Israel dan terorisme yang disponsori negara
Israel dituding terlibat dalam aktivitas terorisme yang disponsori negara,[1] serta melakukan tindakan terorisme negara secara rutin sehari-hari di wilayah jajahan mereka di Palestina.[2] Negara-negara yang mencap Israel sebagai negara teroris atau negara pendukung terorisme antara lain Bolivia,[3] Iran, Lebanon,[4] Arab Saudi,[5] Suriah,[6] Turki,[7] dan Yaman.[8] Contoh awal tindakan yang disponsori negara Israel adalah Peristiwa Lavon tahun 1954, sebuah rencana pengeboman yang didukung negara yang gagal di Mesir yang menyebabkan pengunduran diri Menteri Pertahanan Israel pada saat itu. Pada tahun 1970an dan 1980an, Israel juga merupakan pemasok utama senjata kepada rezim diktator di Amerika Selatan, Afrika Sub-Sahara, dan Asia. Pada abad ke-21, Israel dituduh mendanai dan mendukung beberapa kelompok teroris sebagai bagian dari konflik proksi mereka dengan Iran. Pengeboman Bagdad tahun 1950–1951Pengeboman Bagdad 1950–1951 mengacu pada serangkaian aksi pengeboman terhadap sasaran Yahudi di Bagdad, Kerajaan Irak, antara April 1950 dan Juni 1951. Terdapat perselisihan seputar identitas sebenarnya dan motif di balik pemboman tersebut, dan teka-teki di balik peristiwa ini masih belum terselesaikan. Dua pegiat gerakan bawah tanah zionis di Irak dinyatakan bersalah oleh pengadilan Irak atas sejumlah pemboman, dan dijatuhi hukuman mati. Seorang lainnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan tujuh belas lainnya dijatuhi hukuman penjara yang lama.[9] Tuduhan terhadap agen-agen Israel mendapat "konsensus luas" di antara orang-orang Yahudi Irak di Israel.[10] Banyak orang Yahudi-Irak di Israel yang hidup dalam kondisi miskin menyalahkan dedengkot zionis Israel atau gerakan bawah tanah zionis Irak atas kemalangan yang menimpa mereka.[11] Teori bahwa "orang Yahudi tertentu" melakukan serangan "untuk memusatkan perhatian Pemerintah Israel pada penderitaan orang Yahudi" dipandang "paling masuk akal" oleh Kementerian Luar Negeri Inggris.[12][13] Sambungan telegram antara agen Mossad di Bagdad dan atasan mereka di Tel Aviv memberikan kesan bahwa tidak ada kelompok yang mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas serangan tersebut.[13] Israel secara konsisten membantah keterlibatan dalam aksi terorisme tersebut.[14] Peristiwa Lavon 1954'Peristiwa Lavon' adalah operasi rahasia Israel yang gagal, dengan kode nama 'Operasi Susannah', yang dilakukan di Mesir pada musim panas tahun 1954. Sebagai bagian dari operasi bendera palsu,[15] sekelompok Yahudi-Mesir direkrut oleh badan intelijen militer Israel (Aman) untuk menanam bom di dalam sasaran sipil milik Mesir, Inggris, dan Amerika seperti bioskop, perpustakaan, dan pusat pendidikan. Serangan-serangan tersebut harus disalahkan pada Ikhwanul Muslimin, Komunis Mesir, “kelompok yang tidak puas” atau “nasionalis lokal” dengan tujuan menciptakan iklim kekerasan dan ketidakstabilan yang cukup untuk mendorong pemerintah Inggris mempertahankan pasukan pendudukannya di sekitar Terusan Suez.[16] Ledakan tersebut diperkirakan terjadi beberapa jam setelah jam tutup, dan tidak menimbulkan korban jiwa. Namun, seorang agen tewas ketika bom yang dibawanya ke bioskop meledak di saku sebelum waktunya. Selain itu, dua agen melakukan bunuh diri setelah ditangkap dan dua agen lainnya diadili, dihukum, dan dieksekusi oleh Mesir. Operasi tersebut akhirnya dikenal sebagai 'Peristiwa Lavon'. Setelah kegagalan operasi ini terungkap, Menhan Israel Pinhas Lavon terpaksa mengundurkan diri. Meskipun Israel membantah terlibat dalam operasi tersebut selama 51 tahun, para anggota yang masih hidup diberi penghargaan oleh Presiden Israel Moshe Katsav pada tahun 2005.[17] Operasi tersebut dijadikan subjek studi kasus dalam studi kritis terorisme.[18] Dukungan militer pada tahun 1970an-1980an terhadap kediktatoranSejak tahun 1970an, Israel telah memberikan dukungan militer kepada sejumlah rezim diktator di Amerika Selatan, Afrika Sub-Sahara, dan Asia.