PT Bank SMBC Indonesia Tbk adalah anak usaha Sumitomo Mitsui Banking Corporation yang berkantor pusat di Jakarta. Untuk mendukung kegiatan bisnisnya, hingga akhir tahun 2020, perusahaan ini memiliki 61 kantor cabang, 264 kantor cabang pembantu, 141 titik pembayaran, dan 216 ATM yang tersebar di seluruh Indonesia.[2][3]
Sejarah
Awal pendirian
Memiliki sejarah yang panjang, cikal-bakal BTPN bermula pada 5 Februari 1958 ketika didirikan Perkumpulan Bank Pegawai Pensiunan Militer (BAPEMIL) yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat.[4] Bank ini didirikan oleh 6 orang purnawirawan TNI dan 1 masyarakat sipil, meliputi R. Ramelie Tjokroadirejo, R. Ayu Pandamrukmi Tjokroadirejo, Martua Raja Laut Siahaan, Abdul Hamid, Abdurrachman, Ibrahim Bayk dan Mochamad Abdul Fatah.[5] BAPEMIL didirikan dalam rangka untuk membantu masyarakat pada umumnya maupun purnawirawan TNI, janda dan anak yatim pada khususnya agar terhindar dari para rentenir.[6] Perkumpulan tersebut resmi berbadan hukum pada 6 Oktober 1959 dan mendapat izin untuk beroperasi sebagai bank pegawai pada 18 Juli 1960. Sejak saat itu BAPEMIL terus berkembang, dengan pada tahun 1986 mencatatkan aset Rp 2,5 miliar, tabungan Rp 189 juta dan deposito sebesar Rp 1,5 miliar.[7] Bank ini kemudian juga mendapatkan arahan dari pemerintah untuk menjadi bank penyalur dana pensiun.[6]
Demi menyesuaikan kebijakan perbankan menurut UU No. 14/1967, pada 16 Februari 1985 Perkumpulan BAPEMIL ditransformasikan sebagai sebuah perseroan terbatas. Namun, rencana ini kemudian diubah dengan mendirikan perusahaan baru bernama PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) dengan status baru sebagai bank tabungan. Izin prinsip dari Departemen Keuangan pun diberikan di tanggal 30 Desember 1985, yang disusul pengalihan bisnis dari BAPEMIL ke BTPN terhitung sejak tanggal 1 April 1986. Sejak saat itulah nama BTPN dikibarkan sebagai nama bank yang saat itu memiliki 26 kantor cabang ini.[8][7] Pemegang saham perusahaan saat itu meliputi 22 orang, termasuk dari para pendiri dengan persentase kepemilikan masing-masing sebesar 4%.[9]
Beberapa tahun kemudian, status BTPN kembali diubah mengantisipasi pemberlakuan UU Perbankan baru (UU No. 7/1992) dengan mengubah statusnya dari bank tabungan menjadi bank umum non-devisa. Status baru ini ditetapkan lewat SK Menteri Keuangan RI No. 055 tertanggal 22 Maret 1993[6] dan efektif berlaku sejak 2 Agustus 1993.[10] Fokus bisnis bank ini tetaplah pada masyarakat pensiunan dan pegawai negeri/militer, meskipun juga meluaskan cakupannya pada kelompok pengusaha kecil. BTPN juga sempat menjalin kerjasama dengan PT Taspen, Bank Jabar, BRI, Asabri, dan sejumlah lembaga lainnya demi menjangkau target pasarnya.[8][11]
Berganti-ganti pemilik
Sayang, memasuki tahun 1997 BTPN mengalami guncangan yang membuat bank ini lepas dari tangan pemilik lamanya (para pensiunan tentara).[12] Sebagai penyelamat masuklah Grup Bakrie lewat dua anak usahanya, PT Bank Nasional (85%) dan PT Bakrie Capital Indonesia (15%) pada 5 Desember 1997 yang membeli seluruh saham pemilik lama.[9] BTPN pun menjadi bagian Bakrie Grup sejak 29 Desember 1997,[10] dan sempat menjalin kerjasama dengan PT Asuransi Jiwa Bakrie untuk menjual produk perusahaan tersebut.[11]
