Televisi di Indonesia
Masing-masing stasiun televisi memiliki berbagai program untuk ditayangkan, mulai dari pertunjukan tradisional, seperti pertunjukan wayang, hingga program seperti Indonesian Idol yang mengikuti model serupa di negara Barat. Salah satu acara televisi yang umum ditayangkan di setiap stasiun televisi Indonesia adalah sinetron (singkatan dari sinema elektronik).[2] Sinetron biasanya merupakan sebuah drama seri, mengikuti format opera sabun, namun dapat pula merujuk pada serial fiksi. Serial tesebut terkadang bisa bergenre komedi, seperti Bajaj Bajuri yang populer di masyarakat,[3] menampilkan kehidupan seorang pengemudi bajaj[4] atau Si Doel Anak Sekolahan, serial yang menampilkan kehidupan orang Betawi.[5] SejarahAwal mula (1952–1966)Gagasan awal untuk mendirikan stasiun televisi di Indonesia diajukan oleh R. Maladi pada tahun 1952. Menurutnya, keberadaan stasiun televisi akan berguna untuk sosialisasi pemilihan umum 1955 mendatang, tetapi gagasan itu gagal karena dinilai terlalu mahal oleh kabinet pada masa itu.[6] Meskipun tidak terwujud, namun pada setahun setelahnya (1953), Departemen Penerangan sudah mulai menjajaki penyediaan siaran televisi, yang pada saat itu ditawarkan oleh berbagai negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Jerman Barat.[7] Pertama kali masyarakat Indonesia menyaksikan demonstrasi siaran televisi adalah pada tahun 1955 di Kota Yogyakarta. Pesawat televisi yang ditampilkan dalam acara "Pekan Raja 200 Tahun Kota Djogjakarta" tersebut, berasal dari Uni Soviet.[8] Selain itu, di akhir tahun yang sama, contoh pesawat TV dari Amerika Serikat juga ditampilkan di sebuah pameran di Jakarta, yang tercatat menarik perhatian banyak pihak.[9] Pada tanggal 25 Juli 1961, Maladi yang kala itu telah menjadi Menteri Penerangan RI mengeluarkan SK Menpen No. 20/SK/M/1961, yang membentuk Panitia Persiapan Televisi (P2TV) beranggotakan 9 orang[10] demi mempersiapkan pembentukan stasiun televisi di Indonesia. Panitia ini didirikan sebagai bagian dari persiapan untuk Asian Games keempat. Hanya ada satu tahun untuk membuat studio, menara siaran, dan peralatan teknis lainnya di lokasi bekas Akademi Penerangan (AKPEN) di Senayan. Dalam waktu persiapan yang singkat, Soekarno memiliki peran yang sangat penting, dengan memilih peralatan siaran dan asal dari peralatan-peralatan tersebut (dari NEC, Jepang).[10] Ujicoba siaran televisi pertama ini adalah liputan langsung perayaan HUT ke-17 Kemerdekaan Indonesia pada pagi hari 17 Agustus 1962 dari Istana Merdeka Jakarta.[11] Pukul 16.00-19.00 WIB,[12] 24 Agustus 1962, warga Jakarta menyaksikan siaran langsung upacara pembukaan Pesta Olahraga Asia 1962 (juga dikenal sebagai Asian Games 1962) dari Gelora Bung Karno. Siaran ini diselenggarakan oleh "Seksi Biro Radio dan Televisi Organizing Committee Asian Games IV", di kanal 9 VHF.[13] Tanggal tersebut saat ini dikenal sebagai hari kelahiran Televisi Republik Indonesia atau TVRI sebagai jaringan televisi pertama di Indonesia, sekaligus saluran utama TVRI sebagai stasiun televisi pertama di negara ini. Siaran televisi ini awalnya hanya dinikmati oleh 80.000 (2%) penduduk saja, dengan cakupan terbatas di Jakarta dan pada saat itu hanya terdapat 10.000-15.000 pesawat TV di Indonesia.[14] Kebanyakan pesawat TV tersebut merupakan pesanan pemerintah (ke salah satu pengusaha nasional, Thayeb Gobel)[9] dengan tujuan dibagikan ke pegawai negeri atau ditempatkan di fasilitas publik untuk disaksikan masyarakat.[14] Tidak lama kemudian, jumlah pesawat TV yang ada di Indonesia bertambah menjadi 37.000 unit, meskipun penyebarannya masih terbatas di 3-4 kota besar di Indonesia.[9] Adapun pesawat TV produksi dalam negeri pertama, yang hadir beberapa saat setelah TVRI lahir, muncul dengan merek "Ralin", yang diproduksi oleh PT Philips Ralin Electronics, sebuah perusahaan patungan antara Pemerintah RI dan perusahaan elektronika Belanda, Philips. Pesawat TV Ralin kemudian menjadi yang paling banyak dimiliki saat itu,[15] dan bersama PT National Gobel, mendominasi produksi pesawat TV lokal di Indonesia.[16] Pada tanggal 20 Oktober 1963, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 215/1963 tentang pembentukan Yayasan TVRI (ejaan Republik: Jajasan TVRI) sebagai badan yang mengatur televisi ini. Pada akhir tahun itu juga, Yayasan TVRI mulai menarik pajak untuk pemilik televisi sampai tahun 1973 (ketika kewenangan pajak kepemilikan televisi mulai dibantu oleh PN Pos dan Giro);[17] dan juga mulai menerima iklan, tepatnya sejak 1 Maret 1963 dengan nama Siaran Niaga.[18] Seiring waktu, dari tahun 1965 sampai 1976, TVRI mendirikan stasiun-stasiun daerah di Yogyakarta (1965), Medan (1970), Ujung Pandang (1972), Balikpapan (1973), dan Palembang (1974). Pada tahun 2001, TVRI sudah memiliki 12 stasiun televisi dan 8 studio produksi. Secara dasar, banyak analis menilai bahwa kehadiran TVRI pada saat itu tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politis. TVRI didirikan sebagai alat bagi propaganda pemerintah, alat pemersatu bangsa, dan pembangunan citra Indonesia sebagai negara maju dan modern pada era Demokrasi Terpimpin. Pemerintah pun saat itu tidak memiliki niat untuk membiarkan peran swasta dalam mengelola TVRI atau membentuk stasiun televisi mereka sendiri, karena bisa dianggap dimanfaatkan oleh "pengacau" maupun anti-pemerintah - seperti yang diungkapkan Maladi beberapa saat setelah TVRI bersiaran, belum lagi ketidakpercayaan Soekarno pada ekonomi dan politik berbasis liberalisme. Cara pandang yang otoriter ini, tetap akan dipertahankan walaupun rezim berganti dari Soekarno ke Orde Baru.[6][7] Orde Baru (1966–1998)Dominasi TVRIPada tanggal 16 Agustus 1976, Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) melalui Palapa A1 diresmikan.[19] Satelit komunikasi ini adalah satelit pertama yang dimiliki oleh Indonesia dan salah satu satelit pertama yang dioperasikan oleh negara berkembang.[20] Palapa A1 memiliki 12 transponder yang memungkinkan TVRI untuk mendistribusikan siaran secara nasional. Kehadiran Satelit Palapa berdampak positif pada TVRI, terbukti dengan meluasnya siaran televisi ke berbagai daerah, termasuk ke desa-desa dari sebelumnya dominan di pulau Jawa saja. Perluasan ini juga dibantu dengan penyebaran pesawat TV di kantor-kantor pemerintah hingga ke desa (yang dikenal dengan proyek Televisi Masuk Desa) untuk ditonton publik secara massal. Diperkirakan, dari awalnya hanya sekitar 3.000 unit pesawat TV publik yang ada di tahun 1976/1977, angkanya naik berkali-kali lipat menjadi 54.318 unit pada periode 1987/1988.[14] Penonton siaran TVRI pun naik tajam, dari hanya 5% penduduk Indonesia pada 1981 menjadi 64,4% pada 1991,[21] dan di tahun 1984, jumlah pesawat televisi yang ada di Indonesia sudah mencapai 5,4 juta unit; angka yang akan terus bertambah seiring pertumbuhan ekonomi nasional yang memacu daya beli masyarakat.[14] Penambahan pesawat TV pun terjadi di berbagai pulau yang mencapai ratusan persen (133-257%), dari sebelumnya hanya banyak tersedia di Pulau Jawa. Selain jumlah pesawat TV yang makin banyak, jumlah stasiun transmisi juga bertambah, yang berarti memperluas cakupan penerimaan TVRI.