Bank BPD DIY
Bank Pembangunan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, atau disingkat Bank BPD DIY, adalah sebuah bank BUMD di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bank BPD DIY didirikan pada tanggal 15 Desember 1961, berdasarkan akta notaris Nomor 11, Notaris R.M. Soerjanto Partaningrat. Sebagai suatu perusahaan daerah, pertama kalinya Bank BPD DIY diatur melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1976. Dengan berjalannya waktu, dilakukan berbagai penyesuaian. Landasan hukum pendirian Bank BPD DIY adalah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 1993, junctis Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1997 dan Nomor 7 Tahun 2000. Tujuan pendirian bank adalah untuk membantu mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah di segala bidang serta sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sejak Januari 2007 Bank BPD DIY telah membuka unit perbankan Syariah. Hingga saat ini Bank BPD DIY setidaknya telah memiliki 175 tempat pelayanan yang tersebar di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, terdiri dari 1 kantor pusat, 7 kantor cabang, 15 kantor cabang pembantu, 73 kantor kas, 22 kantor payment point, 6 armada kas mobil dan 55 lokasi mesin ATM serta 4 kantor layanan syariah.[1] SejarahPeriode 1961 - 1976Tahun 1961, tujuh belas tahun setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, kondisi ekonomi negara ini masih jauh dari angan-angan. Laju inflasi yang tinggi mewarnai perekonomian Indonesia. Keingan pemerintah membuat bangsa Indonesia sejahtera diwujudkan dalam konsep ekonomi terpimpin. Dengan konsep ini, segenap unsur masyarakat, termasuk di dalamnya kalangan perbankan diminta untuk turut berperan dalam mencapai tujuan revolusi. Di kalangan perbankan dimunculkan doktrin Bank Tunggal dan Bank Tunggal. Maksud pendirian bank tunggal ialah agar kebijakan pemerintah di bidang moneter dan perbankan dapat dijalankan secara efisien, efektif, dan terpimpin. Kondisi perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta pada masa itu tidak banyak berbeda dengan kondisi Indonesia pada umumnya. Kesulitan keuangan untuk pembangunan negara menuntut adanya peran masyarakat untuk penyediaan dana. Kondisi ini sangat disadari oleh Pemerintah Provinsi DIY, sehingga dengan mengacu pada Keputusan Menteri nomor 1 Tahun 1955 tentang Pengawasan Terhadap Urusan Kredit maka digagaslah pembentukan sebuah bank untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan Keputusan DPRD Provinsi DIY nomor 11/K/DPRD/1961 tentang Pemberian Kuasa kepada Kepala Daerah Provinsi DIY, diputuskan untuk mendirikan Bank Pembangunan Daerah, serta persetujuan DPRD no. 12/K/DPRD/1961 tentang memberi kuasa kepada Kepala Daerah Provinsi DIY untuk mengusahakan modal sebesar Rp. 2.5000.000,- guna mendirikan Bank Pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta (BPD DIY). Kemudian dibuatlah akta pendirian Perseroan Terbatas (PT) Bank BPD DIY di hadapan Notaris R.M. Wiranto. Bank BPD DIY lahir dengan Akta Notaris nomor 11 tanggal 15 Desember 1961. Para pihak yang menghadap ke notaris saat pendirian bank ialah Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku dan dalam kapasitas Gubernur DIY dan Sri Paduka Pakualam VIII selaku Wakil Gubernur DIY. Untuk beroperasi, Bank BPD DIY memperoleh izin usaha dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan nomor BUM 9/1/27/II Tanggal 5 Maret 1962. Izin inin dikeluarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 1955 sebagaimana disebutkan di atas. Pada awal pendiriannya, Bank BPD DIY telah berbadan hukum perseoroan