu berlangsungnya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Sementara kendala atau masalah yang dihadapi yaitu upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan) dan timbul masalah keamanan dalam negeri berupa pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti gerakan DI/TII, gerakan Andi Azis, gerakan APRA, dan gerakan RMS.

Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan belum sempat melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng yang didasari oleh gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Program Benteng resmi berjalan selama tiga tahun (1950–1953) dengan tiga kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo).

Kabinet Sukiman-Suwirjo

Kabinet ini merupakan kabinet kedua pada Era Demokrasi Parlementer. Kabinet ini bertugas pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952, tetapi telah didemosioner sejak 23 Februari 1952. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI. Program kerja kabinet Sukiman:

  • Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketenteraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara
  • Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk meningkatkan kehidupan sosial dan perekonomian rakyat serta memperbaharui hukum agraria sesuai dengan kepentingan petani
  • Mempercepat usaha penempatan mantan pejuang dalam lapangan pembangunan
  • Mempercepat dan menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk dewan konstituante dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah
  • Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama (collective arbeidsovereenkomst), penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian perburuhan
  • Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta menuju perdamaian dunia, menyelenggarakan hubungan antara Indonesia dengan Belanda yang sebelumnya berdasarkan asas unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan hasil Konferensi Meja Bundar, serta meniadakan perjanjian-perjanjian yang pada kenyataannya merugikan rakyat dan negara
  • Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam waktu sesingkat-singkatnya

Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketenteraman namun selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketenteraman. Beberapa kendala atau masalah yang dihadapi, di antaranya:

  • adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebadjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cockran mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA) . Dimana di dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan untuk memperhatikan kepentingan Amerika.
  • adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
  • masalah Irian Barat belum juga teratasi
  • hubungan Sukirman dengan militer kurang baik, ditunjukkan dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi.

Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952. Penyebab jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.

Kabinet Wilopo

Program kerja kabinet Wilopo:

  • Mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum
  • Berupaya untuk mengembalikan Irian Barat agar kembali menjadi wilayah Republik Indonesia
  • Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
  • Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
  • Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif

Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan, yaitu:

  • Mengatasi gerakan separatisme yang terjadi di berbagai daerah
  • Penekanan Presiden Soekarno yang dilakukan oleh sejumlah perwira Angkatan Darat pada tanggal 17 Oktober 1952 agar parlemen dibubarkan
  • Kejadian Tangjung Morawa yang terjadi di Sumatera Utara. Peristiwa Tanjung Morawa terjadi akibat persetujuan pemerintah sesuai dengan KMB agar memberikan izin kepada pengusaha asing agar dapat mengusahakan tanah perkebunan di Indonesia lagi. Tanah ini sebelumnya digarap oleh para pertani karena bertahun tahun telah ditinggalkan oleh pemiliknya pada saat Kabinet Sukiman. Saat itu juga Mr. Iskaq Cokroadisuryo selaku menteri dalam negeri memberikan persetujuan agar tanah Deli dikembalikan. Tanah tersebut berhasil dikembalikan saat masa Kebinet Wilopo. Kemudian pada tanggal 16 Maret 1953, pihak polisi mengusir penggarap sawah yang tidak mempunyai izin. Akibat pengusiran tersebut, banyak terjadi bentrokan bersenjata yang menewaskan 5 orang petani. Peristiwa bentrokan itu mendapatkan sorotan yang tajam dari pihak parlemen maupun pers. Hal inilah yang tentunya menjadi penyebab jatuhnya kabinet wilopo. Akibatnya Kabinet Wilopo memperoleh mosi tidak percaya dari Sidik Kertapati dari Serikat Tani Indonesia atau Sakti. Lalu Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan masalah peristiwa 17 oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang diprakarsai oleh sejumlah perwira angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Mereka menghendaki agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen.