[6] Perluasan penerimaan siaran televisi ke masyarakat di era ini sesungguhnya juga diwarnai aspek politis, yaitu untuk mendukung ketahanan nasional dengan mencegah masuknya siaran TV asing ke Indonesia dan mengurangi kesenjangan sumber informasi kepada publik.[9] Selain perluasan siaran dengan satelit, perkembangan lainnya yang muncul adalah kehadiran siaran televisi berwarna di Indonesia, yang mulai diterapkan sejak 1977[10] dan pada akhirnya diberlakukan secara penuh pada seluruh siaran TVRI sejak 1 September 1979.[8] Pada tanggal 5 Januari 1981, Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi untuk menghapus iklan dari TVRI;[22] hal yang berdampak pada penayangan acara khusus iklan Mana Suka Siaran Niaga. Alasannya adalah keyakinan bahwa iklan tersebut dapat menciptakan "dampak negatif" bagi perkembangan Indonesia selama masa itu, terutama dalam program pembangunan pemerintah yang anti-konsumtivisme dan tidak menyukai kesenjangan sosial,[6] khususnya bagi penduduk pedesaan.[10] Instruksi ini telah menciptakan pro dan kontra, terutama karena tidak ada penelitian di balik pernyataan ini; meskipun demikian, pemerintah kemudian tetap memberlakukannya lewat SK Menpen No. 30/Kep/Menpen/1981 pada 1 April 1981.[8] Program TVRI sejak saat itu mengalami penurunan, dengan lebih mengutamakan acara-acara lokal, namun umumnya berisi program pemerintah dan berita-berita seremonial; sementara pembiayaannya berasal dari anggaran pemerintah dan iuran. Sempat ada beberapa usulan yang diungkapkan berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas TVRI, seperti usulan boleh kembali menerima iklan, atau menciptakan saluran kedua maupun ketiga.[6] Khusus usulan kedua ini, akan diwujudkan dengan pendirian TVRI Programa II di Jakarta dan Surabaya yang lebih menyesuaikan selera kota pada akhir 1980-an. Sebagai satu-satunya stasiun TV di Indonesia selama bertahun-tahun, selain liputan acara-acara negara, sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan hari libur nasional, berita, siaran pendidikan dan program regional dalam banyak bahasa daerah, TVRI juga menyiarkan hiburan, program berorientasi anak dan olahraga yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menonton. Memasuki tahun 1987, TVRI diperkirakan sudah memiliki luas jangkauan 900.000 km persegi (atau 120 juta penduduk/ke 6,393 juta unit pesawat TV yang terdaftar), dengan bantuan 240 stasiun pemancar, 10 stasiun penyiaran, dan 10 stasiun produksi keliling.[23] Meskipun demikian, ide untuk menciptakan siaran televisi swasta tetap tidak pernah padam dari diskursus masyarakat (dan juga pemerintah yang tercatat sudah melakukan studi kasus)[23] pada era 1980-an. Salah satu pertimbangannya adalah melihat kesuksesan perkembangan televisi swasta di negara-negara ASEAN, seperti TV3 di Malaysia yang beroperasi sejak 1984, ditambah beberapa usulan pendirian televisi swasta oleh sejumlah pengusaha.[24] Selain itu, ide penghapusan monopoli TVRI juga dilatarbelakangi oleh liberalisasi ekonomi yang makin besar di Indonesia pada era 1980-an dan kebutuhan kelas menengah yang semakin membutuhkan sumber hiburan yang berbeda dan lebih segar. Kebutuhan ini mulai diperhatikan pemerintah setelah munculnya fenomena seperti maraknya penyewaan kaset-kaset film impor; munculnya penerimaan televisi satelit asing sebelum dan sesudah kehadiran open-sky policy (kebijakan langit terbuka) pada 20 Agustus 1986 di kota-kota; maraknya penerimaan siaran luberan televisi Malaysia dan Singapura di daerah perbatasan;[25] maupun mulai munculnya siaran televisi kabel gelap di beberapa apartemen di Jakarta.[26][27][28] Munculnya televisi swastaAwalnya, menghadapi dorongan bagi kelahiran televisi swasta, pada Agustus 1986 Dirjen RTF (Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film) Subrata menolak usulan televisi swasta dan menyatakan hanya TVRI yang berhak menentukan bagaimana siaran televisi dapat dilakukan.[24] Namun, beberapa waktu kemudian, akhirnya pemerintah mulai membuka pintu bagi kelahiran TV swasta yang saat itu dimaksudkan agar "melindungi masyarakat dari siaran asing".[6] Melalui SK Menpen No. 190A/Kep/Menpen/1987 (20 Oktober 1987), stasiun televisi swasta awalnya dikonsepkan bersistem SST (Siaran Saluran Terbatas) di mana siarannya bersifat terestrial, namun untuk menerimanya harus secara berlangganan dengan dekoder. Siarannya juga pada saat itu terbatas di satu kota saja, dengan izin yang diberikan selama 20 tahun dari TVRI. Selain itu, TVRI juga akan terlibat dalam manajemen (seperti pemograman) stasiun televisi swasta. Konsep awal kehadiran televisi swasta tersebut bertitik-tolak pada posisi TVRI yang masih dianggap pemerintah sebagai satu-satunya lembaga yang boleh menyiarkan televisi menurut Keppres No. 215/1963. Jadi, TVRI-lah yang menentukan (atau menunjuk) siapa yang berhak dan bagaimana pelaksanaan siaran televisi swasta dalam sebuah perjanjian bagi hasil. Penunjukan pihak ketiga (swasta) sebagai "pelaksana SST" dilakukan karena biaya yang terbilang mahal demi menyelenggarakan TV swasta SST jika dilakukan TVRI sendiri. Selain itu, adanya sistem SST dilandasi oleh semangat yang sama dengan kebijakan pelarangan iklan di TVRI pada awal 1980-an, yaitu mencegah efek kesenjangan sosial lewat iklan-iklan maupun kebudayaan asing lewat program-program impor. Hal ini membuat televisi swasta awalnya hanya ditujukan bagi pemirsa kelas menengah ke atas.[6][24] Stasiun televisi swasta pertama bersistem SST yang didirikan adalah Rajawali Citra Televisi Indonesia atau RCTI, yang diresmikan pada 24 Agustus 1989, dengan cakupan siaran di Jakarta.[29] RCTI merupakan siaran televisi swasta pertama di Indonesia, dimiliki oleh Grup Bimantara Citra milik Bambang Trihatmodjo berpatungan dengan Rajawali Wira Bhakti Utama milik Peter Sondakh. Acara-acara RCTI awalnya merupakan acara impor Barat dan karena statusnya swasta, maka pendapatan RCTI juga diperoleh dari iklan yang mencapai 15% jam siarannya. Kemudian, pada 24 Agustus 1990, stasiun televisi kedua, Surabaya Central Televisi (SCTV), diresmikan dengan cakupan siaran Surabaya dan sekitarnya. Stasiun televisi ini dimiliki oleh "raja sinepleks" Sudwikatmono berpatungan dengan Henry Pribadi. Awalnya, dua stasiun televisi ini dimaksudkan bersistem SST. Namun, seiring upaya pemerataan kesempatan penerimaan siaran televisi, pada 24 Juli 1990, Deppen mengeluarkan SK Menpen No. 111/Kep/Menpen/1990 yang menghapuskan kewajiban penggunaan dekoder bagi siaran televisi swasta (menjadi Siaran Saluran Umum/SSU berbasis free-to-air), walaupun masih harus bersiaran lokal. Ditambah dengan keluarnya izin dari Dirjen RTF (Radio, Televisi dan Film),[30] akhirnya pada sebulan kemudian, satu-satunya stasiun TV yang memakai dekoder, RCTI kini bisa bersiaran dengan lebih leluasa, dan SCTV pun pada awal siarannya tidak memerlukan dekoder sama sekali.[6] SK Menpen No. 111/1990 secara dasar membagi stasiun televisi swasta menjadi SPTSU (Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Umum, pengganti SST) dan SPTSP (Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Pendidikan).