terbatas (PT). Kondisi ini tentu saja sejalan dengan masa itu, yakni belum ditetapkannya UU nomor 13/1962 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah. Pada saat didirikan, modal dasar PT Bank BPD DIY ditetapkan sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), yang terdiri dari 500 lembar saham prioritas dengan nilai Rp. 10.000,- dan 1.500 lembar saham biasa dengan nilai Rp. 10.000,-. Ketika didirikan telah ditanam 400 lembar saham prioritas dan 1 lembar saham biasa, dengan jumlah uang sebanyak Rp. 4.010.000,-. Dari jumlah tersebut telah dibayar tunai sebesar 62,5% atau sejumlah Rp. 2.506.250,- (dua juta lima ratus enam ribu dua ratus lima puluh rupiah). Jumlah inilah yang menjadi modal awal operasional Bank BPD DIY. Setahun sejak didirikan, Bank BPD DIY berhasil menghimpun dana masyarakat sebesar Rp. 5 juta (uang lama). Hingga akhir tahun 1965 telah dihimpun dana sebesar Rp. 27,988 juta (uang lama) serta mampu menyalurkan kredit hingga Rp. 127,160 juta (uang lama). Rasio antara kredit terhadap dana masyarakat mencapai 470%. Selain dana masyarakat yang dihimpun, Bank BPD DIY juga memperoleh dana dari Bank Indonesia sebesar Rp. 39,9 juta. Laba yang diraih pada tahun 1965 mencapai Rp. 7,825 juta (uang lama). Modal bank pada saat itu telah mencapai Rp. 20 juta. Tanggal 13 Desember 1965, pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden no. 27/1965. Kebijakan ini antara lain menetapkan penerbitan alat pembayaran yang sah yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia, serta perbandingannilai antara uang rupiah lama dengan uang rupiah baru diterbitkan dengan rasio satu uang rupiah baru setara dengan seribu uang rupiah lama. Selama beberapa saat terjadi peredaran dua mata uang, sehingga pemerintah mewajibkan semua instansi swasta untuk menggunakan mata uang baru. Meskipun nilai mata uang baru 1000 kali uang rupiah lama, tidak berarti harga-harga menjadi satu perseribunya. Kebijakan ini menyebabkan inflasi yang sangat tinggi dan menimbulkan beban bari pemerintah. Kebijakan itu tentu saja sangat memengaruhi kondisi keuangan Bank BPD DIY yang saat itu baru berusia empat tahun. Modal disetor yang pada tahun 1964 telah mencapai 20 juta rupiah, pada tahun 1966 disesuaikan dengan nilai rupiah baru sehingga modal disetor bank hanya menjadi 20 ribu rupiah. Posisi akhir tahun 1966, dana yang dihimpun Bank BPD DIY mencapai Rp. 66 ribu dengan penyaluran kredit sebesar Rp. 186 ribu. Penghimpunan dana dan penyaluran kredit ini terus tumbuh. Pada akhir tahun 1975, dana yang berhasil dihimpun sebesar Rp. 717,247 juta dan penyaluran kredit mencapai Rp. 571,905 juta. Laba yang diraih mencapai Rp. 25,675 juta. Periode 1976 - 1989Dengan keluarnya Undang-undang (UU) nomor 13 tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah, maka pendirian Bank Pembangunan Daerah harus dilakukan melalui Peraturan Daerah. Aturan mengenai perbankan juga mengalami perubahan dengan dikeluarkannya UU nomor 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Karena itu pada tahun 1976 ditetapkan Peraturan Daerah Pronsi DIY nomor 3 tahun 1976 tentang Bank Pembangunan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penetapan ini melahirkan Bank Pembangunan Daerah Provinsi DIY atau Bank BPD DIY sebagai sebuah Perusahaan Daerah. Dalam pertauran daerah tersebut diatur bahwa Bank BPD DIY adalah milik pemerintah daerah tingkat I. Pernyataan ini tidak berarti pemerintah daerah tingkat II tidak dapat menyetorkan modalnya. Sebagaimana tercantum pada ketentuan tentang modal, ditetapkan bahwa modal dasar bank sebesar Rp. 500.000.000,- yang terdiri dari