[19] Antara tahun 1970 dan 1980, Israel menyumbang 80% impor militer di El Salvador menjelang pecahnya Perang Saudara El Salvador.[19] Israel juga mengerahkan 100 orang penasihat, pilot tempur, dan sistem komputer untuk memantau aktivitas perlawanan di negara tersebut.[19] Di Guatemala, Israel adalah satu-satunya pemasok senjata selama teror setelah terpilihnya Jenderal Lucas García pada tahun 1978, peristiwa yang mencakup pembantaian Panzós.[20] Di Indonesia, sebagaimana dilaporkan oleh Noam Chomsky, Israel bertindak sebagai wakil Amerika Serikat dengan menyediakan pesawat yang digunakan untuk membantai warga Timor Timur pada akhir tahun 1970an selama pendudukan.[19] Front untuk Pembebasan Lebanon dari Orang AsingSetelah pembantaian sebuah keluarga Israel di Nahariya pada tahun 1979 oleh militan Front Pembebasan Palestina, Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel Rafael Eitan menugaskan Jenderal Avigdor Ben-Gal untuk "membunuh mereka semua," yang berarti termasuk Organisasi Pembebasan Palestina dan seluruh pihak terkait.[21] Atas persetujuan Eitan, Ben-Gal mengutus Meir Dagan untuk menjalankan operasi tersebut.[21] Operasi tersebut, yang disetujui oleh Kepala Staf, dirahasiakan dari Staf Umum IDF dan banyak anggota pemerintahan Israel lainnya.[21] David Agmon, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Komando Utara Israel, adalah salah satu dari sedikit orang yang dilibatkan dalam operasi rahasia itu.[21] Antek-antek di Lebanon dari komunitas Maronit, Syiah, dan Druze juga turut direkrut. Tujuan dari serangkaian operasi ini adalah untuk "menyebarkan kekacauan di antara warga Palestina dan Suriah di Lebanon tanpa meninggalkan jejak Israel, guna memberi mereka perasaan tidak aman dan menanamkan rasa takut."[21] Dimulai pada bulan Juli 1981 berupa serangan bom terhadap kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Jalan Fakhani di Beirut,[22] serangan ini diklaim dilakukan oleh suatu kelompok yang bernama Front Pembebasan Lebanon dari Orang Asing. FLLF sendiri merupakan garda terdepan para agen Israel[21] yang membunuh ratusan orang antara tahun 1979 dan 1983.[23][24] Pada bulan September 1981, serangan teror mereka meliputi bom mobil yang meledak secara teratur di daerah pengungsi Palestina di Beirut dan kota-kota Lebanon lainnya.[21] Serangan yang sangat mematikan termasuk serangan tanggal 1 Oktober 1981 di Beirut yang menewaskan 83 orang dan serangan tanggal 29 November 1981 di Aleppo yang menewaskan 90 orang.[24] Operasi FLLF tiba-tiba terhenti sesaat sebelum invasi Israel ke Lebanon pada bulan Juni 1982,[24] dan kemudian dilanjutkan kembali pada tahun berikutnya: serangan pertama pada tanggal 28 Januari 1983 terhadap markas besar PLO di kota Chtaura di Lembah Bekaa yang diduduki Suriah, menewaskan 35 orang,[24] dan serangan kedua pada tanggal 3 Februari di Beirut Barat yang menghancurkan kantor Pusat Penelitian Palestina dan menyebabkan 20 orang tewas termasuk istri Sabri Jiryis, seorang penulis dan aktivis Palestina.[25][26][27] Pengeboman ketiga terjadi di Baalbek yang dikuasai Suriah pada tanggal 7 Agustus 1983, yang menewaskan sekitar 30 orang dan melukai hampir 40 orang,[24][28] diikuti oleh pengeboman lainnya pada tanggal 5 Desember 1983 di kawasan Chyah di pinggiran selatan Beirut yang merenggut 12 nyawa dan membuat cacat lebih dari 80 orang.[29] FLLF dibubarkan setelah tahun 1983.[23] Proksi-proksi melawan IranIsrael dan Iran adalah dua negara yang bermusuhan. Meskipun mereka tidak pernah berperang secra langsung, kedua negara melakukan upaya untuk melemahkan pengaruh satu sama lain di kawasan melalui berbagai cara: diplomatik, ekonomi, dan militer. Hal ini mencakup penggunaan proksi (sering kali berupa kelompok bersenjata), yang memfasilitasi konflik tidak langsung antara negara-negara besar, dan dalam kasus proksi Iran, Hamas dan Hizbullah, terjadi perang fisik secara langsung. Pemerintah Israel mendukung berbagai kelompok bersenjata yang berseteru dengan pemerintah Iran.