[31] SPTSU hanya diizinkan untuk didirikan di masing-masing ibukota provinsi sebanyak 1 buah/provinsi, sedangkan SPTSP hanya diizinkan satu buah dan berpusat di ibukota negara.[6] Yang kemudian menjadi penyelenggara SPTSP adalah PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), yang diresmikan pada tanggal 23 Januari 1991 sebagai stasiun televisi swasta ketiga. Sifat SPTSP TPI diwujudkan dengan siarannya yang didominasi acara pendidikan dari Depdikbud dan mampu bersiaran nasional dengan berbagi saluran/fasilitas bersama TVRI ketika TVRI tidak bersiaran di pagi hari. TPI dikelola oleh Siti Hardijanti Rukmana, yang merupakan anak Presiden Soeharto dan seorang pengusaha. Berbeda dengan RCTI dan SCTV yang perizinannya secara formal melalui "penunjukan" TVRI, TPI (dan televisi swasta lain yang bersiaran setelahnya) izinnya diberikan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Penerangan.[32] Selain itu, seluruh televisi swasta kini boleh mengalokasikan 20% jam siarnya untuk iklan.[33] Pada tanggal 13 September 1990, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 40/1990 yang memberi peluang pada perusahaan swasta bagi mengumpulkan iuran televisi TVRI. Sebagai pelaksana dari Keppres ini adalah PT Mekatama Raya, perusahaan swasta milik Sudwikatmono dan Sigit Harjojudanto, yang memulai operasionalnya sejak tahun 1991.[34] Alasan perubahan ini adalah untuk meningkatkan pendapatan karena sistem yang saat itu mengandalkan pos dan giro dirasa belum memenuhi target (hanya sekitar 70% dari target).[24] Namun, pada 14 April 1992, Direktorat Jenderal Radio, Televisi dan Film memutuskan bahwa Yayasan TVRI akan menarik kembali iuran televisi, setelah satu tahun, PT Mekatama Raya gagal untuk memenuhi kewajibannya. Iuran televisi kemudian akan tetap ditarik oleh TVRI hingga awal 2000-an. Seiring waktu, pemerintah juga membuka peluang bagi berbagai stasiun TV swasta lain untuk bersiaran. Dalam hal ini, pemerintah kemudian membolehkan RCTI dan SCTV untuk membentuk stasiun jaringannya yang terpisah dari pusat (namun dengan program yang sama) yaitu RCTI Bandung dan SCTV Denpasar yang masing-masing beroperasi pada 1 Mei 1991[35] dan 14 September 1991.[36] Pemerintah (lewat SK Dirjen RTF No 1286/RTF/K/VI/1991 pada Juni 1991) kemudian juga mengizinkan kedua stasiun televisi diatas yang saat itu hanya diizinkan bersiaran lokal, menjadi dapat memancarkan siarannya lewat satelit dan bisa diterima di seluruh Indonesia, walaupun penerimanya terbatas. Alasannya, siaran lewat satelit tersebut diperlukan untuk menyiarkan acara dari induk ke jaringannya (misalnya RCTI Jakarta ke RCTI Bandung).[6][37] Selain izin bagi afiliasi 2 stasiun TV tersebut, pemerintah juga memberikan izin pada 1991-1992 kepada enam perusahaan untuk mendirikan perusahaan televisi swasta, meliputi 1 siaran televisi nasional khusus (istilah resminya Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Khusus/SPTSK; ada dalam SK Menpen No. 84A/Kep/Menpen/1992)[38] dan 5 stasiun televisi lokal (SPTSU) di berbagai daerah. Stasiun televisi swasta ini, meliputi:
Selain 6 stasiun televisi di atas, beberapa pihak lain yang terdengar ingin mendirikan stasiun televisi swasta, meliputi:
Dari kelima SPTSU yang diizinkan mendirikan stasiun televisi swasta, hanya ANteve yang sempat mulai bersiaran sebagai stasiun televisi lokal (sejak 1 Januari 1993).[46][47] Ini dikarenakan, pada Juli 1993, pemerintah memutuskan untuk hanya memberi izin 5 stasiun TV swasta untuk bersiaran nasional, yaitu RCTI, SCTV, TPI, ANteve dan Indosiar saja dan menutup izin untuk stasiun TV baru dengan alasan modal yang besar dan menjaga persaingan. Pemberian izin siaran nasional, yang disahkan melalui SK Menpen No. 04A/Kep/Menpen/1993 pada 18 Januari 1993[38] kepada stasiun televisi swasta tersebut, dijustifikasi dengan alasan demi menjaga penduduk Indonesia dari siaran televisi asing, walaupun proses pemberian izinnya tidak melalui tahapan yang transparan sama sekali seperti tender.[6][28] Bisa dikatakan, pemberian izin tersebut "mengubah total" wajah pertelevisian Indonesia. Hal ini karena aturan tersebut mengubah rancangan awalnya dimana stasiun televisi dikonsepkan bersiaran secara berjaringan dan lebih melokal, menjadi bersiaran secara tersentralisasi dari Jakarta, yang masih berlangsung hingga saat ini. Maka, dari beberapa stasiun televisi yang berbasis di luar Jakarta, yaitu ANteve dan SCTV kemudian harus memindahkan seluruh perangkat dan infrastrukturnya masing-masing dari Lampung dan Surabaya ke Jakarta. Stasiun afiliasi masing-masing TV, seperti RCTI Bandung dan SCTV Denpasar juga kemudian dileburkan dengan induknya seiring prasyarat dari pemerintah untuk bersiaran nasional.[48] Aturan ini juga membuat status stasiun televisi swasta hanya satu: SPTSU, sehingga TPI dan Indosiar (yang masing-masing berstatus SPTSP dan SPTSK) bisa keluar dari tujuan utamanya ketika didirikan (hal ini dapat dilihat dari penayangan acara dangdut di TPI sejak 1994). Pemberian izin siaran nasional ini juga membuat 4 stasiun televisi lokal yang tersisa, mungkin karena tidak melihat adanya peluang, akhirnya memutuskan untuk meleburkan diri walaupun pemerintah sudah memberi "lampu hijau" bagi mereka untuk beroperasi.[49] MCTI dan Ramako Indotelevisi menggabungkan diri dengan Indosiar, sedangkan SMTV dan CBS TV menggabungkan diri dengan ANteve sebelum sempat beroperasi. Praktis, dari 6 perusahaan televisi baru yang izinnya dikeluarkan pada 1991-1992, hanya PT Indosiar Visual Mandiri dan PT Cakrawala Andalas Televisi yang bisa memulai siarannya. ANteve (berbasis di sebuah gedung di Kuningan, Jakarta Selatan) mulai bersiaran sejak 28 Februari 1993, sedangkan Indosiar (berbasis di Daan Mogot, Jakarta Barat) mulai beroperasi sejak 11 Januari 1995.[6][50][51][52] Meskipun stasiun-stasiun televisi swasta sudah berdiri, bukan berarti mereka merupakan suatu lembaga yang independen dan bebas. Pemerintah Orde Baru saat itu cenderung berusaha menempatkan TVRI tetap menjadi pemegang utama dalam pertelevisian nasional, dengan alasan Keppres No. 215/1963 hanya mengizinkan TVRI sebagai penyedia tunggal siaran televisi di Indonesia. Televisi swasta pada saat itu dikonsepkan sebagai "pelaksana yang ditunjuk" atau "pelengkap" TVRI pada saat itu.[28][53][54] Hal ini dapat dilihat dari dua hal: pertama, adanya larangan bagi televisi swasta memproduksi acara beritanya sendiri, digantikan dengan wajib relai beberapa program berita TVRI;[55] dan kedua, adanya kewajiban stasiun televisi swasta membayar 12,5% (awalnya 15% sebelum 1990, dan 25% saat RCTI pertama kali hadir)[24] pendapatannya ke TVRI sebagai ganti TVRI tidak beriklan. Ini masih belum ditambah kecondongan stasiun-stasiun televisi swasta dalam mendukung Golkar pada era pemilu (1992 dan 1997). Di satu sisi, justru pemerintah tampak juga sering kali berusaha melindungi pemain-pemain dalam pertelevisian swasta, karena didominasi oleh orang yang dekat dengan pemerintah, seperti membatasi jumlah pemainnya ataupun melarang TVRI tetap beriklan.