penyertaan pemerintah daerah tingkat I dan pemerintah daerah tingkat II. Sampai dengan awal 1980-an, industri perbankan tidak begitu dinamis. Hampir semua kegiatan operasional bank ditetapkan secara ketat oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Akibat dari ketatnya regulasi ini, jumlah bank tidak mengalami perubahan selama bertahun-tahun, demikian juga dengan produk dan layanan perbankan. Upaya untuk melakukan persaingan yang sehat juga hampir tidak ada. Tata cara transaksi perbankan bahkan masih dilakukan dengan cara 'tradisional'. Tahun 1983 pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi perbankan dengan menghapus pagu kredit dan subsidi bunga. Persaingan antar bank diserahkan pada mekanisme pasar dan masing-masing bank diberi kebebasan untuk menentukan tingkat bunga, baik kredit maupun penghimpunan dana. Kebijakan ini mulai membangkitkan iklim kompetisi dalam industri perbankan. Tahun 1985, sejalan dengan perubahan tersebut Bank BPD DIY berupaya mengantisipasi kondisi pasar yang berubah. Langkah strategis yang dilakukan ialah mengubah dasar pendirian bank yang semula berdasarkan Peraturan Daerah nomor 3 tahun 1976 diubah dan diterbitkan Peraturan Daerah nomor 9 tahun 1985. Dalam peraturan daerah yang baru ini modal dasar bank ditetapkan sebesar Rp. 5 miliar. Ketentuan mengenai status kepemilikan bank yang semula ditegaskan sebagai badan usaha milik pemerintah daerah tingkat I, ditiadakan. Tahun 1986 Bank BPD DIY untuk pertama kalinya melebarkan jaringan pelayanannya hingga ke wilayah kabupaten di Provinsi DIY, yaitu dengan membuka Kantor Cabang Wates, Kulonprogo dan Kantor Cabang Wonosari, Gunung Kidul. Tahun 1988, pemerintah melakukan deregulasi lanjutan pada bidang moneter dan perbankan yang dikenal dengan Paket 27 Oktober 1988. Deregulasi ini memberikan banyak kemudahan bagi pendirian bank baru maupun jaringan pelayanan baru. Kebijakan ini semakin meningkatkan persaingan dalam industri perbankan. Menanggapi kondisi terkini pada saat itu, Bank BPD DIY melebarkan kembali jaringan pelayanannya untuk menjangkau wilayah-wilayah lain di Provinsi DIY, yaitu dengan membuka Kantor Cabang Bantul. Dilanjutkan pada tahun 1990 membuka Kantor Cabang Pembantu Senopati dan Sleman. Hingga akhir 1988, Bank BPD DIY berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 20,410 miliar dan menyalurkan kredit sebesar Rp. 9,192 miliar. Laba mencapai Rp. 872,090 juta. Sampai dengan periode ini, dana giro masih mendominasi penghimpunan dana Bank BPD DIY. Hal ini sangat wajar karena salah satu peran Bank BPD DIY ialah sebagai pemegang kas daerah. Periode 1990 - 1996Untuk mengantisipasi persaingan yang semakin tajam, mulai tahun 1989 Bank BPD DIY mulai mengembangkan sistem pengolahan data yang berbasis komputer. Tahun 1990 Kantor Cabang telah terkoneksi secara on-line dalam jaringan komputer. Persaingan juga menuntut adanya sumber daya manusia berkualitas tinggi. Pola rekrutmen pegawai mulai diubah dengan seleksi ketat dan pelatihan dasar-dasar perbankan yang memadai. Tahun 1992 pemerintah menerbitkan UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, sebagai pengganti UU nomor 7 tahun 1967. Atas terbitnya Undang-undang tersebut, bank perlu menyesuaikan dasar pendiriannya. Maka diterbitkanlah Peraturan Daerah nomor 2 tahun 1993 tentang Bank Pembangunan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Peraturan Daerah ini secara jelas mencantumkan operasional bank yang harus menggunakan prinsip kehati-hatian. Periode 1997 - 2008Kebijakan deregulasi perbankan yang sebelumnya dianggap sebagai solusi bagi pembangunan ekonomi mulai menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian. Pesatnya pertumbuhan industri menyebabkan banyak bank mengabaikan prinsip kehati-hatian. Banyak pula bank yang didirikan oleh suatu kelompok usaha yang memang diarahkan untuk memberikan pembiayaan kepada kelompok usaha tersebut. Kondisi ini menyebabkan perubahan drastis industri perbankan. Tahun 1997 kondisi tersebit semakin diperparah dengan adanya krisis ekonomi. Tahun 1998, karena tingginya tingkat bunga, Bank BPD DIY sempat menghentikan pemberian kredit kepada nasabah. Namun, dengan pengelolaan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian, krisis ekonomi justru berpengaruh positif terhadap bank. Pada tahun 1998 terjadi kenaikan aset yang didorong oleh penghimpunan dana masyarakat yang sangat signifikan. Pertumbuhan yang relatif tinggi semasa krisi ekonomi ini menunjukan besarnya kepercayaan masyarakat terhadap Bank BPD DIY, sebagai bank daerah yang dikelola dengan benar. Bank BPD DIY bukan hanya tidak masuk dalam kategori bank yang perlu direkapitulasi, tetapi bahkan mengalami pertumbuhan yang signifikan. Bank BPD DIY bahkan melakukan pembukaan jaringan layanan baru dan penambahan tenaga kerja. Saat kondisi ekonomi mulai membaik, keberadaan Bank BPD DIY semakin dikenal masyarakat. Untuk menjaga kepercayaan itu, Bank BPD DIY melakukan berbagai inovasi produk dan jasa bank. Tahun 2000 Bank BPD DIY membuka 12 Kantor Kas baru dan tahun 2001 membuka 14 Kantor Kas baru. .Tahun 2002, Bank BPD DIY menerbitkan kartu ATM (Automatic teller machine). Kartu ATM ini tergabung dalam jaringan ATM Bersama. Saat ini jaringan ATM Bersama bahkan telah terkoneksi dengan Malaysian Electrics Payment System (MEPS) sehingga memudahkan nasabah dalam menggunakan ATM saat di luar negeri. Tahun 2003, Bank BPD DIY ditunjuk sebagai Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPS BPIH). Hingga akhir tahun 2007, dana yang dihimpun Bank BPD DIY mencapai Rp. 2,59 triliun. Pada periode ini penghimpunan dana dari dana giro hanya memberi kontribusi sebesar Rp. 1,001 triliun, lebih sedikit dibanding tabungan masyarakat yang mencapai Rp. 1,138 triliun. Posisi kredit tahun 2007 mencapai Rp. 1.392 triliun dan 99,45% di antaranya merupakan kredit kepada kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah. Laba tahun 2007 mencapai lebih dari Rp. 74 miliar. Meningkatnya laba ini berdampak positif bagi pemerintah daerah karena Bank BPD DIY merupakan badan usaha milik pemerintah yang mampu memberikan kontribusi besar terhadap pendapat daerah. Pada tahun 2007, dalam upaya mensikapi perubahan sosiokultural masyarakat Indonesia, maka Bank BPD DIY membentuk Unit Usaha Syariah dengan satu Kantor Cabang Syariah. Pembukaan Unit Usaha Syariah ini makin memperluas produk dan jasa Bank BPD DIY. Pemegang SahamPemegang saham Bank BPD DIY adalah Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta beserta seluruh Pemerintah Kabupaten dan Kota di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DIY nomor 4 Tahun 2005, modal dasar Bank BPD DIY ditetapkan sebesar Rp. 250,000 miliar. Dari modal dasar tersebut sampai dengan akhir tahun 2009 telah disetor sejumlah Rp. 224,795 miliar[2] dengan perincian sebagai berikut:
Layanan, Produk, dan Jasa PerbankanPerbankan Prinsip Konvensional
Perbankan Prinsip Syariah
Jaringan Kantor Pelayanan
Hingga saat ini, nasabah Bank BPD DIY dapat memanfaatkan jaringan mesin ATM Bank BPD DIY yang setidaknya berada di 55 lokasi.[7] Selain itu, nasabah Bank BPD DIY juga dapat memanfaatkan mesin ATM yang tergabung di dalam jaringan ATM Bersama[8] dan ATM Prima.[9] Referensi
Pranala luar
|