Kabinet Ali Sastroamidjojo I

Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang disebut juga Ali-Wongsonegoro:

  • Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah
  • Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta melaksanakan pemilihan umum
  • Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
  • Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
  • Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB
  • Penyelesaian pertikaian politik

Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat, antara lain munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh, dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan, kabinet Ali-Wongsonegoro berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu, kabinet Ali-Wongsonegoro ikut terangkat namanya. Selain berhasil menyelenggarakan Konfereni Asia Afrika, pada masa ini juga terjadi persiapan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh pada bulan Juli 1955 dalam usia 2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-Wongsonegoro adalah perselisihan pendapat antara TNI-AD dan pemerintah tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf TNI-AD.

Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, diselenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 18-25 April 1955. Konferensi ini dihadiri 29 negara Asia dan Afrika yang kemudian membawa pengaruh penting bagi terbentuknya solidaritas dan perjuangan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia-Afrika. Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada 1955 juga merupakan rancangan kabinet ini, tetapi pelaksanaannya kemudian dilanjutkan oleh kabinet berikutnya.

Kabinet Burhanuddin Harahap

Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi serta Wakil Perdana Menteri yaitu R. Djanu Ismadi dari PIR-Hazairin dan Harsono Tjokroaminoto dari PSII. Presiden Soekarno sebenarnya kurang merestui kabinet ini karena yang menunjuk Burhanuddin Harahap sebagai kepala pemerintahan kabinet ini adalah Wakil Presiden Mohammad Hatta. Program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap yaitu

  • mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah;
  • melaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan pemberantasan korupsi; serta
  • memperjuangkan pengembalian Irian Barat.

Keberhasilan kabinet ini di antaranya mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk mengendalikan harga dengan menjaga agar tidak terjadi inflasi dan sebagainya. Dalam masalah ekonomi, kabinet ini telah berhasil cukup baik. Dapat dikatakan bahwa kehidupan rakyat semasa kabinet ini cukup makmur karena harga-harga barang kebutuhan pokok tidak melonjak naik akibat inflasi. Dalam periode kabinet ini, pemilihan umum pertama tahun 1955 dilaksanakan untuk memilih anggota-anggota DPR. Selain itu, kabinet ini juga mengembalikan wibawa pemerintah Republik Indonesia di mata pihak Angkatan Darat.

Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan karena dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari parlemen, tetapi karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada tanggal 2 Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, sekaligus menyerahkan mandatnya kepada Presiden untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum. Kabinet ini terus bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20 hari sampai terbentuknya kabinet baru yakni Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan Kabinet Burhanuddin Harahap dilakukan tanggal 26 Maret 1956.

Kabinet Ali Sastroamidjojo II

Kabinet Ali Sastroamidjojo II disebut pula Kabinet Ali–Roem–Idham karena dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari PNI beserta dua Wakil Perdana Menteri yakni Mohamad Roem dari Masyumi dan Idham Chalid dari NU. Program pokok kabinet ini adalah pembatalan Konferensi Meja Bundar, pemulihan keamanan dan ketertiban, dan melaksanakan keputusan Konferensi Asia–Afrika. Program kerjanya disebut rencana pembangunan lima tahun yang memuat program jangka panjang, yaitu

  • menyelesaikan pembatalan hasil Konferensi Meja Bundar;
  • menyelesaikan masalah Irian Barat;
  • membentuk Provinsi Irian Barat;
  • menjalankan politik luar negeri bebas aktif;
  • membentuk daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD;
  • mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai;
  • menyehatkan keseimbangan keuangan negara; dan
  • mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, yang hasilnya adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB. Kabinet ini pun berumur tidak lebih dari satu tahun dan akhirnya digantikan oleh Kabinet Djuanda karena mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi yang membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada Presiden.

Kabinet Djuanda

Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya dipimpin oleh Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja dari PNI, beserta tiga orang Wakil Perdana Menteri yaitu Hardi dari PNI, Idham Chalid dari NU, serta Johannes Leimena dari Parkindo. Kabinet ini memiliki 5 program yang disebut Pancakarya yaitu

  • membentuk Dewan Nasional,
  • menormalisasi keadaan Republik Indonesia,
  • melanjutkan pembatalan Konferensi Meja Bundar,
  • memperjuangkan Irian Barat, dan
  • mempercepat pembangunan.