[6] Hal ini justru akhirnya menjadi bumerang, karena misalnya "penyimpangan" dengan mulai ditolerirnya program berita di beberapa televisi swasta (contohnya Liputan 6 SCTV) pada akhirnya memainkan peran besar menjelang kejatuhan Soeharto. Setelah melalui diskusi yang panjang, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran resmi berlaku; undang-undang ini merupakan undang-undang pertama yang membahas tentang penyiaran. Dalam undang-undang ini, seluruh lembaga penyiaran (termasuk televisi) terbagi dalam tiga jenis: "Lembaga Penyiaran Pemerintah" (dalam hal ini TVRI), "Lembaga Penyiaran Swasta" (dalam hal ini stasiun televisi swasta), dan "Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus" (seperti penyedia layanan televisi berlangganan, layanan informasi audioteks/videoteks, layanan video-on-demand dan lainnya); dimana Lembaga Penyiaran Swasta dan Pemerintah keduanya berpusat di ibukota negara. Undang-undang ini juga mengamanatkan berdirinya "Televisi Siaran Internasional Indonesia" sebagai bagian dari Lembaga Penyiaran Pemerintah, namun hingga undang-undang ini digantikan pada akhir 2002 televisi ini tidak bersiaran.[56] Sesungguhnya, dalam pembahasan RUU ini yang dilakukan sejak 1994, terdapat usulan-usulan yang cukup reformis (dan kemudian akan dimasukkan dalam UU Penyiaran No. 32/2002) seperti pembatasan siaran (hanya diizinkan bersiaran nasional sebesar 50% dari wilayah Indonesia dan sisanya harus siaran berjaringan); adanya hak beriklan bagi TVRI; dibentuknya Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N), suatu lembaga yang memiliki kewenangan atas penyiaran di Indonesia seperti dalam izin siaran dan diisi oleh tokoh masyarakat; dan pembatasan izin siaran selama 5 tahun. Namun, kemudian karena tekanan kuat dari Presiden Soeharto dan industri pertelevisian, maka ide-ide tersebut disingkirkan atau dimodifikasi menjadi lebih akomodatif pada pemerintah dalam UU final. Pasca Orde Baru runtuh, akibat citranya yang terlalu otoriter, maka UU ini akhirnya mulai diusahakan untuk diubah.[6][57] Pada 16 Januari 1994, penyedia televisi satelit Indovision (kini MNC Vision), yang dioperasikan oleh PT Matahari Lintas Cakrawala (milik PT Datakom Asia milik Peter F. Gontha, Bambang Trihatmodjo, Anthony Salim dkk[a]), mulai beroperasi sebagai televisi berlangganan satelit pertama di Indonesia dengan menawarkan 5 kanal internasional (RCTI sebenarnya dapat dianggap sebagai TV berlangganan pertama, namun ia tidak sama seperti televisi berlangganan pada umumnya karena misalnya hanya memiliki satu saluran).[60][61] Hingga tahun 1998, Indovision hanya menjadi pemain tunggal di bidang penyiaran berbayar. Awalnya, sempat direncanakan muncul beberapa pemain lain di siaran televisi berlangganan, yaitu:
Dari calon-calon penyedia televisi berlangganan tersebut, hanya PT Aditirta dan PT Indonusa yang bisa memulai operasionalnya, itu pun harus diundur dari rencana awalnya menjadi pada 1998-1999. PT Indonusa meluncurkan televisi satelit berlangganan kedua di Indonesia dengan merek Telkomvision, sedangkan PT Aditirta kemudian diakuisisi oleh PT Tanjung Bangun Semesta yang kemudian meluncurkan operasionalnya dengan nama Kabelvision, menggunakan sistem kabel yang pertama di Indonesia. Mengingat harga berlangganan yang pada saat itu masih tinggi, umumnya televisi berbayar pada saat itu menargetkan pengguna kelas atas, seperti perumahan mewah dan hotel-hotel.[66][69] Pasca-Reformasi (1999–sekarang)Jatuhnya Orde Baru membuka semangat bagi proses demokratisasi penyiaran di Indonesia. Beberapa perubahan itu, antara lain menghilangnya peran pemerintah (termasuk TVRI) dalam televisi swasta: mereka boleh memproduksi acara beritanya sendiri, penghentian wajib relai berita TVRI (2000, meski buku Generasi 90an mengklaim wajib relai berita TVRI dihentikan mulai tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum kejatuhan Soeharto), dan penghapusan kewajiban pembayaran 12,5% pendapatan televisi swasta ke TVRI (19 Oktober 2001);[70] ditambah perubahan lainnya seperti kelahiran stasiun televisi baru. Melalui sebuah pernyataan pada Juni 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menyatakan bahwa pemerintah akan segera merevisi larangan stasiun televisi lebih dari 5 dan membuka seleksi penyelenggara televisi baru, melalui SK Menpen No. 384/SK/Menpen/1998. Seleksi pun dibuka pada awal 1999, dengan awalnya ada 10 pemohon izin siaran (kemudian bertambah menjadi 14 pemohon) dan seleksi dilakukan bersama oleh tim gabungan Dirjen Postel, Deppen, LEN Industri, dan konsultan.[6] Pada akhirnya, di tanggal 12 Oktober 1999, melalui SK Menpen No. 286/SK/Menpen/1999,[71] lima perusahaan penyiaran televisi baru berhasil memenangkan tender pendirian televisi dan menerima izin siaran nasional pada 25 Oktober 1999. Perusahaan-perusahaan ini, yaitu:
Pemerintah beralasan, 5 perusahaan diatas dipilih karena memiliki identitas yang jelas, seperti kepemilikan dan kantor pusatnya.[72] Sementara itu, pendaftar seleksi yang ditolak oleh pemerintah, meliputi:
SK Menpen No. 286/1999 sesungguhnya sempat menjanjikan 9 perusahaan tersebut (secara berurutan) bisa bersiaran secara nasional jika kanalnya tersedia, namun pada akhirnya tidak terealisasi, kemungkinan karena sulitnya penjatahan frekuensi televisi. Alotnya pembagian kanal ini dikarenakan pada saat itu hanya ada 7 kanal yang diberikan oleh pemerintah untuk siaran televisi UHF dan adanya batasan bahwa hanya 10 saluran televisi yang boleh bersiaran nasional.[72] Bahkan, kanal yang digunakan oleh salah satu stasiun televisi, Global TV di Jakarta adalah hasil negosiasi dengan TVRI, dan kanal yang digunakan TV7 (49 UHF) adalah eks-Indosiar.[74][75][76] Walaupun demikian, 5 peraih izin siaran nasional yang telah disebutkan di atas, pada akhirnya bisa memulai siarannya. Metro TV adalah yang pertama kali bersiaran pada 25 November 2000, sebagai perusahaan penyiaran televisi Indonesia ketujuh.[77][78] Seiring dengan kewajiban bahwa seluruh perusahaan yang mendapat izin pada 1999 harus segera beroperasi selambat-lambatnya pada 25 Oktober 2001, maka perlahan-lahan semuanya mulai bersiaran, hingga yang terakhir pada 2002.[75] Selain stasiun televisi swasta nasional, mulai bermunculan juga siaran televisi lokal di berbagai daerah Indonesia. Organisasi televisi lokal bernama Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) yang didirikan pada 2002, mencatat hingga Agustus 2003 sudah ada 50 stasiun televisi lokal yang beroperasi di seluruh Indonesia. Televisi lokal ini beragam jenisnya, seperti televisi komunitas (banyak yang didirikan lembaga pendidikan seperti TVUI, Hang Tuah TV dan Ganesha TV); televisi swasta lokal (seperti JTV, Jak TV, Riau TV, dan PKTV); maupun televisi lokal yang didirikan pemerintah daerah (kemudian menjadi Lembaga Penyiaran Publik Lokal dalam UU No. 32/2002). Tujuan berdirinya bermacam-macam, seperti mencari keuntungan semata maupun memberikan sarana informasi baru yang melokal ke masyarakat. Ada dari stasiun-stasiun televisi jenis ini yang mampu bertahan hingga saat ini, walaupun ada juga yang harus menghentikan operasionalnya karena kekurangan dana maupun tidak mendapat izin dari pemerintah. Beberapa dari mereka juga kemudian diakuisisi oleh jaringan televisi swasta besar Jakarta, atau bergabung bersama televisi lokal lain membentuk jaringan televisi nasional baru.