Masuknya Bakrie bersamaan dengan badai krisis moneter yang menerjang perekonomian nasional yang akhirnya membuat bank ini sempat beberapa kali mengalami perubahan kepemilikan. Mulanya bank ini sempat ingin diikutsertakan dalam merger bank-bank milik Bakrie lainnya (Bank Nasional, Bank Nusa Internasional, Bank Angkasa dan Bank Nasional Komersil), namun dibatalkan.[13] Kelompok tersebut juga berencana menyuntikkan dana segar Rp 40 miliar agar rasio kecukupan modal BTPN yang merosot menjadi 4%, bisa kembali sehat dan keluar dari pengawasan BPPN.[14] Ikut jatuhnya Bakrie Grup akibat krismon membuat di bulan November 2000 BPPN masuk sebagai pemegang 46,54% saham di BTPN. Selanjutnya, pada tahun 2002-2003 saham Bakrie terus merosot hingga hanya sebesar 10%. Sebagai pengganti grup tersebut adalah Recapital Group, PT Danatama Makmur dan Fuad Hasan Masyhur (pemilik perusahaan haji Maktour) yang kemudian memegang saham signifikan bersama BPPN (selanjutnya Perusahaan Pengelola Aset/PPA) di bank ini.[9][15]
Secara efektif, BTPN saat itu ada di bawah kendali Recapital (perusahaan milik Rosan Roeslani dan Sandiaga Uno). Kondisi BTPN mulai membaik, dengan mencatatkan kenaikan aset Rp 4,5 triliun menjadi Rp 10 triliun (2008),[16] memiliki 450.000 nasabah (2008)[17] meskipun masih menjangkau segmen nasabah yang terbatas (kaum pensiunan).[18] Sementara itu, kabar mengenai upaya akuisisi bank ini oleh pemodal asing mulai berhembus di waktu yang sama. Di tahun 2005, tersiar kabar bahwa dua perusahaan keuangan asal Malaysia, MAA Insurance dan ICB Financial Group berminat membeli 71,6% saham BTPN.[19] Dua tahun kemudian, muncullah nama Northstar Pacific, sebuah perusahaan investasi yang digawangi Patrick Sugito Walujo yang berminat menjadi pembeli. Dirinya membawa nama-nama besar dalam sebuah konsorsium, seperti Texas Pacific Group (TPG) dan Noonday Assets Management. Sebagai "pemanis", Noonday telah mengucurkan pinjaman senilai US$ 120 juta ke Recapital.[20] Akhirnya, kabar itu terkonfirmasi pada pertengahan 2007, dengan rencananya konsorsium Northstar-TPG akan membeli 71,6% saham BTPN.[21][22]
Pada saat proses penjualan itu masih berlangsung, PPA melepaskan seluruh sahamnya (28,39%) dalam penawaran umum perdana BTPN pada 12 Maret 2008 di Bursa Efek Indonesia dengan harga IPO Rp 2.850/lembar.[18] Rencana itu menjadi penutup upaya pemerintah melepaskan sahamnya di BTPN sejak tahun 2006, yang saat itu direncanakan lewat open tender.[15] Dua hari pasca-IPO, akhirnya kongsi TPG-Northstar dalam wadah TPG Nusantara S.a r.l. mengakuisisi 71,6% saham bank ini seharga US$ 195 juta.[23] Pemilik baru kemudian berusaha memperluas bisnis bank di luar kelompok pensiunan dengan mendapuk Jerry Ng sebagai pimpinan BTPN.[17] Pada era kepemimpinannya inilah BTPN dikenal dengan berbagai program dan produk yang inovatif. Pada tahun 2009, bank ini meluncurkan bisnis pinjaman untuk mikro dan kecil (UMK) dengan nama "BTPN Mitra Usaha Rakyat", dilanjutkan program inisiatif Daya, sebuah program pemberdayaan masyarakat, dan meluncurkan merek Sinaya, yang terhubung dengan inisiatif Daya pada 2011. Bank ini juga berhasil menyelesaikan uji coba bisnis Perbankan Komunitas Syariah (BTPN Syariah Tunas Usaha Rakyat), yang hingga tahun 2012, telah melayani 444.000 nasabah di 28.927 sentra komunitas yang tersebar di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur.[2][3]
