Daerah Istimewa Surakarta
Daerah Istimewa Surakarta adalah daerah otonomi khusus (daerah istimewa) yang secara de facto pernah ada antara Agustus 1945 sampai Juli 1946. Penetapan status otonomi khusus ini dalam kurun waktu tersebut tidak pernah ditetapkan dengan sebuah Undang-undang tersendiri berdasarkan pasal 18 UUD yang asli, tetapi hanya dengan Piagam Penetapan Presiden tanggal 19 Agustus 1945 dan UU No 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Asal Usul Daerah IstimewaKasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran pada 18-19 Agustus mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Sukarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya pada 1 September 1945, empat hari sebelum Yogyakarta, SISKS Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunagara VIII, secara terpisah mengeluarkan dekret resmi kerajaan. Lima hari kemudian, 6 September 1945, kedua monarki mendapat Piagam Penetapan dari Presiden Indonesia. Wilayah Daerah IstimewaWilayah DIS meliputi:
Kedudukan Daerah IstimewaTidak pernah ada suatu peraturan yang menyebutkan mengenai kedudukan DIS, apakah setingkat provinsi (seperti DIY) ataukah setingkat Kabupaten (seperti DI Kutai, DI Berau, dan DI Bulongan). Dengan demikian tidak dapat diketahui secara jelas bagaimana kedudukan DIS[5].Namun Kedudukan DIS adalah Dibawah Naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Daerah IstimewaPemerintahan di DIS terbagi menjadi dua tahapan selama kurun waktu Agustus 1945 sampai Juli 1946. Masing-masing tahapan memperlihatkan suatu perbedaan yang cukup signifikan. Pemerintahan DIS Agustus 1945 – Oktober 1945Dalam masa ini terjadi pemerintahan ganda antara:
Masing-masing pemerintahan tersebut memiliki kekuasaan dan aparat sendiri-sendiri. Pemerintahan Kooti Zimukyoku merupakan pemerintahan status quo yang meneruskan pemerintahan untuk Tentara Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia Kedua. Pemerintahan ini tidak lama karena segera direbut oleh pemerintahan KNI Daerah Surakarta. Pemerintahan KNI Daerah Surakarta merupakan pemerintahan yang dibentuk rakyat sebagai reaksi untuk menyambut kemerdekaan Indonesia. Pemerintahan ini membentuk Dewan Pemerintahan yang berjumlah tiga orang untuk melaksanakan kekuasaan eksekutif sehari-hari. Pemerintahan Kasunanan Surakarta merupakan pemerintahan yang meneruskan pemerintahan monarki sebelum kemerdekaan Indonesia. Pemerintahan Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Pepatih nDalem untuk dan atas nama Sri Susuhunan Paku Buwono. Pemerintahan Praja Mangkunegaran merupakan pemerintahan yang meneruskan pemerintahan monarki sebelum kemerdekaan Indonesia. Pemerintahan Praja Mangkunegaran dipimpin oleh Patih untuk dan atas nama Adipati Mangku Negoro. Dengan adanya pemerintahan yang bermacam-macam di atas, terjadi tumpang tindih kekuasaan dan persaingan untuk memperebutkan legitimasi masyarakat dan Pemerintah Pusat. Pemerintahan DIS Oktober 1945 – Juli 1946Untuk mengatasi kekacauan dan tumpang tindih pemerintahan di DIS maka Pemerintah Pusat mengutus Gubernur Jawa Tengah Panji Suroso sebagai penengah dan untuk menyusun pemerintahan yang baru. Sejak saat itu pemerintahan DIS terdiri atas:
Komisaris Tinggi Pemerintah Pusat adalah wakil dari pemerintah Pusat di Surakarta. Komisaris ini berfungsi sebagai Kepala Daerah Istimewa Surakarta dan mengawasi pekerjaan badan legislatif lokal dan badan eksekutif lokal. Badan Pekerja KNI Daerah Surakarta adalah badan legislatif lokal Daerah Surakarta. Badan Pekerja ini dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada KNI Daerah Surakarta. Anggota Badan Pekerja KNI Daerah Surakarta dipilih oleh dan dari anggota KNI Daerah Surakarta. Direktorium Daerah Surakarta adalah badan eksekutif lokal Daerah Surakarta. Direktorium ini beranggotakan wakil-wakil dari KNI Daerah Surakarta, Pemerintahan Kerajaan Surakarta, dan Pemerintahan Praja Mangkunegaran. KNI Daerah Surakarta memiliki lima orang wakil. Pemerintahan Kerajaan Surakarta memiliki dua orang wakil. Pemerintahan Praja Mangkunegaran memiliki dua orang wakil. PolitikDalam usia yang cukup singkat, DIS tidak lepas dari pelbagai pergolakan politik. Dua aspek yang cukup menonjol adalah pergolakan monarki dan pergolakan anti monarki. Pergolakan Monarki