[7] Hal ini misalnya dapat dilihat dari kehadiran iNews (dahulu SUN TV, Sindo TV dan jaringannya), RTV (dahulu B-Channel dan jaringannya), serta JPM (dahulu JPMC) dan jaringannya. Perubahan juga terjadi pada status TVRI. Pada tanggal 7 Juni 2000, menyusul perubahan pasca pembubaran Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, TVRI secara resmi mengubah statusnya menjadi Perusahaan Jawatan.[79] Status TVRI kemudian sempat berubah kembali menjadi perusahaan perseroan (Persero) pada 2002, hingga pada 2006 sampai sekarang menjadi sebuah Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Penggunaan bahasa Mandarin dilarang sejak tahun 1965 di televisi Indonesia. Meskipun pada 1994 kebijakan ini dicabut, namun baru pada November 2000, Metro TV menjadi stasiun televisi pertama yang menyiarkan berita dalam bahasa Mandarin di Indonesia.[80] Pada tanggal 28 Desember 2002, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan menggantikan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997. Undang-undang ini memberikan landasan bagi sistem penyiaran Indonesia yang lebih terdesentralisasi, dengan mengadopsi sistem berjaringan. Sistem televisi swasta yang sebelumnya hanya terdiri dari stasiun-stasiun di Jakarta yang bersiaran secara nasional dengan hanya mengandalkan stasiun transmisi di daerah-daerah kini diwajibkan untuk mendirikan stasiun-stasiun lokal di daerah-daerah yang hendak dijangkau, serta izin stasiun televisi baru hanya diberikan dalam skala lokal. Akan tetapi, siaran dari stasiun TV di pusat makin lama makin tersentralisir, terutama dengan stasiun TV yang didirikan setelah tahun 2002, dimana awalnya mereka mempunyai stasiun-stasiun TV lokal dengan penjenamaannya sendiri, hingga akhirnya TV lokal tersebut berganti namanya sesuai dengan afiliasi nasionalnya (misalnya Kompas TV Jawa Barat yang sebelumnya bernama STV Bandung dan NET. Batam yang sebelumnya bernama STV Batam). Beberapa stasiun televisi nasional, juga tampak berusaha "mengakali" kewajiban ini dengan mendirikan sejumlah anak usaha,[81] dengan siaran lokal yang umumnya disiarkan hanya berupa berita lokal, acara ulangan bernuansa daerah, dalam waktu yang bukan jam tayang utama (seperti dini hari hingga pagi hari).[82] Undang-undang ini juga mengubah struktur kelembagaan TVRI menjadi lembaga penyiaran publik yang "independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat" dan memungkinkan berdirinya stasiun televisi publik lokal yang independen dari TVRI. Selain itu, UU Penyiaran No. 32/2002 juga mensyaratkan pendirian Komisi Penyiaran Indonesia, sebuah lembaga independen yang berperan dalam perizinan pendirian televisi swasta (bersama pemerintah, awalnya mandiri sebelum 2004)[6] dan pengawasan konten siaran di industri penyiaran nasional. Saat ini, UU ini masih berlaku; revisinya yang ditujukan untuk menyesuaikannya dengan perubahan zaman, sejauh ini relatif masih belum menemui titik terang,[83] diduga karena beberapa isu seperti transisi ke televisi digital dan iklan rokok. PemrogramanDi awal kemunculannya, televisi digunakan untuk menyiarkan acara penting, seperti Pesta Olahraga Asia atau Upacara Kemerdekaan RI dan mengabarkan berita. Seiring dengan perubahan zaman, program televisi menjadi semakin bervariasi dengan adanya program televisi yang lebih bersifat menghibur ketimbang unsur pendidikan. Asal dan produksi program-program yang tayang di televisi nasional juga terus mengalami perubahan. Awalnya, hingga 1980-an TVRI cukup sering menayangkan acara impor dari berbagai jenis, sehingga sering kali menuai kritik. Baru pasca pelarangan iklan pada tahun 1981, acara TVRI menjadi didominasi siaran lokal, sampai saat ini.[84] Dinamika yang sama juga terjadi di televisi swasta (kecuali TPI): di televisi swasta pada awal kehadirannya justru dibanjiri program-program impor, baik serial impor, serial animasi, film-film, dan lainnya. Hal ini sempat memicu plesetan pada nama-nama stasiun televisi, seperti "Rajawali Citra Televisi Impor" untuk RCTI (1989-1990) dan "Indosiar Visual Mandarin" untuk Indosiar (1995), hal ini terjadi pada awal pendiriannya. Walaupun cukup menarik pemirsa, namun seiring imbauan pemerintah demi meningkatkan konten acara lokal dan iklan produksi dalam negeri, maka program-program lokal seperti sinetron, kuis, komedi, dan berita perlahan-lahan muncul, dimana pada 1996 sudah mendekati 50%. Acara impor pun mengalami dinamika, dari awalnya serial Barat yang populer, lalu memasuki pertengahan 1990-an, serial Mandarin, drama televisi Jepang dan telenovela Amerika Latin mulai menarik hati pemirsa.[85][86] Sebelum awal 2000-an, umumnya berbagai stasiun televisi memiliki acara "gado-gado" dengan menayangkan jenis program; akan tetapi, memasuki periode tersebut, mulai muncul jenis televisi tersegmentasi seperti televisi berita, anak-anak dan agama, walaupun jumlahnya tidak banyak. Di sisi lain, fenomena menarik yang muncul pada era yang sama adalah homogenisasi acara televisi: hampir seluruh stasiun televisi dapat menyiarkan program sejenis demi mencari rating. Dalam lingkup berita kriminal, misalnya muncul Patroli (Indosiar), Buser (SCTV), dan Sergap (RCTI); kemudian dalam acara misteri muncul Dunia Lain (Trans TV), Ekspedisi Alam Gaib (TV7), Pengejaran Arwah (Indosiar), Gentayangan dan Bantuan Gaib (TPI), serta Pemburu Hantu (Lativi). Ketika sinetron mistik-Islami mulai terangkat pada 2003, juga muncul hal serupa: Rahasia Ilahi (TPI), Pintu Hidayah dan Kusebut Nama-Mu (RCTI), Kuasa Ilahi dan Suratan Takdir (SCTV), Misteri Dua Dunia (Indosiar), Hidayah dan Taubat (Trans TV), Ridho (TV7), dan lainnya.[7][87] Hal sejenis sesungguhnya dapat ditemukan pada era 2010-an, misalnya dalam kasus maraknya program yang menampilkan video-video asal YouTube, seperti On the Spot, Spotlite dan Trending (Trans7), Indonesia Punya Cerita dan Dunia Punya Cerita (Trans TV), Wooow! dan Fenomena (antv), Spotakuler (tvOne), Kabarnya Viral (Garuda TV), Hot Spot (Global TV), Top 5 (RCTI), Vidio Ini Penting dan Viral Bangedd (O Channel/Moji);[88] dan juga maraknya pernikahan dan/atau pemakaman beberapa artis/figur publik beserta keluarganya di televisi, seperti pemakaman Nike Ardilla, pemakaman mantan istri Charles III, Putri Diana, pernikahan antara Eko Patrio dan Viona Rosalina, pernikahan antara putra sulung Presiden ke-7, Joko Widodo, Gibran Rakabuming dan mantan pembawa acara, Selvi Ananda, pernikahan antara putri tunggal Presiden ke-7, Joko Widodo, Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution, pemakaman putra sulung Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, Emmeril Khan Mumtadz, pemakaman mantan Ratu Britania Raya, Elizabeth II dan pernikahan antara putra bungsu Presiden ke-7, Joko Widodo, Kaesang Pangarep dan salah satu finalis Puteri Indonesia 2022 asal Sleman, DI Yogyakarta, Erina Sofia Gudono.[89][90][91] Berikut adalah beberapa jenis program siaran pada televisi di Indonesia.