Di tahun 2013, bank ini mengakuisisi Bank Sahabat Purba Danarta, dan kemudian mengintegrasikannya dengan Unit Usaha Syariah BTPN yang sudah dirintis sejak 2008. Kemudian, berturut-turut pada 2015 dan 2016, BTPN menjadi pionir di bidang laku pandai lewat program BTPN Wow! dan perbankan digital lewat peluncuran aplikasi Jenius.[2][3] BTPN pun mencatatkan pertumbuhan pesat, dengan menjadi salah satu bank terbesar dalam kapitalisasi pasar, karyawan dan kantor cabang.[24] Terhitung sejak 16 Februari 2016, BTPN sudah menyandang status sebagai bank devisa.[25]
Akuisisi oleh SMBC dan pergantian nama
Setelah masa lock-up TPG Nusantara pada BTPN usai di tahun 2013, tersiar kabar bahwa TPG Nusantara berniat menjual sahamnya (57,87%) di BTPN kepada dua bank Jepang, MUFG dan SMBC.[26] Pada Mei 2013, dalam transaksi senilai Rp 9,209 triliun, 24,26% saham BTPN jatuh ke tangan SMBC, yang disusul transaksi lain senilai Rp 5,97 triliun untuk 15,74% saham pada 14 Maret 2014, sehingga 40% saham BTPN kini dikuasai SMBC dan menjadi pengendali barunya. Raksasa perbankan "Negeri Sakura" tersebut menyatakan ketertarikannya pada BTPN disebabkan kinerjanya yang cemerlang,[27][28] yang skema bisnisnya dapat diaplikasikan SMBC ke negara-negara lainnya. Disebutkan bahwa BTPN akan belajar dari kekuatan SMBC, dan kerjasama keduanya ditujukan untuk menjadi pemimpin pasar di masing-masing negara asal.[29][30] Akuisisi terus berlanjut, dengan pada 18 Mei 2015, perusahaan terafiliasi SMBC bernama Summit Global Capital Management B.V. membeli lagi 17,5% saham BTPN dari TPG Nusantara dalam transaksi senilai Rp 5,9 triliun.[31] Dalam titik ini, SMBC diperkirakan sudah menguasai sekitar 60% saham BTPN.
Memasuki Januari 2018, tersiar kabar bahwa BTPN akan dimerger dengan anak usaha lain SMBC di Indonesia, Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (BSMI) yang sudah ada sejak 1989. Konsolidasi ini dilakukan dalam rangka memperluas bisnis BTPN, dengan menggabungkan bisnis SMBC yang berbasis korporasi dalam lingkup BTPN yang fokus di sektor ritel menengah,[32] memperkuat modal dari Rp 16-17 triliun menjadi Rp 27-28 triliun,[33] dan menyambut anjuran pemerintah terkait konsolidasi perbankan. Dalam sebuah kesempatan, Jerry Ng mengungkapkan bahwa proposal merger tersebut sudah ada sejak 2013.[34] Pada tanggal 19 Desember 2018, Otoritas Jasa Keuangan menyetujui rencana penggabungan tersebut, yang dilanjutkan hal serupa dari Japan Financial Services Authority pada tanggal 18 Januari 2019.[35] Pada tanggal 1 Februari 2019, bank ini resmi bergabung dengan BSMI[36] dan mengubah namanya menjadi "BTPN" saja (tanpa singkatan). Bank pasca-merger ini memiliki aset Rp 189,92 triliun dan kepemilikan SMBC sudah menjadi 96,89%.[37]
Lewat proses merger tersebut, BTPN kemudian menyinergikan lagi bisnisnya dengan SMBC. Pada akhir Maret 2024, dua anak usaha SMBC di bidang perusahaan pembiayaan, PT OTO Multiartha dan PT Summit OTO Finance resmi diakuisisi mayoritas sahamnya oleh BTPN dalam transaksi bernilai Rp 6,5 triliun.[38] Lima bulan kemudian, pada RUPSLB di tanggal 29 Agustus 2024, nama PT Bank BTPN Tbk resmi diganti menjadi PT Bank SMBC Indonesia Tbk, sebagai rangka sinergi dengan induk usaha demi memperkuat posisi di pasar domestik dan menegaskan relevansi Perseroan bagi segmentasi yang lebih luas melalui layanan keuangan yang komprehensif dan inovatif di seluruh lini bisnis.[39]