[31] Empat ilmuwan nuklir Iran—Masoud Alimohammadi, Majid Shahriari, Darioush Rezaeinejad, dan Mostafa Ahmadi Roshan—dibunuh antara tahun 2010 dan 2012. Ilmuwan lainnya, Fereydoon Abbasi, terluka dalam percobaan pembunuhan.[32][33] Dua dari pembunuhan tersebut dilakukan dengan bom magnet yang ditempelkan pada mobil target; Darioush Rezaeinejad ditembak mati, dan Masoud Alimohammadi tewas karena ledakan bom sepeda motor.[34] Pada saat itu, pejabat AS yang tidak disebutkan namanya mengonfirmasi kepada NBC bahwa Mujahidin Rakyat Iran (MEK) telah dibiayai, dilatih, dan dipersenjatai oleh Israel sebagai bagian dari pembunuhan para ilmuwan nuklir Iran.[35] Terungkapnya hal ini memicu perdebatan di kalangan komentator Amerika, termasuk Richard Engel dan Robert Windrem, tentang apakah kemitraan tersebut memungkinkan Israel dimasukkan dalam daftar Negara Pendukung Terorisme mengingat MEK telah termasuk Organisasi Teroris Asing oleh pemerintah AS.[35][36][37][38] Pada tanggal 27 November 2020, pemerintah Israel, berbekal informasi dan dukungan dari Amerika Serikat, membunuh Fakhrizadeh dalam penyergapan di jalan raya di Absard menggunakan senjata otomatis yang dioperasikan melalui satelit.[39][40] Menurut laporan tahun 2012 di Foreign Policy, agen-agen Mossad yang menyamar sebagai petugas Badan Intelijen Pusat (CIA) juga merekrut anggota Jundallah—"sebuah organisasi teroris Sunni yang berbasis di Pakistan yang bertanggung jawab atas pembunuhan pejabat pemerintah Iran beserta wanita dan anak-anak Iran"—untuk melakukan operasi bendera palsu terhadap Iran, yang pada akhirnya memperburuk hubungan Amerika Serikat dengan Israel.[41][42] Israel memberikan bantuan medis kepada pemberontak Suriah[43] yang terluka di luar kawasan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel; sebagian besar bantuan ini disalurkan ke Jabhat Al-Nusra (sekarang Tahrir al-Sham).[44] Aymenn Jawad Al-Tamimi mencatat bahwa "ini[,] namun[,] tidak membuktikan bahwa adalah kebijakan Israel untuk memberi pertolongan kepada anggota Hay'at Tahrir al-Sham."[45] Pejabat Israel menyatakan bahwa mereka memberikan bantuan kemanusiaan baik kepada kombatan maupun warga sipil yang terluka tanpa memandang identitas mereka.[46][47] Menurut laporan dari The Wall Street Journal pada bulan Maret 2015, dua pertiga dari "warga Suriah yang dirawat di Israel" adalah pria berusia dinas militer.[44] Salah satu laporan UNDOF menyatakan bahwa dua kotak berisi barang yang tak diketahui dikirim dari Israel ke pejuang oposisi Suriah dan tentara IDF bertemu dengan pemberontak Suriah di timur perbatasan.[46] Israel diyakini berbagi informasi intelijen dengan pemberontak.[48] Mantan kepala intelijen militer Israel, Amos Yadlin, menjelaskan alasan Israel: "Tidak ada keraguan bahwa Hizbullah dan Iran adalah ancaman besar bagi Israel, lebih dari kelompok Islam Sunni radikal, yang juga merupakan musuh."[44] Kepala Staf IDF Gadi Eizenkot mengakui bahwa Israel telah memasok senjata kepada kelompok pemberontak di Suriah.[49] Kegiatan di wilayah pendudukanSetelah perang tahun 2008–2009 di Gaza, pakar hukum internasional Richard A. Falk berpendapat bahwa cakupan serangan Israel merupakan pelaksanaan dari doktrin Dahiya yang diadopsi dari pengeboman udara berlebihan yang disengaja di kawasan Dahiya di Beirut Selatan selama Perang Lebanon 2006 dengan mengorbankan infrastruktur sipil.[50] Demikian pula, dalam konflik tahun 2008-2009, Falk mengamati bagaimana Laporan Goldstone menyimpulkan bahwa strategi Israel "dirancang untuk menghukum, mempermalukan dan meneror penduduk sipil".[50] Falk menyatakan: “Infrastruktur sipil milik musuh seperti Hamas atau Hizbullah diperlakukan sebagai target militer yang sah, yang tidak hanya merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap norma-norma paling mendasar dari hukum perang dan moralitas universal, namun sebuah pengakuan terhadap doktrin kekerasan yang perlu diberi nama yang tepat, yaitu terorisme negara."[50] Lihat pulaReferensiSitasi
Sumber |