[92] Program berita dan pendidikanStasiun televisi pertama di Indonesia, TVRI memfokuskan diri untuk menyiarkan konten yang bersifat mendidik dan informatif. Di masa Orde Baru, televisi menjadi alat pemerintah untuk membangun opini publik dengan menyiarkan kegiatan politik dan sosial pemerintah yang berkuasa pada saat itu. TVRI memilki program berita unggulan bernama Dunia dalam Berita dan Berita Nasional yang ditayangkan pada jam prime time. Setelah itu, muncul TPI yang awalnya memiliki posisi sebagai televisi pendidikan yang mendukung siaran TVRI.[93] TPI pada tahun awalnya berbagi saluran dengan TVRI dan menayangkan beberapa program pendidikan. Setelah era Orde Baru berakhir, muncul beberapa jaringan televisi swasta yang memiliki fokus siaran di konten berita. MetroTV adalah jaringan televisi berita pertama di Indonesia yang mulai siaran di akhir tahun 2000. MetroTV menyiarkan lebih banyak konten berita, gelar wicara politik dan acara televisi lainnya ketimbang program hiburan. Hingga kini, muncul jaringan televisi berita lain di Indonesia, seperti BTV, tvOne, Kompas TV, CNN Indonesia, CNBC Indonesia, BN Channel dan lainnya. Selain itu, jaringan televisi lainnya juga memiliki program berita induk yang cukup populer seperti Fokus (Indosiar), Liputan 6 (SCTV), Seputar iNews (RCTI) dan lainnya. Meski memiliki program berita yang mendidik, tidak dipungkiri pula bahwa beberapa di antaranya saat ini juga diboncengi niatan politik tertentu sehingga pemberitaan yang dikeluarkan kadang berat sebelah dan tidak adil.[94][95] Program olahragaJika dirunut dari sejarahnya kelahiran televisi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari olahraga, yaitu menyiarkan pembukaan Asian Games 1962 di Jakarta. Hingga saat ini, berbagai jaringan/saluran/stasiun televisi masih sering menyiarkan pertandingan olahraga baik dalam negeri maupun luar negeri. Entah itu kompetisi besar seperti Olimpiade, Asian Games, SEA Games, dan Pekan Olahraga Nasional maupun olahraga individual semacam sepak bola, bulu tangkis, tinju, seni bela diri campuran, bola voli, bola basket dan balap sepeda motor. Contoh liga sepakbola yang sering ditayangkan di televisi meliputi kompetisi baik lokal (misalnya Liga 1 dan Liga 2) maupun asing (misalnya Liga Inggris, Liga Italia, dan lain-lain), maupun kejuaraan besar macam Piala Dunia dan Piala AFF. Sedangkan acara bulutangkis seperti Piala Sudirman dan Piala Thomas serta acara seni bela diri campuran seperti ONE Championship dan UFC juga sering muncul di layar kaca. Dari beragam jenis cabang olahraga itu, yang eksposurnya paling besar adalah sepakbola, dengan pertandingan-pertandingannya yang melibatkan tim nasional Indonesia, serta balap sepeda motor, dengan ajang MotoGP yang diadakan di Sirkuit Internasional Mandalika sering memperoleh rating tinggi di televisi.[96][97] Pada awalnya, program-program olahraga banyak ditayangkan secara bebas, namun saat ini banyak juga televisi berlangganan yang mencari ceruk pasar dari peminat acara semacam ini. Program hiburanTelevisi pada saat ini sebenarnya lebih banyak digunakan sebagai sarana hiburan oleh kebanyakan masyarakat. Televisi dianggap sebagai sarana hiburan yang paling mudah dan murah sehingga masih banyak penduduk Indonesia bergantung pada program hiburan yang ada di televisi. Perkembangan program hiburan di Indonesia pun sangat beragam dengan persaingan antar stasiun televisi yang juga semakin ketat. Berikut beberapa contoh program hiburan di televisi Indonesia.[98]
Jenis siaranUndang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 membagi siaran televisi di Indonesia, terlepas dari medium transmisinya, sebagai berikut:
Walau demikian, terdapat beberapa saluran televisi yang dijalankan oleh pemerintah – oleh karena itu tidak dapat dimasukkan dalam empat kategori di atas, walau disiarkan melalui satelit. Contohnya adalah TV Edukasi, yang dimiliki oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan GPR TV, yang dimiliki oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Siaran LPP, LPS dan LPK berasal dari dalam negeri, sedangkan LPB dapat memancarkan siaran yang berasal dari luar negeri. TerestrialTelevisi terestrial dimulai dengan TVRI sebagai jaringan televisi pertama di Indonesia. Televisi terestrial analog di Indonesia saat ini disiarkan menggunakan sistem PAL-B/G dengan suara NICAM stereo (namun ada beberapa stasiun televisi lokal yang menggunakan A2 Stereo). Sejak triwulan pertama 2011 aturan memungkinkan penayangan televisi digital bersamaan dengan dengan televisi analog di beberapa daerah. Indonesia mengadopsi format DVB-T tetapi kemudian memutuskan untuk mengubah ke DVB-T2 pada tanggal 1 Januari 2012. Pada Oktober 2020, dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, maka pemerintah memulai menghentikan semua siaran analog pada tanggal 2 November 2022,[101] yang selesai dilakukan per Agustus 2023.[102] Saat ini, televisi terestrial dapat dibagi menjadi televisi terestrial nasional dan televisi terestrial daerah. Jaringan televisi terestrial nasional di Indonesia di antaranya adalah TVRI, RCTI, SCTV, antv, MetroTV, dan Trans TV.[103] Televisi terestrial daerah di antaranya adalah Jak TV (Jakarta), JTV (Surabaya) dan Bali TV (Denpasar). Selain itu, televisi terestrial dalam penerimaannya juga dapat dibagi menjadi siaran gratis (free-to-air) dan siaran berlangganan. Medium siaran gratis sampai sekarang masih menjadi hal yang dominan, walaupun siaran terestrial berlangganan sebenarnya sudah pernah juga diaplikasikan di Indonesia, meskipun kurang sukses. Contoh siaran terestrial berlangganan, adalah RCTI pada saat siaran pertamanya (1988-1990), dan yang pernah beroperasi baru-baru ini, yaitu oleh Nexmedia yang menggunakan teknologi DVB-T2 dan kanal VHF.[104] SatelitTelevisi satelit telah tersedia di Indonesia sejak Indovision didirikan pada 8 Agustus 1988 dan secara resmi diluncurkan pada 16 Januari 1994. Pada tanggal 12 Desember 2017 merek Indovision (bersama Top TV dan Okevision) berubah nama menjadi MNC Vision.[61] Sejak 1997, teknologi untuk televisi satelit telah berubah dari analog ke digital, saat ini dengan format DVB-S/S2. Hingga saat ini, hanya ada lima operator televisi satelit berbayar yang masih beroperasi seperti MNC Vision, K-Vision, Transvision, Nex Parabola, dan Accola Play. Televisi satelit gratis tersedia secara nasional melalui berbagai satelit. Awalnya sistem ini menggunakan antena parabola berukuran besar. Terdapat beberapa satelit Indonesia yang memiliki prioritas orbit di atas Indonesia, yaitu Telkom-4 dan Palapa D, serta sebuah satelit dari Tiongkok yang di dalamnya terdapat stasiun televisi siaran gratis di Indonesia yaitu Chinasat 11, dengan Ninmedia (pendahulu Kugosky dan Accola Play) sebagai penyedianya melalui frekuensi 12500/V/43200 dan 12560/V/43200 dan sebuah satelit dari Malaysia yang di dalamnya terdapat stasiun televisi siaran gratis di Indonesia yaitu Measat 3a, dengan K-Vision sebagai penyedianya melalui frekuensi 12436/H/31000. Namun, pada Mei 2020 terjadi gangguan pada satelit Chinasat 11 frekuensi 12560/V/43200 sehingga Ninmedia berpindah ke satelit AsiaSat 9[105] dan pada tahun yang sama, akan berakhirnya satelit Palapa D dan digantikan satelit baru yaitu satelit Palapa N1, tetapi gagal meluncur sehingga beberapa saluran di satelit tersebut memilih pindah ke satelit Telkom-4.