Pergolakan Anti-monarki
EkonomiSampai saat ini belum ada informasi yang lengkap mengenai perekonomian DIS antara tahun 1945-1946. Namun dapat diperkirakan sebagaimana biasanya, ekonomi pasca perang dan dalam keadaan revolusi dalam keadaan yang menyedihkan. Hal ini akan semakin terasa jika dibandingkan dengan perekonomian sebelum perang dunia kedua, terutama saat pemerintahan Sunan Paku Buwono X. Sosial BudayaSampai saat ini belum ada informasi yang lengkap mengenai kondisi sosial budaya DIS antara tahun 1945-1946. Kondisi terakhir sebelum perang dunia kedua menempatkan Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran dalam posisi pembangunan industri agraris khususnya gula tebu dan tembakau. Hal ini menyebabkan tumbuhnya kelas buruh yang pada akhirnya ideologi sosialis, yang dalam bentuk lebih ekstrimnya komunis, berkembang subur. Setelah kemerdekaan Indonesia, didukung dengan merosotnya kehidupan ekonomi dan kekacauan politik, kelas buruh bergerak membentuk revolusi. Pembekuan dan PenghapusanPembekuan dan pengapusan status daerah istimewa tak terlepas dari munculnya revolusi sosial berupa gerakan anti swapraja di Surakarta, yang berlangsung serentak dengan Revolusi Sosial Sumatera Timur. Seperti halnya Revolusi Sosial Sumatera Timur, gerakan antiswapraja Surakarta hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan anti-feodalisme. Pada saat didirikannya Daerah Istimewa Surakarta, Dokter Muwardi (bukan orang yang sama dengan Moewardi) mempunyai pengaruh lebih kuat dibanding Pakubuwana XII,[6] yang dianggap tidak mempunyai pengalaman dalam mengurus masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum, kurang memiliki wattak yang serius dan keberanian untuk mengambil keputusan serta tidak memahami kekuatan-kekuatan revolusi yang sedang bergerak ke arah demokrasi barat dan kedaulatan rakyat.[butuh rujukan] Kondisi ini diperburuk dengan hubungan yang tidak harmonis antara Kesunanan Surakarta dengan Mangkunegaran.[7] Gerakan antiswapraja meluas menjadi aksi massa. Kesatuan Barisan Banteng (BB) yang dipimpin Muwardi menculik Sunan, kanjeng Ratu dan Soerjohamidjojo pada bulan Januari 1946 menuntut agar Sunan bersedia disejajarkan dengan pemimpin rakyat lainnya dengan panggilan “Bung”. Selain itu, mereka juga menuntut Sunan untuk melepas kekuasaan politiknya dan bergabung dengan Pemerintah Republik.[6][7] Kondisi semakin genting di Surakarta memuncak kala Sutan Syahrir diculik oleh kaum oposisi republik pimpinan Tan Malaka. Setelah dilakukan penculikan, segelintir pasukan oposisi berupaya menyerang istana presiden di Yogyakarta, tetapi berhasil digagalkan.[8] Untuk mengatasi keadaan genting tersebut pemerintah mengeluarkan UU No. 16/SD/1946 yang memutuskan bahwa Surakarta menjadi daerah karesidenan di bawah seorang residen dan merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia. Menteri dalam negeri melalui keputusan tanggal 3 Maret 1950 menyatakan bahwa wilayah Kesunanan dan Mangkunegaran secara adminiatrtif menjadi bagian dari provinsi Jawa Tengah. Kedua aturan tersebut mengakhiri status istimewa Surakarta.[7] Pembentukan KembaliSeiring dengan dibukanya kembali semangat otonomi daerah dan dengan pemberian Otonomi Khusus pada Papua (2001), Papua Barat (2008), Aceh (2001 dan 2006), DKI Jakarta (1999 dan 2007) disusul Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya (2022) serta penegasan keistimewaan Aceh (1999 dan 2006) dan Yogyakarta (2012), muncul wacana untuk menghidupkan kembali Daerah Istimewa Surakarta sebagai bagian dari NKRI. Salah satu langkah yang akan ditempuh adalah melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas UU Negara Bagian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1950. Referensi
Lihat pula
|