Kebijakan ekonomi

Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait dengan masalah keamanan dan pertahanan negara. Masalah tersebut di antaranya adalah kemelut yang terjadi di tubuh Angkatan Darat seperti upaya-upaya memecah integrasi bangsa dan sejumlah permasalahan ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak lepas dari beberapa hal berikut.

  1. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang diumumkan pada 27 Desember 1949, bangsa Indonesia dinyatakan menanggung beban ekonomi dan keuangan yang cukup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar.
  2. Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh jatuh bangunnya kabinet berdampak pada ketidakberlanjutan program sehingga pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk mengatasi biaya operasional pertahanan dan keamanan negara.

Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya bergantung pada hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin meningkat dengan tajam. Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil merancang gerakan Benteng sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan Benteng didasari atas gagasan penting untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April 1950 dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan selama 3 tahun (1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama 3 tahun, lebih dari 700-an bidang usaha bumiputera memperoleh bantuan kredit dari program ini. Akan tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan program ini, salah satunya mentalitas para pengusaha bumiputera yang konsumtif, besarnya keinginan untuk memperoleh keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.

Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha bumiputera dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan tetapi, kebijakan ini ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para pengusaha asing. Oligopoli yang dibangun oleh para pengusaha dari perusahaan Inggris, Belanda, dan Tiongkok yang pandai memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai pasar.

Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap 2 merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputera agar dapat bersaing dengan para pengusaha non bumiputera. Jika pada awal tahun 1943 para importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor, maka mereka telah menerima 80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang menerima bantuan menjadi 4000-5000 perusahaan.

Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang menjual lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non bumiputera. Hal ini menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputera sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera. Bantuan kredit dan pemberian kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah telah menambah beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu, Program Benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan politik program ini dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.

Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang mengutamakan pembangunan perekonomian negara dianggap telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua oleh partai oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa masalah kedaulatan Papua (yang melalui perundingan tidak mengalami kemajuan) tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat Natsir bersikeras agar Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai lambang saja. Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh Sukiman pada April 1951.

Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di dalamnya terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan AS sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Selain itu, penyebab lainnya adalah semakin meluasnya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.

Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Selain itu, ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU menarik semua menterinya yang duduk di kabinet.

Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik yang mengakibatkan program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini yang kemudian membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Dekret Presiden 5 Juli 1959

Kata dekrit berasal dari bahasa Latin decemere yang berarti mengakhiri atau memutuskan. Kata dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya perintah dari kepala negara atau kepala pemerintahan untuk mengakhiri atau memutuskan sesuatu yang terkait dengan sistem pemerintahan yang berjalan. Dekrit yang dikeluarkan Presiden Soekarno berisi:

  1. Pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955;
  2. Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950;
  3. Pembentukan MPRS yang terdiri dari para anggota DPR ditambah dengan para utusan daerah dan golongan.

Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah sebagai berikut.

  1. Kegagalan Konstituante untuk membuat UUD baru meskipun sudah berkali-kali bersidang. Padahal, UUD sangat dibutuhkan sebagai pedoman hukum yang penting dalam melaksanakan pemerintahan.
  2. Situasi politik dan ketidakstabilan keamanan dalam negara semakin memburuk.
  3. Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat mengganggu stabilitas nasional.
  4. Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap membenarkan segala cara agar tujuan kelompok/partai tercapai.
  5. Sejumlah pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia semakin mengarah kepada gerakan separatis.

Sisi positif dari adanya dekrit ini:

  1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah untuk kembali ke UUD 1945;
  2. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;
  3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.

Referensi

  1. ^ Witton 2003.
  2. ^ Ricklefs (1991), page 237
  3. ^ Witton, Patrick (2003). Indonesia. Melbourne: Lonely Planet. hlm. 26–28. ISBN 1-74059-154-2. 
  4. ^ Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990sPerlu mendaftar (gratis). Westview Press. ISBN 1-86373-635-2. 
Kembali kehalaman sebelumnya