[106] Ada puluhan saluran televisi satelit Indonesia dan asing yang dapat diterima melalui parabola tanpa biaya bulanan. Kebanyakan dari mereka adalah saluran religi (khususnya Islam), dengan beberapa di antaranya adalah jaringan nasional dan stasiun lokal serta saluran hiburan. Contohnya seperti TV Edukasi, GPR TV, RRI NET, TV MUI, Ajwa TV, dan Spacetoon. Kabel dan protokol internetPT Broadband Multimedia Tbk adalah operator pertama untuk televisi kabel di Indonesia di bawah nama merek "Kabelvision" pada 16 Januari 1994. Pada tahun 2006, perusahaan ini meluncurkan Digital 1 bersama dengan teknologi berubah dari analog ke digital. Perusahaan kemudian mengubah nama perusahaan menjadi PT First Media Tbk pada tanggal 8 September 2007 dan juga meluncurkan merek baru, nama First Media. Jangkauannya saat ini hanya mencakup wilayah kota-kota besar seperti Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Bali, Mebidang dan Batam. TV kabel di Indonesia menggunakan format DVB-C. Selain First Media yang saat ini masih cukup dominan, kemudian juga berkembang penyedia lain yang kebanyakan menggunakan protokol internet seperti IndiHome TV, MNC Play, DensTV, MyRepublic, dan Biznet Home. Layanan yang ditawarkan, umumnya juga menggabungkan penyediaan televisi kabel dengan layanan internet. Perangkat bergerak (mobile)Penerimaan dengan telepon seluler dapat dinikmati dengan berbagai cara. Pada beberapa perangkat yang masih sederhana, umumnya siaran televisi (biasanya analog) dapat dinikmati dengan tuner dan antena kecil yang juga tertanam dalam perangkat tersebut. Beberapa vendor seperti Polytron, Evercoss, Advan, Nexian dan Mito pernah menyediakan perangkat jenis ini.[107] Sedangkan untuk perangkat telepon pintar modern, biasanya tidak lagi dilengkapi perangkat tersebut, namun penggunanya dapat mengakses siaran menggunakan internet, baik secara gratis maupun berlangganan. Kemudian, di awal kehadiran televisi digital di Indonesia, sempat muncul rencana untuk memperkenalkan sistem televisi digital untuk perangkat bergerak DVB-H. Sistem ini pernah diujicoba di tahun 2009,[108] walaupun pada akhirnya tidak pernah terealisasi. Sempat tersedia juga operator televisi berlangganan untuk media lain, seperti mobil (bergerak). Operator tersebut, yaitu M2V Mobile TV dan Nexdrive (terafiliasi dengan Nexmedia)[109] yang keduanya beroperasi pada dekade 2010-an di Jakarta. Kedua operator ini saat ini sudah tidak beroperasi. KepemilikanIndustri penyiaran televisi merupakan industri yang padat modal, sehingga pemainnya memang tidak banyak. Walaupun demikian, amanat dari UU Penyiaran dan industri penyiaran yang sehat adalah terciptanya keragaman pemilik (diversity of ownership) dan keragaman konten (diversity of content).[110] Munculnya teori tersebut tidak lain merupakan akibat dari munculnya demokratisasi di Indonesia pasca 1998 dan upaya bagi menumbuhkan pasar yang sehat. Karena itulah, jika muncul berbagai tindakan akuisisi terhadap media televisi, baik sesama TV nasional (seperti SCTV dan Indosiar),[111] maupun TV lokal yang diakuisisi jaringan nasional (seperti NET. dan Kompas TV)[112][113] maka akan menimbulkan kontroversi dan masalah. Dalam perkembangannya, kepemilikan penyiaran di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu: Orde Baru: 1987-1998Zaman Orde Baru merupakan era lahirnya televisi swasta di Indonesia. Sifat KKN Orde Baru tampak dalam pendirian stasiun televisi swasta tersebut, walaupun pemiliknya berbeda, hampir keseluruhannya dimiliki oleh kroni-kroni dan putra-putri/saudara Presiden. RCTI sendiri dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo, anak ketiga Soeharto yang menguasai grup Bimantara Citra (berpatungan dengan pengusaha luar Istana, yaitu grup Rajawali milik Peter Sondakh). SCTV dimiliki oleh Sudwikatmono (sepupu Soeharto yang sukses ketika bermitra dengan Sudono Salim) yang berkongsi dengan Henry Pribadi. TPI dimiliki oleh Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut, anak pertama Presiden yang mengendalikan konglomerasi PT Citra Lamtorogung Persada. Indosiar dimiliki oleh Sudono Salim (Liem Sioe Liong), seorang pengusaha Tionghoa yang dikenal sebagai rekan lama Soeharto. Satu-satunya stasiun TV yang bisa dianggap cukup berada di luar Istana adalah ANteve, yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, meskipun sesungguhnya keduanya masih punya koneksi dengan partai penguasa Golkar.[butuh rujukan] Berikut ini kebijakan yang seperti memberi fasilitas dan kemudahan kepada perusahaan TV swasta:
Kebijakan pemerintah Soeharto tersebut akhirnya berakibat buruk pada industri penyiaran nasional yang efeknya ada sampai sekarang, yaitu sentralisasi siaran dari Jakarta dan Jawa saja. Sistem yang awalnya direncanakan berjaringan (misalnya RCTI membangun jaringannya di Bandung, tidak hanya dengan transmisi) pada akhirnya menjadi tidak terlaksana karena adanya kekhawatiran tersaingnya televisi swasta lokal (seperti RCTI, SCTV) dengan TV swasta pendidikan nasional (TPI). Tindakan pemerintah lain yang bisa dikatakan untuk melindungi pemain yang sudah ada, misalnya melarang dan tidak memberikan peluang bagi TVRI untuk menerima iklan dan terkesan membiarkan ketika stasiun TV swasta tersebut tidak membayar 12,5% keuntungan mereka kepada TVRI. Kebijakan pemerintah pada era awal lahirnya TV swasta pun terkesan mudah berubah dan berganti-ganti (misalnya dari awalnya hanya membolehkan dengan dekoder, lalu boleh siaran terestrial lokal, dan terakhir boleh siaran terestrial nasional) dalam waktu singkat (5 tahun), serta tanpa landasan undang-undang yang jelas, demi melayani kepentingan pemilik modal yang dekat dengan Cendana.[6] Periode Reformasi (I): 1998-2005Dalam periode ini, terjadi demokratisasi di Indonesia sebagai akibat kejatuhan Soeharto, dan 5 stasiun TV yang sudah ada dirasa tidak cukup. Izin baru bagi TV swasta pun dikeluarkan, yang dibuktikan dengan pemberian izin bagi 5 stasiun televisi swasta nasional pada Oktober 1999. Mayoritas pemiliknya adalah orang yang berada di luar kekuasaan, kecuali Global TV yang memiliki kaitan dengan pemerintahan Habibie. Bahkan, ada mereka yang bisa disebut sebagai wajah baru, seperti DVN TV yang dimiliki oleh Sukoyo, seorang petambak udang dan Trans TV yang dimiliki oleh Chairul Tanjung, pemilik Bank Mega yang saat itu masih kecil. Selain itu, pada pemilik TV yang sudah ada juga terjadi perubahan, yang banyak dari mereka berpindah tangan dari elit Cendana ke pengusaha-pengusaha baru. Hal ini dapat dilihat dari RCTI yang berpindah dari tangan Bambang Tri ke Hary Tanoesoedibjo, seorang investor saham yang tidak berpengalaman di media, sedangkan SCTV berpindah ke tangan keluarga Sariaatmadja yang sebelumnya bermain di perdagangan komputer. Khusus Indosiar dan ANteve, mereka hampir lepas dari pemilik karena krisis ekonomi 1997, namun pada akhirnya tetap bertahan di bawah mereka setelah restrukturisasi. Dalam era ini, juga terbentuk berbagai stasiun televisi swasta lokal di Indonesia, beberapa dari mereka berasal dari pemain lama dalam industri media massa. JTV merupakan salah satu yang cukup besar, dimiliki oleh pengusaha koran Dahlan Iskan dan berpusat di Surabaya, begitu juga dengan Jak TV yang dimiliki oleh Erick Thohir melalui Mahaka Media dan berpusat di Jakarta, ada juga Bali TV yang dimiliki oleh Satria Naradha melalui Kelompok Media Bali Post dan berpusat di Denpasar. Di Semarang, muncul Pro TV, di Padang muncul Favorit TV, di Tangerang muncul CTV Banten, di Kendari muncul Kendari TV, sedangkan di Medan muncul Deli TV. Ini belum termasuk ratusan TV lokal lain yang tumbuh bak jamur pada era ini, seperti Pacific TV, Lombok TV, Malang TV, AFB TV, dan berbagai TV lokal lainnya. Selain itu, perkembangan menarik lain adalah diizinkannya modal asing masuk ke industri penyiaran (maksimal 20%) dalam UU Penyiaran No. 32/2002, yang sempat ditunjukkan dengan pembelian 20% saham ANTV oleh STAR TV. Aturan yang sama juga berusaha menurunkan konsentrasi kepemilikan media televisi dengan menciptakan sistem siaran jaringan di daerah-daerah. Dengan kepemilikan TV swasta pada kebanyakan pengusaha hanya satu (kecuali RCTI, TPI dan Global TV), maka pada titik ini bisa dikatakan upaya mencapai keragaman kepemilikan sudah berusaha dicapai. Namun, angin segar ini tidak bertahan lama karena banyak stasiun TV yang sudah ada tidak mendapatkan untung, seperti TV7 yang dimiliki Kompas Gramedia dan Lativi yang dimiliki oleh Abdul Latief, belum lagi jika ditambah televisi lokal di berbagai daerah. Hal inilah yang akhirnya mengarahkan kita ke era konglomerasi dan konsolidasi media seperti saat ini. Periode Reformasi (II): 2006-sekarangSalah satu hal paling utama yang muncul dalam era ini adalah era konglomerasi media, dimana kini kebanyakan stasiun TV swasta nasional dimiliki oleh segelintir pihak saja, dan satu pihak bisa menguasai banyak TV. Memang UU Penyiaran 32/2002 sudah berusaha membatasi sistem semacam ini, namun kenyataannya dengan alasan komersial seakan-akan prinsip keragaman kepemilikan tidak diperhitungkan. Konsolidasi pertama yang muncul pada era ini adalah pembelian TV7 oleh pemilik Trans TV, Chairul Tanjung dan pembelian Lativi oleh Bakrie Group. Selanjutnya, konsolidasi terus berlangsung misalnya pembelian Indosiar oleh SCTV, sedangkan di berbagai daerah, sejumlah konglomerasi seperti Rajawali Corpora (RTV) dan MD Entertainment (NET.) membeli banyak TV lokal untuk mendirikan stasiun TV nasional. Sementara itu, bagi TV lokal yang kekurangan modal maka kebanyakan sulit bertahan, atau justru menyiarkan acara home shopping. Akibat hal ini, desentralisasi penyiaran, keragaman konten dan keragaman kepemilikan sulit tercapai dikarenakan unsur keuntungan dan komersial lebih dipentingkan dibandingkan hal-hal lain, misalnya kualitas siaran. Selain itu, konglomerasi media juga membawa masalah seiring banyak pemiliknya yang terjun ke politik. Misalnya MNC (RCTI-MNCTV-Global TV-iNews TV) serta Bakrie (antv-tvOne) tampak terlihat partisan dan memihak dalam Pemilu 2014, begitu juga dengan MetroTV, hal yang serupa kemudian juga terlihat pada Digdaya/Garuda TV dalam Pemilu 2019 dan Pemilu 2024. Hal lain yang juga cukup disorot adalah posisi pemerintah dalam menjalankan UU Penyiaran, terutama mengenai siaran berjaringan. Secara dasar, sistem siaran berjaringan yang diterapkan, berarti merombak tatanan selama ini dimana sebuah stasiun televisi dari Jakarta dapat memiliki banyak sekali frekuensi di berbagai daerah yang tugasnya hanya merelai siaran pusat. Mengingat frekuensi secara ideal adalah "milik publik",[7] maka UU Penyiaran sesungguhnya berusaha menciptakan demokratisasi penyiaran, dengan menciptakan struktur yang lebih melokal, dalam bentuk diversifikasi kepemilikan dan konten siaran. Tatanannya sebenarnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 50/2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta; dimana dalam aturan turunan UU Penyiaran ini diatur bahwa sebuah stasiun televisi (pusat) secara progresif kepemilikannya dikurangi di stasiun televisi jaringannya di daerah-daerah (pada jaringan pertama 100%, kedua 49%, ketiga 20%, dan keempat-seterusnya 5%). Akan tetapi, aturan turunan yang sama juga mengatur bahwa jika stasiun televisi yang sudah ada sudah memiliki stasiun transmisi di daerah, maka kebijakan pembatasan kepemilikan itu tidak berlaku, dengan kini boleh pada jaringan kedua, ketiga dan seterusnya sebesar 90%; sedangkan untuk daerah terpencil/perbatasan, kepemilikannya boleh 100%.[6] Hal tersebut memacetkan niat baik dari UU Penyiaran dan sistem berjaringan, yang diperparah dengan penerbitan Permenkominfo No. 32/2007 dan Permenkominfo No. 43/2009. Walaupun kedua aturan tersebut mewajibkan pelepasan saham stasiun jaringannya ke pemegang saham lokal serta pemberlakuan sistem siaran jaringan maksimal 28 Desember 2009 dan meminta adanya siaran lokal terus naik dari 10% menjadi 50%, namun masih memberi keleluasaan bagi pemilik stasiun televisi besar untuk mempertahankan kepemilikan mutlak atas stasiun jaringannya (hasil transisi dari stasiun relai) jika "di daerah tidak memiliki modal yang cukup atau alasan khusus". Pada akhirnya, diversifikasi kepemilikan yang diharapkan dalam sistem jaringan, sampai saat ini relatif hanya angan-angan semata, karena aturan UU Penyiaran masih memberi peluang bagi pemain besar mempertahankan kepemilikan dan sentralisasi siarannya dengan alasan yang sudah disebutkan. Yang berubah hanyalah bentuk frekuensi yang dimiliki stasiun televisi Jakarta: dari awalnya dikelola oleh stasiun relai, kini menjadi stasiun jaringan yang pemiliknya tetap pihak yang sama. Ini belum termasuk definisi siaran lokal yang tidak jelas di peraturan-peraturan diatas, sehingga sangat leluasa diinterpretasikan televisi nasional (misalnya bisa siaran ulang beberapa kali asalkan bernuansa daerah), ditambah program dari stasiun lokal jaringan yang ada kebanyakan hanya 10% saja dari jam siar dan tidak bisa lebih dari itu.[6] Salah satu contoh dari kemacetan penetapan klausul berjaringan tersebut adalah, dalam beberapa laporan keuangan induk sejumlah stasiun televisi (seperti MNC Media, SCM, VIVA dan Trans Media), perusahaan jaringannya di daerah-daerah disebutkan "belum melakukan aktivitas (usaha)/beroperasi secara komersial".[114][115] Hal yang sama akhirnya juga diterapkan oleh jaringan televisi nasional yang terbentuk pasca UU Penyiaran (seperti iNews, NET., RTV, Moji dan Kompas TV). Mereka tidak menerapkan sistem dimana seharusnya TV nasional (atau Jakarta) bermitra dengan stasiun lokal (yang dimiliki terpisah), melainkan mengakuisisi kepemilikan stasiun televisi lokal di daerah-daerah dan tetap menyiarkan siarannya yang didominasi dari pusat. Bahkan, ada juga yang "menyimpang", misalnya jaringan-jaringan NET. yang 100% kepemilikannya dipegang induk stasiun televisi ini, Net Visi Media lewat anak-anak usahanya yang dibentuk di daerah-daerah, bukannya oleh pemodal lokal.[116] Lihat pulaWikimedia Commons memiliki media mengenai Televisi di Indonesia.
Catatan kaki
Bacaan lebih lanjut
Referensi
|